Pulau Bali sebagai kawasan pariwisata tampak lengang sejak pemerintah menerapkan social distancing (jaga jarak dari aktivitas sosial) untuk mencegah penyebaran Virus Corona baru atau COVID-19 sejak 16 Maret lalu, tapi aktivitas masyarakat Pulau Dewata tetap terlihat "hidup" seperti biasanya.

"Kawasan ini biasanya macet, bahkan kendaraan hanya berjalan satu meter, berhenti, lalu jalan lagi, dan berhenti lagi, saking macetnya, tapi sekarang hanya ada 2-3 kendaraan yang melintas, jadi longgar," kata Indra, warga yang melintasi Jl Imam Bonjol, Denpasar, Kamis.

Tidak hanya itu, ia mengaku saat berbelanja di pusat oleh-oleh di kawasan Kuta, Kabupaten Badung, pun tidak terlalu padat pengunjungnya. "Masuk area pusat oleh-oleh sini biasanya antre dan di dalam juga berjubel, tapi sekarang tidak banyak pembelinya," katanya.

Namun, aktivitas masyarakat Bali agaknya masih tetap "hidup" seperti biasanya, seperti di pasar swalayan, tempat ibadah/pura, maupun di jalanan, bahkan di kawasan Denpasar masih tergolong ramai, meski perkantoran tidak terlalu banyak pegawai masuk dan sekolah pun libur.

"Memang tidak ramai, tapi pembeli masih ada. Mungkin karena kebutuhan primer memang menjadi kebutuhan pokok masyarakat, jadi kasihan masyarakat kalau toko kami tutup," kata pegawai sebuah pasar swalayan di kawasan Ubung, Firda.

Sementara itu, tempat ibadah, seperti pura dan musholla/masjid di Kota Denpasar juga masih terlihat kegiatan seperti biasanya, bahkan musholla di dekat lapangan Lumintang (Gatsu VI) masih didatangi puluhan warga yang beribadah, atau juga pertemuan pengurus musholla itu.

Jangan takut ke Bali

Selain warga lokal, para pendatang dari luar Bali pun masih terlihat, seperti di beberapa tempat wisata dan pusat oleh-oleh yang kini banyak didominasi wisatawan Nusantara, meski informasi tentang virus itu cukup "gawat" di media sosial.

"Jangan takut ke Bali. Siswa SMP 8 Kota Pasuruan sudah melakukan rekreasi ke Bali. Alhamdulillah, mereka pulang selamat dan dinyatakan tidak terinfeksi atau negatif Corona," ujar seorang guru dari Pasuruan, Musa, saat melaporkan kabar kedatangan di kampung halamannya melalui media sosial.

Untuk mengetahui kondisi objek pariwisata terkini, Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardha Sukawati melakukan peninjauan ke objek wisata Monkey Forest di Ubud, Kabupaten Gianyar, 17 Maret lalu.

"Objek pariwisata Monkey Forest di Ubud masih tetap ramai, jumlah wisatawan di sini memang menurun, tapi wisatawan China yang biasanya mendominasi kini ditutupi oleh wisatawan dari negara lain dan wisatawan Nusantara," katanya.

Oleh karena itu, pihaknya tidak ada rencana menutup objek wisata, melainkan pengelola objek wisata diminta untuk menyiapkan SOP kesehatan untuk melindungi wisatawan dengan pola hidup bersih dan sehat (PHBS), seperti cairan pembersih tangan (hand sanitizers), penyemprotan disinfektan, dan pemberian vitamin.

Sementara itu, ahli virus atau virologist dari Balai Besar Penelitian Veteriner Balitbang Kementan RI drh Moh Indro Cahyono dalam video yang diunggahnya sendiri menegaskan bahwa tingkat kematian COVID-19 sebenarnya hanya tiga persen, atau lebih tinggi SARS yang mencapai 9 persen. Bila tingkat kematian karena COVID-19 itu hanya 3 persen, maka ada 97 persen yang sembuh.

"Jadi, COVID-19 menjadi gawat karena masyarakat mengalami paranoid akibat paparan medsos yang mencekoki input menakutkan secara gencar, padahal kematian karena COVID-19 itu umumnya juga bukan hanya karena flu, tapi pasien memiliki komplikasi bawaan. Solusinya, perbanyak vitamin C, E atau madu, kalau flu/pilek, tapi kalau hari ke-7 mengalami sesak nafas, maka langsung ke dokter," katanya.

Baca juga: Indef: "social distancing" lebih baik ketimbang "lockdown"

 

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020