Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali akan menggelar ritual "Pemelepeh lan Pemahayu Jagat" di Bencingah Pura Penataran Agung Besakih, Kabupaten Karangasem, untuk menyeimbangkan alam semesta secara jasmani dan rohani, sekaligus agar daerah setempat terhindar dari wabah virus COVID-19.

"Kami sangat berharap serangan virus COVID-19 tidak akan menguasai Provinsi Bali, karena pulau ini hanya memiliki sumber daya manusia saja. Pariwisata dengan kunjungan wisatawannya memiliki peran yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat Bali," jelas Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati saat meminta pertimbangan dengan sejumlah tokoh-tokoh agama, di Denpasar, Senin.

Ritual "Pemelepeh lan Pemahayu Jagat" di Bencingah Pura Penataran Agung Besakih, Kabupaten Karangasem, tersebut rencananya akan digelar pada 23 Februari 2020 bertepatan dengan Tilem (bulan mati) Sasih Kewulu.

Pihaknya berkeinginan untuk menggelar ritual tersebut karena selain kasus wabah COVID-19 yang menyerang China dan sejumlah negara lainnya, juga Bali belakangan ini dihadapkan pada kasus kematian ratusan babi secara mendadak karena virus ASF.

"Dalam beryadnya (menghaturkan persembahan), tentu kita harus mengetahui secara matang tingkatan karya (ritual) yang akan dilaksanakan, baik dari nama karya, tingkatan besar kecilnya, hingga upakara (sesajen) yang akan digunakan," terang Wagub Bali yang akrab dipanggil Cok Ace itu.

Tokoh-tokoh agama yang diajak berkonsultasi terkait ritual tersebut diantaranya dari unsur sulinggih (pendeta Hindu) yang menguasai sastra, para Pemangku Pengempon Pura Besakih, Bendesa Pura Besakih, perwakilan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, Majelis Desa Adat Provinsi Bali dan juga Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Bali.

Baca juga: Wagub-Sekda Bali ikuti persembahyangan ritual "Bhumi Sudha"

Sementara itu, Perwakilan PHDI Bali I Gede Sutarya memberi masukan supaya seluruh pihak terkait melakukan koordinasi terlebih dahulu dalam menentukan nama karya (ritual), agar tidak menimbulkan pertanyaan di tengah masyarakat yang nantinya tidak menutup kemungkinan juga dapat memecah belah persaudaraan.

Selain itu, nama harus disesuaikan dengan lontar yang ada, tingkatan "upakara" juga harus sesuai dengan kaedah tingkatan karya yang sebelumnya sudah sempat dilaksanakan, agar tidak ada tingkatan upacara yang terlewati dan melangkahi karya yang belum pernah (seharusnya) dilaksanakan.

"Karena apabila selaku manusia kita menentang yadnya atau melakukan yadnya yang secara berlebihan akan mengakibatkan sebuah kehancuran bagi alam semesta dan isinya, baik itu grubug (wabah), sakit bahkan sebuah peperangan," lanjutnya.

Baca juga: Pemkab Badung laksanakan ritual untuk keseimbangan alam

Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020