Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo mengungkapkan banyak kalangan aparatur sipil negara (ASN) yang masih "gagal paham" atau salah paradigma dalam memahami netralitas ASN.
"Banyak teman-teman di ASN yang 'gagal paham' atau salah paradigma dan masih memiliki pola pikir yang belum tepat," katanya, saat webinar "Netralitas ASN dalam Pilkada Serentak 2020", Selasa.
Menurut dia, kalangan ASN tersebut selalu berdalih bahwa posisi ASN dilematis dalam menjaga netralitas pada ajang pemilihan kepala daerah, pemilihan umum, maupun pemilihan presiden.
"Mereka selalu berdalih posisi ASN dilematis. Maju kena, mundur kena, netral pun kena," kata mantan Menteri Dalam Negeri tersebut.
Padahal, kata dia, aturannya tidak seperti itu karena perundang-undangan sudah jelas mengatur posisi ASN dalam menjaga netralitasnya pada ajang pesta demokrasi tanpa tidak mengurangi hak pilihnya.
Tjahjo mengakui potensi gangguan netralitas ASN sebenarnya justru terletak pada individu-individu, bukan secara kelembagaan.
"Kami yakin Korpri masih netral. Tapi bagaimana dengan individu-individu ASN?" ujarnya.
Netralitas ASN dilihat dari konstruksi UU, kata dia, menempatkan ASN sebagai unsur perekat dan pemersatu bangsa, dan sebagai pembawa baju atau identitas negara yang melekat pada dirinya.
"ASN bukanlah aparatur sipil pemerintah, tapi negara. Makanya, harus tegak lurus. Siapapun presidennya, gubernurnya, bupati wali kotanha, kepala desanya, ASN harus tegak lurus dengan perannya karena ASN adalah milik semua," katanya.
Namun, Tjahjo mengatakan ASN masih memiliki kesempatan untuk mengartikulasikan hak pilihnya dalam ruang tertutup, yakni bilik suara.
"Makanya, saya kurang sepakat hak pilih ASN dicabut. Karena dalam negara hukum yang matang, supremasi sipil hak pilih betul-betul dapat diwadahi," katanya.
Memang, kata dia, karakter ASN menjadi khas dalam pesta demokrasi karena tidak boleh menjadi partisan karena ada identitas negara.
"Meski, tetap saja punya kesempatan artikulasi politik yang dikehendakinya di bilik suara. Di luar bilik suara, tidak perlu diekspresikan," tegas Tjahjo.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020
"Banyak teman-teman di ASN yang 'gagal paham' atau salah paradigma dan masih memiliki pola pikir yang belum tepat," katanya, saat webinar "Netralitas ASN dalam Pilkada Serentak 2020", Selasa.
Menurut dia, kalangan ASN tersebut selalu berdalih bahwa posisi ASN dilematis dalam menjaga netralitas pada ajang pemilihan kepala daerah, pemilihan umum, maupun pemilihan presiden.
"Mereka selalu berdalih posisi ASN dilematis. Maju kena, mundur kena, netral pun kena," kata mantan Menteri Dalam Negeri tersebut.
Padahal, kata dia, aturannya tidak seperti itu karena perundang-undangan sudah jelas mengatur posisi ASN dalam menjaga netralitasnya pada ajang pesta demokrasi tanpa tidak mengurangi hak pilihnya.
Tjahjo mengakui potensi gangguan netralitas ASN sebenarnya justru terletak pada individu-individu, bukan secara kelembagaan.
"Kami yakin Korpri masih netral. Tapi bagaimana dengan individu-individu ASN?" ujarnya.
Netralitas ASN dilihat dari konstruksi UU, kata dia, menempatkan ASN sebagai unsur perekat dan pemersatu bangsa, dan sebagai pembawa baju atau identitas negara yang melekat pada dirinya.
"ASN bukanlah aparatur sipil pemerintah, tapi negara. Makanya, harus tegak lurus. Siapapun presidennya, gubernurnya, bupati wali kotanha, kepala desanya, ASN harus tegak lurus dengan perannya karena ASN adalah milik semua," katanya.
Namun, Tjahjo mengatakan ASN masih memiliki kesempatan untuk mengartikulasikan hak pilihnya dalam ruang tertutup, yakni bilik suara.
"Makanya, saya kurang sepakat hak pilih ASN dicabut. Karena dalam negara hukum yang matang, supremasi sipil hak pilih betul-betul dapat diwadahi," katanya.
Memang, kata dia, karakter ASN menjadi khas dalam pesta demokrasi karena tidak boleh menjadi partisan karena ada identitas negara.
"Meski, tetap saja punya kesempatan artikulasi politik yang dikehendakinya di bilik suara. Di luar bilik suara, tidak perlu diekspresikan," tegas Tjahjo.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020