Denpasar (Antara Bali) - Pentas seni komunal (Ngelawang) yang dulu dapat disimak dalam rangkaian Hari Raya Galungan di Bali secara perlahan-lahan hampir punah.
"Pentas seni nomaden yang dikenal dengan 'ngelawang' pada era 1970-an memang pernah mengkristal menjadi peristiwa kesenian yang mewarnai Galungan hingga menyambut Kuningan selama 10 hari," kata Dosen Program Studi Seni Karawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Kadek Suartaya, Senin.
Menurut dia, dalam beberapa tahun belakangan ini, pertunjukan keliling yang menyuguhkan puspa ragam seni tradisi Bali itu telah digerus perubahan zaman.
"Bahkan sulit mendapatkan 'sekaa-sekaa' (perkumpulan) seni pertunjukan yang tampil penuh keintiman di tengah masyarakat dalam suasana Galungan dan Kuningan. Walaupun ada, dilakukan oleh anak-anak usia sekolah dasar di wilayah lingkungan masing-masing," ujar Kadek Suartaya.
"Ngelawang" memiliki makna melanglang atau mengelilingi lingkungan. Pada awalnya ngelawang merupakan bagian ritus sakral magis. Benda-benda keramat, seperti Barong dan Rangda diusung ke luar pura berkeliling dalam lingkungan banjar atau desa adat yang dimaknai sebagai bentuk perlindungan secara niskala kepada seluruh masyarakat.
"Kehadiran benda-benda yang disucikan itu ditunggu oleh komunitasnya. Penduduk yang dapat memungut bulu-bulu Barong atau Rangda yang tercecer dengan penuh keyakinan, menjadikannya obat mujarab atau jimat bertuah," ujar Suartaya.
Ia menjelaskan, tradisi Ngelawang dalam konteks sakral magis sebagai persembahan penolak bala (hama penyakit) itu juga bermakna sama pada pentas ngelawang Galungan.
Namun dalam perjalanannya, masyarakat Bali yang kreatif tidak hanya ngelawang mengusung benda-benda sakral, namun dibuat tiruannya untuk disajikan sebagai ngelawang tontonan.
Dalam tradisi ngelawang Galungan tersebut, bentuk-bentuk seni "balih-balihan" seperti Arja, Janger, atau Joged juga dapat disaksikan masyarakat sebagai hiburan. Masyarakat yang haus hiburan menstimulasi pentas ngelawang menjadi wahana berkesenian yang konstruktif.
"Sebagai seni tontonan, Ngelawang adalah suguhan seni pentas yang serius namun santai. Untuk mengapresiasinya penonton tidak harus duduk, namun bisa jongkok, berdiri, atau bergelayutan sembari menikmati alam bebas," kata Suartaya.(T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012
"Pentas seni nomaden yang dikenal dengan 'ngelawang' pada era 1970-an memang pernah mengkristal menjadi peristiwa kesenian yang mewarnai Galungan hingga menyambut Kuningan selama 10 hari," kata Dosen Program Studi Seni Karawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Kadek Suartaya, Senin.
Menurut dia, dalam beberapa tahun belakangan ini, pertunjukan keliling yang menyuguhkan puspa ragam seni tradisi Bali itu telah digerus perubahan zaman.
"Bahkan sulit mendapatkan 'sekaa-sekaa' (perkumpulan) seni pertunjukan yang tampil penuh keintiman di tengah masyarakat dalam suasana Galungan dan Kuningan. Walaupun ada, dilakukan oleh anak-anak usia sekolah dasar di wilayah lingkungan masing-masing," ujar Kadek Suartaya.
"Ngelawang" memiliki makna melanglang atau mengelilingi lingkungan. Pada awalnya ngelawang merupakan bagian ritus sakral magis. Benda-benda keramat, seperti Barong dan Rangda diusung ke luar pura berkeliling dalam lingkungan banjar atau desa adat yang dimaknai sebagai bentuk perlindungan secara niskala kepada seluruh masyarakat.
"Kehadiran benda-benda yang disucikan itu ditunggu oleh komunitasnya. Penduduk yang dapat memungut bulu-bulu Barong atau Rangda yang tercecer dengan penuh keyakinan, menjadikannya obat mujarab atau jimat bertuah," ujar Suartaya.
Ia menjelaskan, tradisi Ngelawang dalam konteks sakral magis sebagai persembahan penolak bala (hama penyakit) itu juga bermakna sama pada pentas ngelawang Galungan.
Namun dalam perjalanannya, masyarakat Bali yang kreatif tidak hanya ngelawang mengusung benda-benda sakral, namun dibuat tiruannya untuk disajikan sebagai ngelawang tontonan.
Dalam tradisi ngelawang Galungan tersebut, bentuk-bentuk seni "balih-balihan" seperti Arja, Janger, atau Joged juga dapat disaksikan masyarakat sebagai hiburan. Masyarakat yang haus hiburan menstimulasi pentas ngelawang menjadi wahana berkesenian yang konstruktif.
"Sebagai seni tontonan, Ngelawang adalah suguhan seni pentas yang serius namun santai. Untuk mengapresiasinya penonton tidak harus duduk, namun bisa jongkok, berdiri, atau bergelayutan sembari menikmati alam bebas," kata Suartaya.(T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012