Pakar politik Prof Dewi Fortuna Anwar meyakini Partai Gerindra akan tetap menjadi oposisi meski telah terjalin pertemuan antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo, kemudian Megawati Soekarnoputri.
"Begitu selesai kontestasi, itu setiap pihak kembali merajut silaturahmi," katanya, ditemui usai bedah buku berjudul "Revolusi, Diplomasi, Diaspora: Indonesia, Tiongkok dan Etnik Tionghoa 1945-1947", di Jakarta, Senin.
Baca juga: Partai Golkar santai sikapi wacana menteri kabinet
Baca juga: Ketua DPR: soal perombakan kabinet
Menurut Dewi, pertemuan antara Prabowo-Jokowi, kemudian Prabowo-Megawati adalah suatu hal yang membuktikan silaturahmi berjalan baik dan itu bagian dari aturan main demokrasi.
Makanya, ia mengaku heran ketika pertemuan-pertemuan itu diartikan seolah-olah kelompok yang tadinya mendukung Prabowo akan bergabung dalam koalisi, termasuk Gerindra.
Ia memperkirakan Gerindra akan tetap berada di oposisi, utamanya sebagai komandan di kubu oposisi untuk memastikan pemerintahan berjalan dengan prinsip demokrasi melalui "check and balances".
"Kalau menurut saya, Pak Prabowo akan tetap berada di oposisi. Karena justru tidak 'dignified' bagi Pak Prabowo jika bergabung dalam pemerintahan Jokowi," katanya.
Diakui dia, perpolitikan di Indonesia selama ini memang agak berbeda dengan negara-negara demokrasi lainnya, terutama dinamika koalisi partai-partai yang sangat cair.
"Ketika Pak SBY pada periode keduanya, banyak partai yang tadinya di luar. Kemudian, bergabung dalam koalisi besar sehingga tidak heran jika banyak orang yang berspekulasi begitu," katanya.
Namun, Dewi mengingatkan bahwa silaturahmi politik itu baik dan penting dijaga, sementara kerja sama untuk membangun bangsa Indonesia penting juga adanya.
Bagi pihak pemenang, kata dia, tidak "ngasorake", atau istilahnya merendahkan pihak yang kalah, sedangkan pihak yang kalah juga harus mengakui dan menerima kenyataan.
"Jadi, jangan selalu diartikan siapa ini yang masuk koalisi. Saya melihatnya dua hal yang berbeda," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
"Begitu selesai kontestasi, itu setiap pihak kembali merajut silaturahmi," katanya, ditemui usai bedah buku berjudul "Revolusi, Diplomasi, Diaspora: Indonesia, Tiongkok dan Etnik Tionghoa 1945-1947", di Jakarta, Senin.
Baca juga: Partai Golkar santai sikapi wacana menteri kabinet
Baca juga: Ketua DPR: soal perombakan kabinet
Menurut Dewi, pertemuan antara Prabowo-Jokowi, kemudian Prabowo-Megawati adalah suatu hal yang membuktikan silaturahmi berjalan baik dan itu bagian dari aturan main demokrasi.
Makanya, ia mengaku heran ketika pertemuan-pertemuan itu diartikan seolah-olah kelompok yang tadinya mendukung Prabowo akan bergabung dalam koalisi, termasuk Gerindra.
Ia memperkirakan Gerindra akan tetap berada di oposisi, utamanya sebagai komandan di kubu oposisi untuk memastikan pemerintahan berjalan dengan prinsip demokrasi melalui "check and balances".
"Kalau menurut saya, Pak Prabowo akan tetap berada di oposisi. Karena justru tidak 'dignified' bagi Pak Prabowo jika bergabung dalam pemerintahan Jokowi," katanya.
Diakui dia, perpolitikan di Indonesia selama ini memang agak berbeda dengan negara-negara demokrasi lainnya, terutama dinamika koalisi partai-partai yang sangat cair.
"Ketika Pak SBY pada periode keduanya, banyak partai yang tadinya di luar. Kemudian, bergabung dalam koalisi besar sehingga tidak heran jika banyak orang yang berspekulasi begitu," katanya.
Namun, Dewi mengingatkan bahwa silaturahmi politik itu baik dan penting dijaga, sementara kerja sama untuk membangun bangsa Indonesia penting juga adanya.
Bagi pihak pemenang, kata dia, tidak "ngasorake", atau istilahnya merendahkan pihak yang kalah, sedangkan pihak yang kalah juga harus mengakui dan menerima kenyataan.
"Jadi, jangan selalu diartikan siapa ini yang masuk koalisi. Saya melihatnya dua hal yang berbeda," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019