Pemikiran bahwa penemuan vaksin COVID-19 akan menjadi akhir pandemi panjang sepertinya tidak sepenuhnya akan terwujud.

Masalahnya, ketika semua negara, pebisnis, hingga lembaga indenpenden berlomba menemukannya, pameo "tidak ada makan siang gratis" pun akan bekerja.

Artinya, semua yang mengejar predikat penemu vaksin COVID-19 punya kepentingan terselubung meski dibalut alasan kemanusiaan yang serbamulia.

Republik Rakyat Tiongkok (RRT), misalnya, meski sejak September 2020 sudah mengumumkan telah memiliki satu vaksin corona yang siap digunakan, Kepala Kesehatan Beijing mengatakan bahwa Tiongkok tidak akan melakukan vaksinasi massal terhadap populasinya. Alasannya, COVID-19 sebagian besar telah musnah di negara itu. Tentu ini menjadi pertanyaan banyak pihak.

Bahkan, Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit RRT Dr. Gao Fu mengatakan bahwa vaksinasi virus corona hanya akan diperlukan jika ada wabah besar.

Baca juga: Menko Airlangga: Akhir 2020, tiga juta vaksin COVID-19 siap masuk RI

Di satu sisi, secara mengejutkan Presiden Brasil Jair Bolsonaro mengatakan bahwa pemerintahnya tak akan membeli vaksin COVID-19 dari China Sinovac karena tidak ingin warganya menjadi kelinci percobaan. Meski ada keyakinan lain perihal alasan yang lebih bersifat politis, keraguan akan vaksin menjadi makin menguat.

Bukan semata dari sisi harga, kemudahan, hingga ketersediaan, melainkan lebih pada sisi keamanan karena ada risiko hidup mati dalam setiap vaksin yang disuntikkan yang sangat mungkin akan bereaksi berbeda pada setiap tubuh manusia.

Bagaimana dengan Indonesia? Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Achmad Yurianto mengatakan bahwa Pemerintah sudah mendapatkan kepastian dari perusahaan vaksin China, Sinovac, Sinopharm, dan Cansino.

Nantinya pada bulan November hingga Desember akan ada 9,1 juta orang yang dapat divaksinasi.

Yuri mengatakan bahwa Sinovac memberikan komitmen kepada Indonesia untuk dapat membeli vaksin dalam bentuk jadi sebanyak dua kali pengiriman.

Pertama pada bulan November akan dikirimkan 1,5 juta dan pada  bulan Desember 1,5 juta vaksin. Vaksin Sinovac dibutuhkan 2 x dosis sehingga total yang bisa divaksinasi adalah 1,5 juta orang.

Baca juga: Bio Farma produksi 16 juta -17 juta vaksin Sinovac per bulan

Hindari Kontroversi

Menilik berbagai teori konspirasi yang terjadi di dunia, pemerintah RI diharapkan tetap fokus untuk mengejar target pemenuhan vaksin pada masyarakat dan menghindari kontroversi.

Sejatinya kontroversi politik terkait dengan vaksin COVID-19, seperti yang terjadi di Brasil, bisa menjadi pelajaran berharga.

Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago menilai vaksin adalah kebutuhan yang mendesak bagi masyarakat sehingga Pemerintah mesti fokus pada produksi vaksin. Prokontra vaksin layaknya yang terjadi di Brasil penting untuk dicegah. Oleh karena itu, dia meminta seluruh pihak untuk mendahulukan kepentingan masyarakat terkait dengan vaksin.

"Penemuan vaksin yang lulus uji klinis dalam negeri justru makin meningkat animo kepercayaan publik," ujar Pangi.

Ia pun mendesak Pemerintah agar fokus pada urusan pemenuhan vaksin dengan terus menjalin komunikasi publik yang efektif kepada masyarakat.

Baca juga: Menkominfo: Informasi vaksin COVID-19 penting cegah hoaks

Sebelumnya, isu terkait dengan vaksin COVID-19 Sinovac berkembang menjadi komoditas politik di Brasil. Hal ini tak terlepas pernyataan Presiden Brasil Jorge Bolsonaro yang menolak vaksin tersebut. Presiden yang sejak awal memandang enteng COVID-19 ini malah menyatakan enggan menjadikan vaksin sebagai bagian percobaan bagi rakyatnya.

Namun, sikap Bolsonaro ini mengundang kecaman dari sejumlah kalangan di Brasil dan dinilai terkait dengan rivalitas politiknya dengan Gubernur Sao Paolo Joao Doria. Sao Paolo sendiri jadi wilayah yang ikut bekerja sama dengan Sinovac dalam mengembangkan vaksin lokal di Brasil. Akibat langkah proaktif ini, popularitas Doria naik di kalangan masyarakat. Hal inilah yang dinilai jadi pangkal dari manuver Bolsonaro menolak vaksin Sinovac.

