Sejumlah ekonom menilai positif kebijakan pemerintah dalam menghadapi dampak Coronavirus Diseases 2019 (COVID-19), menyusul penetapan anggaran sebesar Rp405,1 triliun untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan akibat pandemi global itu di Tanah Air.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa, menjelaskan, kebijakan pemerintah yang tertuang dalam stimulus fiskal ini memiliki tiga tujuan.
Pertama, meningkatkan pelayanan kesehatan dalam rangka menanggulangi wabah. Kedua, memberikan bantuan kepada masyarakat kecil yang terdampak. Ketiga, meningkatkan ketahanan dunia usaha dalam menghadapi wabah COVID-19.
“Jadi, kebijakan stimulus ini tujuannya luas dan disesuaikan dengan kebutuhan di tengah hantaman wabah COVID-19,” ujar Piter.
Baca juga: BHA: hoaks, puluhan hotel di Bali akan dijual
Salah satu kebijakan yang cukup baik, katanya, adalah kebijakan pelonggaran pajak untuk meningkatkan ketahanan dunia usaha di tengah tekanan wabah.
“Tanpa pelonggaran pajak, dunia usaha dikhawatirkan terdampak besar dan bisa menyebabkan efek lanjutan yang lebih buruk seperti pemutusan hubungan kerja (PHK),” ujarnya.
Selain itu, kebijakan pemerintah ini juga diharapkan dapat mendukung dunia usaha untuk terus beroperasi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Apabila daya tahan dunia usaha kuat dalam menghadapi wabah, pemulihan ekonomi pascawabah juga bisa lebih cepat.
“Stimulus peningkatan bantuan jaring pengaman kepada masyarakat kecil juga akan membantu mereka untuk bertahan hidup normal selama masa wabah,” kata Piter.
Ia juga menilai, sistem ini juga akan menjaga daya beli dan konsumsi masyarakat sehingga perekonomian tetap tumbuh.
Pemerintah juga telah menyampaikan skenario terburuk pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa menjadi negatif akibat pandemi.
“Menurut saya keberanian pemerintah menyampaikan skenario terburuk ini adalah wujud keterbukaan pemerintah. Sekaligus juga menunjukkan bahwa pemerintah mempersiapkan diri sebaik mungkin mengantisipasi krisis ekonomi baik di global maupun domestik,” katanya.
Baca juga: Pemprov Bali bantu kelompok rentan terdampak wabah COVID-19
Antisipasi resesi
Secara terpisah, Ketua Indonesia Budget Center (IBC) Arif Nur Alam mengatakan kebijakan ekonomi ini merupakan salah satu instrumen antisipasi resesi ekonomi.
“Kebijakan ini perlu diapresiasi, agar tujuan dan manfaatnya tepat, kebijakan anggaran mesti dikelola secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel,” ujarnya.
Kebijakan pemerintah ini akan membantu masyarakat kurang mampu. Salah satunya adalah kebijakan pembebasan biaya listrik dengan daya 450 VA dan pemotongan 50 persen dengan daya 900 VA.
“Walau memang, kebijakan ini belum mampu menghapus kekhawatiran masyarakat untuk tetap berada di rumah sesuai anjuran pemerintah,” katanya.
Hal ini terkait dengan pekerjaan masyarakat dengan kategori ini merupakan pekerja infomal seperti pedagang kaki lima, sopir, dan buruh/pekerja harian.
Baca juga: Bali siapkan dana cadangan penanganan COVID-19 Rp85 miliar
Di satu sisi, Arif menilai kebijakan pemerintah juga turut menguntungkan badan usaha. Pada sektor fiskal pemerintah menanggung PPh 21 atau pajak penghasilan pekerja pada sektor industri pengolahan dengan penghasilan maksimal Rp200 juta per tahun.
Pemerintah juga membebaskan PPh impor untuk 19 sektor tertentu yang juga menyasar Wajib Pajak Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) dan Wajib Pajak KITE Industri Kecil Menengah.
Pemerintah juga mengurangi PPh 25 sebesar 30 persen untuk sektor tertentu KITE dan Wajib Pajak KITE Industri Kecil Menengah. Tarif PPh badan juga diturunkan menjadi 22 persen untuk tahun 2020 dan 2021 serta menjadi 20 persen mulai tahun 2022.
Kebijakan fiskal ini dapat menolong perekonomian Indonesia untuk mengantisipasi resesi, dan mengoptimalkan serta menjaga stabilitas ekonomi Indonesia. Insentif dan kebijakan ini juga akan mendorong daya beli masyarakat.
