Denpasar (Antara Bali) - Psikolog dari Universitas Udayana Drs Supriyadi MS menilai, media informasi seringkali menampilkan dialektika yang ibaratnya seperti kuda nil yang bermulut besar.
"Artinya, dalam berbagai dialog yang disajikan, mana yang banyak berbicara itulah yang menang dan seakan-akan benar. Seperti halnya kuda nil, mana yang mulutnya besar, itu pula yang menang," kata Ketua Majelis Himpunan Psikologi Bali Drs Supriyadi MS, di Denpasar, Kamis.
Ia menyebut, dialog dan debat semacam itu berpengaruh pada peningkatan agresifitas masyarakat. Tanpa disadari, dengan dipapar informasi demikian secara terus menerus akan terjadi proses imitasi agresi karakter masyarakat.
"Debat-debat di televisi kerapkali tanpa tawaran solusi, sehingga berdebat semaunya itu bagi masyarakat dipandang sudah wajar dan semua punya hak. Apalagi dengan adanya euforia demokrasi menyebabkan semua merasa berhak berpendapat," ujar Supriyadi.
Memang, lanjut dia, kalau di stasiun televisi akan terkendali karena ada skenarionya, tetapi jika perdebatan semacam di televisi itu terjadi dalam masyarakat pasti akan timbul perkelahian dan bentrok-bentrok fisik.
Di sisi lain, berbagai tayangan kerusuhan pada media yang disajikan secara gamblang tanpa ada pesan agar tayangan jangan ditiru, menyebabkan anak-anak remaja menjadi mempunyai pola ekspresi agresif dan bahkan bangga melakukan tindak kekerasan.
"Seberapa besar pengaruhnya memang harus dilakukan kajian mendalam. Namun yang jelas, kita dapat lihat dan rasakan sendiri dampaknya dengan menyaksikan realita di lapangan," ucapnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011
"Artinya, dalam berbagai dialog yang disajikan, mana yang banyak berbicara itulah yang menang dan seakan-akan benar. Seperti halnya kuda nil, mana yang mulutnya besar, itu pula yang menang," kata Ketua Majelis Himpunan Psikologi Bali Drs Supriyadi MS, di Denpasar, Kamis.
Ia menyebut, dialog dan debat semacam itu berpengaruh pada peningkatan agresifitas masyarakat. Tanpa disadari, dengan dipapar informasi demikian secara terus menerus akan terjadi proses imitasi agresi karakter masyarakat.
"Debat-debat di televisi kerapkali tanpa tawaran solusi, sehingga berdebat semaunya itu bagi masyarakat dipandang sudah wajar dan semua punya hak. Apalagi dengan adanya euforia demokrasi menyebabkan semua merasa berhak berpendapat," ujar Supriyadi.
Memang, lanjut dia, kalau di stasiun televisi akan terkendali karena ada skenarionya, tetapi jika perdebatan semacam di televisi itu terjadi dalam masyarakat pasti akan timbul perkelahian dan bentrok-bentrok fisik.
Di sisi lain, berbagai tayangan kerusuhan pada media yang disajikan secara gamblang tanpa ada pesan agar tayangan jangan ditiru, menyebabkan anak-anak remaja menjadi mempunyai pola ekspresi agresif dan bahkan bangga melakukan tindak kekerasan.
"Seberapa besar pengaruhnya memang harus dilakukan kajian mendalam. Namun yang jelas, kita dapat lihat dan rasakan sendiri dampaknya dengan menyaksikan realita di lapangan," ucapnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011