Profesor ilmu politik Brasil Claudio Couto menilai langkah Presiden Bolsonaro sekadar manuver politik jangka pendek. Pasalnya, rencana kerja sama pengembangan vaksin di Brasil dengan Sinovac menggandeng negara bagian Sao Paolo. Gubernur Sao Paolo João Doria disebut calon kuat penantang Bolsonaro pada pemilu mendatang.

Oleh karena itu, rencana kerja sama Sinovac dengan turut menggandeng pemerintah Sao Polo coba digagalkan Bolsonaro.

"(Langkah Bolsonaro) Itu tidak ada hubungannya dengan virus, lebih merupakan cara untuk menjegal Doria, yang disebut-sebut sebagai kemungkinan penantang untuk pencalonan kembali Bolsonaro pada pemilihan 2022,” kata Couto.

Sebaliknya, Joao Doria menegaskan langkah kerja sama dengan Sinovac hanya berdasarkan kebutuhan untuk kesehatan yang sangat mendesak. Dia menilai kerja sama ini mutlak diperlukan untuk segera memutus mata rantai penyebaran COVID-19 di negara. Apalagi, Sinovac sudah terbukti aman dan sangat berhasil dalam menekan angka COVID-19 di RRT.

"Ini bukan terkait dengan ideologi, bukan politik, bukan pula untuk menjamin kesuksesan pemilu mendatang. Akan tetapi, memang ini hanya karena kebutuhan kita tentang vaksin itu sendiri," kata Doria menegaskan pentingnya vaksin Sinovac.

Baca juga: Bio Farma: Program vaksinasi perlu dikawal dengan baik

Masyarakat Cermat

Di tengah pro dan kontra yang terjadi, masyarakat makin terjebak dalam dilema yang membingungkan.

Oleh karena itu, Koordinator Tim Pakar dan Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof. Wiku Adisasmito meminta masyarakat bersabar dan cermat dalam memilah dan menyikapi informasi perkembangan penanganan COVID-19.

Satgas Penanganan COVID-19 berharap masyarakat tidak berspekulasi terkait dengan uji klinis dan berkembangnya informasi tidak resmi terkait dengan harga vaksin COVID-19.

Tentang perkembangan vaksin terkini, Wiku menyampaikan bahwa Pemerintah masih menyelesaikan tahapan pengembangan uji klinis fase 3 yang dilakukan di Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat. Dalam pengembangan vaksin, Wiku menjelaskan ada beberapa tahapan yang harus dilalui.

Apabila semua tahapan tersebut berjalan dengan baik, bisa masuk ke tahapan produksi vaksin dalam jumlah yang besar.

Wiku juga menginformasikan tentang sejarah perkembangan virus corona yang sudah ada sejak 1960-an.

Baca juga: Pemerintah beli vaksin untuk 135 juta orang pada 2021

Sampai saat ini, virus tersebut sudah tercatat sebanyak tujuh jenis. Jenis terbaru yang ditemukan ialah jenis virus Sars-Cov2 yang menyebabkan COVID-19.

Adapun COVID-19 merupakan infeksi yang baru dan saat ini para ahli dan ilmuwan di dunia sedang melakukan riset untuk mencoba mengenali karakteristik virus penyebab COVID-19 yang digunakan sebagai dasar pengembangan vaksin.

Pengadaan vaksin di Indonesia dilakukan melalui tahapan yang kompleks melibatkan berbagai kementerian, lembaga negara, maupun BUMN.

Presiden Joko Widodo pun telah mengeluarkan peraturan pemerintah yang mengatur pengadaan dan pelaksanaan vaksinasi COVID-19.

"Penting untuk diketahui, sampai saat ini belum ada negara di dunia yang sudah memproduksi vaksin COVID-19 secara massal. Indonesia terus melakukan upaya pengadaan vaksin ataupun memproduksi vaksin secara mandiri. Pengembangan vaksin maupun vaksinasi perlu dilakukan secara hati-hati namun tetap tanggap menghadapi perubahan yang sangat dinamis pada masa pandemi," kata Wiku.

Baca juga: Puskesmas di Badung-Bali siap jadi lokasi imunisasi vaksin COVID-19 (video)

Saat ini ada beberapa kandidat vaksin yang sedang dikembangkan oleh Pemerintah, termasuk vaksin Merah Putih yang dikembangkan oleh Kementerian Riset dan Teknologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional, serta Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.

Kandidat vaksin hasil kolaborasi dengan kerja sama pihak luar negeri, di antaranya Bio Farma dengan Sinovac dari Tiongkok, Kimia Farma dengan G42 dari Uni Emirat Arab, dan Kalbe Farma dengan Genexine dari Korea Selatan.

Penemuan vaksin bukan sesuatu yang sederhana sehingga mencapai titik akhir sebuah pandemi panjang bukan semata seperti membalikkan telapak tangan, melainkan pilihan ada di setiap diri sendiri untuk tetap disiplin, cermat, cerdas, dan tak mudah termakan isu hoaks.

Boleh jadi bukan virus atau bahkan vaksin yang bisa mematikan, melainkani kabar bohong adalah racun yang berpotensi membinasakan sebuah peradaban.

Pewarta: Hanni Sofia

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020