“Selain daya beli masyarakat, juga mendorong produksi panen masyarakat contohnya daerah-daerah tertentu yang belum rawan penyebaran virus,” katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa, menjelaskan, kebijakan pemerintah yang tertuang dalam stimulus fiskal ini memiliki tiga tujuan.
Pertama, meningkatkan pelayanan kesehatan dalam rangka menanggulangi wabah. Kedua, memberikan bantuan kepada masyarakat kecil yang terdampak. Ketiga, meningkatkan ketahanan dunia usaha dalam menghadapi wabah COVID-19.
“Jadi, kebijakan stimulus ini tujuannya luas dan disesuaikan dengan kebutuhan di tengah hantaman wabah COVID-19,” ujar Piter.
Baca juga: BHA: hoaks, puluhan hotel di Bali akan dijual
Salah satu kebijakan yang cukup baik, katanya, adalah kebijakan pelonggaran pajak untuk meningkatkan ketahanan dunia usaha di tengah tekanan wabah.
“Tanpa pelonggaran pajak, dunia usaha dikhawatirkan terdampak besar dan bisa menyebabkan efek lanjutan yang lebih buruk seperti pemutusan hubungan kerja (PHK),” ujarnya.
Selain itu, kebijakan pemerintah ini juga diharapkan dapat mendukung dunia usaha untuk terus beroperasi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Apabila daya tahan dunia usaha kuat dalam menghadapi wabah, pemulihan ekonomi pascawabah juga bisa lebih cepat.
“Stimulus peningkatan bantuan jaring pengaman kepada masyarakat kecil juga akan membantu mereka untuk bertahan hidup normal selama masa wabah,” kata Piter.
Ia juga menilai, sistem ini juga akan menjaga daya beli dan konsumsi masyarakat sehingga perekonomian tetap tumbuh.
Pemerintah juga telah menyampaikan skenario terburuk pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa menjadi negatif akibat pandemi.
“Menurut saya keberanian pemerintah menyampaikan skenario terburuk ini adalah wujud keterbukaan pemerintah. Sekaligus juga menunjukkan bahwa pemerintah mempersiapkan diri sebaik mungkin mengantisipasi krisis ekonomi baik di global maupun domestik,” katanya.
Baca juga: Pemprov Bali bantu kelompok rentan terdampak wabah COVID-19
Antisipasi resesi
Secara terpisah, Ketua Indonesia Budget Center (IBC) Arif Nur Alam mengatakan kebijakan ekonomi ini merupakan salah satu instrumen antisipasi resesi ekonomi.
“Kebijakan ini perlu diapresiasi, agar tujuan dan manfaatnya tepat, kebijakan anggaran mesti dikelola secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel,” ujarnya.
Kebijakan pemerintah ini akan membantu masyarakat kurang mampu. Salah satunya adalah kebijakan pembebasan biaya listrik dengan daya 450 VA dan pemotongan 50 persen dengan daya 900 VA.
“Walau memang, kebijakan ini belum mampu menghapus kekhawatiran masyarakat untuk tetap berada di rumah sesuai anjuran pemerintah,” katanya.
Hal ini terkait dengan pekerjaan masyarakat dengan kategori ini merupakan pekerja infomal seperti pedagang kaki lima, sopir, dan buruh/pekerja harian.
Baca juga: Bali siapkan dana cadangan penanganan COVID-19 Rp85 miliar
Di satu sisi, Arif menilai kebijakan pemerintah juga turut menguntungkan badan usaha. Pada sektor fiskal pemerintah menanggung PPh 21 atau pajak penghasilan pekerja pada sektor industri pengolahan dengan penghasilan maksimal Rp200 juta per tahun.
Pemerintah juga membebaskan PPh impor untuk 19 sektor tertentu yang juga menyasar Wajib Pajak Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) dan Wajib Pajak KITE Industri Kecil Menengah.
Pemerintah juga mengurangi PPh 25 sebesar 30 persen untuk sektor tertentu KITE dan Wajib Pajak KITE Industri Kecil Menengah. Tarif PPh badan juga diturunkan menjadi 22 persen untuk tahun 2020 dan 2021 serta menjadi 20 persen mulai tahun 2022.
Kebijakan fiskal ini dapat menolong perekonomian Indonesia untuk mengantisipasi resesi, dan mengoptimalkan serta menjaga stabilitas ekonomi Indonesia. Insentif dan kebijakan ini juga akan mendorong daya beli masyarakat.
“Selain daya beli masyarakat, juga mendorong produksi panen masyarakat contohnya daerah-daerah tertentu yang belum rawan penyebaran virus,” katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020