Sebanyak 60 persen gas rumah kaca di dunia dihasilkan dari penggunaan energi oleh manusia. Indonesia sendiri merupakn negara terbesar di ASEAN dalam konsumsi energi dengan jumlah yang terus meningkat pesat, karena pemerintah Indonesia menargetkan proporsi penggunaan energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2030, serta 31 persen pada tahun 2050. Dalam komitmennya, Coca-Cola Amatil Indonesia menargetkan 60 persen energi yang digunakan berasal dari energi terbarukan.

Dalam diskusi berjudul "Unlocking Renewable Energy Demand from Commercial and Industrial Buyers for Green Economy" yang diselenggarakan oleh Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) secara virtual, Kamis (24/9), Direktur Public Affairs, Communications dan Sustainability Amatil Indonesia Lucia Karina menyampaikan perusahaan anggota IBCSD yang menjadi "thought leader" dalam penggunaan energi terbarukan antara lain adalah Coca-Cola Amatil Indonesia, salah satu perusahaan pembotolan terbesar dan distributor minuman siap non-alkohol di Indonesia.

"Sejak tahun 2017, Coca-Cola Amatil telah mendeklarasikan komitmen publik untuk target keberlanjutan yang akan dicapai di tahun 2020. Salah satu diantaranya adalah tentang perubahan iklim dan energi, yang mana Coca-Cola Amatil menargetkan untuk menggunakan setidaknya 60 persen dari kebutuhan energi dari energi terbarukan dan rendah karbon. Komitmen ini juga merupakan bentuk dukungan terhadap upaya pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 314 juta ton karbon dioksida atau CO2 pada tahun 2030," katanya.

Sejalan dengan inisiatif sustainability yang telah dilaksanakan pada  awal tahun 2019, Coca-Cola Amatil Indonesia telah memulai pemasangan atap panel surya di pabrik terbesarnya di Indonesia di Cikarang Barat. Amatil Indonesia juga terus berinvestasi dalam program efisiensi energi di semua operasi, termasuk mentransformasi lemari es yang digunakan pelanggan dengan model yang lebih hemat energi, mengubah sistem pencahayaan ke LED sejak tahun 2016 di seluruh pabrik dan gudang, menjalankan konversi boiler, pembangkit listrik, dan energi forklift dari matahari menjadi gas alam dan gas alam terkompresi sejak tahun 2008.

Selain itu, selama tiga tahun terakhir, CCAI telah mengganti solar dengan energi yang lebih ramah lingkungan, yaitu LNG dan LPG. "Berbagai investasi telah digulirkan Amatil Indonesia untuk keberlanjutan lingkungan merupakan bukti konkret komitmen kami untuk keberlanjutan lingkungan dan meninggalkan warisan positif. Capaian Amatil Indonesia dalam mentransformasi operasi bisnis ke arah yang lebih ramah lingkungan, merefleksikan komitmen kami untuk secara aktif melibatkan karyawan, pelanggan, komunitas lokal, pemerintah dan pemangku kepentingan lain untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang," ujar Lucia Karina.

Meningkatnya kesadaran sektor industri atas penggunaan energi terbarukan yang ternyata tidak hanya baik untuk lingkungan, namun juga menguntungkan, selaras dengan naiknya permintaan atas produk yang sustainable. Karenanya, tak berbeda dengan Amatil, SUN Energy juga terus berinovasi dalam menyediakan teknologi yang terjangkau untuk energi terbarukan. Sebagai salah satu pengembang proyek panel surya asal Indonesia yang telah mengantongi proyek internasional, SUN Energy mencatat kenaikan permintaan instalasi sistem tenaga surya sebesar hampir 40 persen dibanding tahun sebelumnya.

Dalam diskusi virtual itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif yang diwakili Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan, Harris ST MT, menyampaikan Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga tahun 2030 sebesar 29 persen tanpa bantuan dan 41 persen dengan dukungan internasional. Tentunya ini termasuk dari sektor energi, pemerintah telah mencanangkan target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 314 juta ton CO2 di tahun 2030.

Estimasi kebutuhan investasi untuk menurunkan emisi sebesar 314 juta CO2 adalah Rp3.500 triliun. Bidang Pembangkit Listrik EBT ditargetkan dapat berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 156,6 juta ton CO2 (atau 49,8 persen dari total aksi mitigasi sektor energi) dengan kebutuhan investasi sebesar 1.690 Triliun Rupiah.

Dalam kacamata ekonomi, pengurangan biaya pada sistem energi, dikombinasikan dengan pengurangan polusi udara dan emisi karbon dioksida, akan menghemat hingga 53 miliar dollar AS per tahun, atau diperkirakan 1,7 persen dari GDP Indonesia tahun 2030. Artinya, percepatan penggunaan energi terbarukan dapat meningkatkan GDP Indonesia sebanyak 1,3 persen pada tahun 2030 (International Renewable Energy Agency, 2017).

Dari seluruh sektor, industri memiliki kebutuhan energi terbesar diikuti oleh sektor transportasi, rumah tangga, sektor komersial dan lain-lain. Mengubah sistem energi konvensional ke energi terbarukan tentunya membutuhkan investasi. Jika penggunaan energi baru dan terbarukan dipercepat, investasi yang harus dikeluarkan tidak lagi menjadi masalah, apalagi biaya energi terbarukan kini sudah lebih rendah.

"Menurunnya biaya energi terbarukan telah menciptakan peluang baru untuk pemanfaatannya, termasuk di sektor komersial dan industri. Karena permintaan energi bersih terus meningkat di negara berkembang, sektor industri telah memimpin komitmen untuk menggunakan energi bersih dalam operasinya," ujar President Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), Shinta Kamdani.

Diskusi terkait penggunaan energi terbarukan ini merupakan salah satu rangkaian dari kampanye Program Green Lifestyle yang diusung oleh IBCSD. IBCSD sebagai asosiasi bisnis yang fokus pada isu berkelanjutan sengaja menyediakan platform bagi sektor industri untuk dapat melakukan aksi kolaboratif untuk mendukung prinsip konsumsi dan produksi yang berkelanjutan.

 

Pewarta: Antara News Bali

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020