Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya meminta agar penetapan tingkatan status bencana tidak digeneralisasi/disamaratakan untuk suatu wilayah karena berdampak negatif terhadap kondisi pariwisata, seperti penetapan status bencana meletusnya Gunung Agung di Bali yang disamaratakan statusnya ke seluruh Pulau Dewata hendaknya menjadi pelajaran.
"Pesan saya, hati-hati dalam penetapan status bencana dan daerahnya. Jangan disamaratakan. Misalnya status bencana di Bali, seharusnya ditetapkan statusnya di Gunung Agung, atau 10 km dari Gunung Agung," kata Arief dalam sosialisasi manajemen krisis kepariwisataan (MKK) daerah di Jakarta, Senin.
Ia bercerita, pariwisata Bali terimbas peristiwa Gunung Agung meletus pada September 2017 lalu di mana kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) anjlok hingga 1 juta orang. Kemenpar juga mencatat potensi kehilangan devisa karena peristiwa itu mencapai 1,2 miliar dolar AS (sekitar Rp15 triliun) secara nasional.
Sejumlah negara ramai-ramai memberikan larangan berkunjung (travel warning) diantaranya China, Australia, AS, Inggris, hingga Singapura dan Malaysia.
"Saya sampai bertemu dengan Konsul Jenderal China untuk minta agar mereka mencabut travel warning itu. Tapi mereka bilang bahwa mereka tidak akan mencabut itu selama pemerintah Indonesia masih menetapkan kawasan tersebut tanggap darurat. Di situ saya merasa di-skakmat," kisahnya.
Oleh karena itu, Arief meminta agar penetapan status bencana bisa dilakukan secara hati-hati, karena masyarakat awam akan menilai bahwa penetapan status bencana berarti kondisi darurat, padahal seperti halnya level status gunung api, tidak semua tingkatan berarti kondisi darurat.
"Status (gunung api) misalnya, waspada, siaga, awas. Saat seluruh Bali digeneralisasi (status), akibatnya turis China turun 10 persen dan non-China juga turun hingga total 50 persen karena status. Begitu statusnya kita ganti Awas hanya di 10 km dari Gunung Agung, langsung recover (pulih) 90 bahkan 100 persen. Jadi menetapkan itu harus hati-hati," katanya.
Baca juga: BPBD Bali: Gunung Agung tetap siaga, jangan terpengaruh hoaks
Kepala Biro Komunikasi Publik Kemenpar Guntur Sakti mengatakan sejak peristiwa Gunung Agung meletus pada 2017 dan diikuti sejumlah bencana alam hingga 2018 lalu, pariwisata Indonesia memang terus mengalami pukulan berat.
"Pelajaran bagi kami memang bencana tidak bisa dielak, tapi mitigasi harus dilakukan. Di sektor pariwisata upaya kami lebih banyak ke proses mitigasi dan relasi publik. Kita membangun kepercayaan agar dunia internasional cepat pulih kepercayaannya terhadap Indonesia," ujarnya.
Baca juga: Bali matangkan SOP mitigasi situasi krisis di bandara
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
"Pesan saya, hati-hati dalam penetapan status bencana dan daerahnya. Jangan disamaratakan. Misalnya status bencana di Bali, seharusnya ditetapkan statusnya di Gunung Agung, atau 10 km dari Gunung Agung," kata Arief dalam sosialisasi manajemen krisis kepariwisataan (MKK) daerah di Jakarta, Senin.
Ia bercerita, pariwisata Bali terimbas peristiwa Gunung Agung meletus pada September 2017 lalu di mana kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) anjlok hingga 1 juta orang. Kemenpar juga mencatat potensi kehilangan devisa karena peristiwa itu mencapai 1,2 miliar dolar AS (sekitar Rp15 triliun) secara nasional.
Sejumlah negara ramai-ramai memberikan larangan berkunjung (travel warning) diantaranya China, Australia, AS, Inggris, hingga Singapura dan Malaysia.
"Saya sampai bertemu dengan Konsul Jenderal China untuk minta agar mereka mencabut travel warning itu. Tapi mereka bilang bahwa mereka tidak akan mencabut itu selama pemerintah Indonesia masih menetapkan kawasan tersebut tanggap darurat. Di situ saya merasa di-skakmat," kisahnya.
Oleh karena itu, Arief meminta agar penetapan status bencana bisa dilakukan secara hati-hati, karena masyarakat awam akan menilai bahwa penetapan status bencana berarti kondisi darurat, padahal seperti halnya level status gunung api, tidak semua tingkatan berarti kondisi darurat.
"Status (gunung api) misalnya, waspada, siaga, awas. Saat seluruh Bali digeneralisasi (status), akibatnya turis China turun 10 persen dan non-China juga turun hingga total 50 persen karena status. Begitu statusnya kita ganti Awas hanya di 10 km dari Gunung Agung, langsung recover (pulih) 90 bahkan 100 persen. Jadi menetapkan itu harus hati-hati," katanya.
Baca juga: BPBD Bali: Gunung Agung tetap siaga, jangan terpengaruh hoaks
Kepala Biro Komunikasi Publik Kemenpar Guntur Sakti mengatakan sejak peristiwa Gunung Agung meletus pada 2017 dan diikuti sejumlah bencana alam hingga 2018 lalu, pariwisata Indonesia memang terus mengalami pukulan berat.
"Pelajaran bagi kami memang bencana tidak bisa dielak, tapi mitigasi harus dilakukan. Di sektor pariwisata upaya kami lebih banyak ke proses mitigasi dan relasi publik. Kita membangun kepercayaan agar dunia internasional cepat pulih kepercayaannya terhadap Indonesia," ujarnya.
Baca juga: Bali matangkan SOP mitigasi situasi krisis di bandara
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019