Jajaran pengelola informasi publik instansi Pemerintah Provinsi Bali, berkumpul di Gedung Rupatama Polda Bali guna membahas maraknya berita hoaks di kalangan masyarakat.
"Tentunya pertemuan ini bertujuan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap berita-berita yang berkembang dengan sumber yang tidak jelas atau munculnya hoaks, juga ujaran kebencian yang dapat membuat situasi kamtibmas jadi tidak kondusif," kata Kasubbid PID Bidhumas Polda Bali AKBP I Made Rustawan, saat membacakan sambutan Kabid Humas Polda Bali.
Ia juga menjelaskan perkembangan pesat media khususnya untuk media sosial dan online, baik penyajian informasinya yang bersifat positif atau negatif. Pihaknya pun mengimbau agar para pejabat pengelola informasi publik dapat menyebarkan dan membagi informasi yang bersifat positif.
Selain itu, ia juga mengharapkan untuk tidak membagikan informasi yang dapat memicu perselisihan, serta dapat memecah belah persatuan dan kesatuan masyarakat dan antarumat beragama.
“Kita yang tahu kondisi sebenarnya justru diam (silent majority) sehingga akhirnya berita hoaks tersebut dianggap benar. Hal itulah yang disebut dengan fire hoose of false hood (semburan berita-berita bohong) yang dihembuskan oleh segelintir orang tidak bertanggung jawab yang harus kita lawan bersama. Janganlah kita jadi silent majority yang tidak ingin situasi kamtibmas menjadi terganggu,” jelas Made Rustawan.
Pihaknya pun mengajak masyarakat dan para pejabat pengelola informasi publik untuk dapat mengantisipasi situasi ini agar tetap kondusif dan tidak mudah terprovokasi oleh berita hoaks.
"Salah satu caranya adalah dengan ikut serta memberikan edukasi kepada netizen dengan cara tidak ikut berkomentar yang aneh-aneh di media sosial, mencermati dan mengecek kebenaran informasi yang diterima, jangan mudah terpancing dengan berita hoaks,” katanya.
Ketua PWI Bali, IGMB Dwikora Putra juga memberikan pemahaman tentang penggunaan istilah berita hoaks yang sering disampaikan di masyarakat. Pihaknya menilai pengertian tentang berita hoaks yang menjamur di berbagai kalangan memiliki kerancuan.
"Sebetulnya tidak ada seperti itu, yang benar adalah informasi hoaks atau informasi bohong. Jadi bukan terletak pada berita yang bohong. Kalau sudah berita, ya tidak bohong. jadi berita itu adalah fakta realita yang disampaikan pers, sedangkan informasi, siapa saja bisa menyampaikan informasi dan dimana saja kita bisa mendapatkan informasi termasuk di media sosial," katanya.
Ia juga mengatakan, keberadaan berita sudah pasti hanya ditemukan di media massa atau media pers. Apabila terdapat produk-produk jurnalistik yang dibagi di media sosial, dapat disebut juga sebagai berita.
Menurutnya, penyebutan istilah berita hoaks ini sangat mengganggu di kalangan pers, dikarenakan seolah-olah hoaks terbentuk dan berasal dari pers, melainkan yang menyebarkan hoaks itu sendiri adalah bukan orang-orang pers.
“Mungkin ada satu dua, itu karena ada persoalan lain tetapi bukanlah suatu bentuk karya jurnalistik yang sengaja disebarkan kepada masyarakat,” kata Dwikora Putra.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
"Tentunya pertemuan ini bertujuan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap berita-berita yang berkembang dengan sumber yang tidak jelas atau munculnya hoaks, juga ujaran kebencian yang dapat membuat situasi kamtibmas jadi tidak kondusif," kata Kasubbid PID Bidhumas Polda Bali AKBP I Made Rustawan, saat membacakan sambutan Kabid Humas Polda Bali.
Ia juga menjelaskan perkembangan pesat media khususnya untuk media sosial dan online, baik penyajian informasinya yang bersifat positif atau negatif. Pihaknya pun mengimbau agar para pejabat pengelola informasi publik dapat menyebarkan dan membagi informasi yang bersifat positif.
Selain itu, ia juga mengharapkan untuk tidak membagikan informasi yang dapat memicu perselisihan, serta dapat memecah belah persatuan dan kesatuan masyarakat dan antarumat beragama.
“Kita yang tahu kondisi sebenarnya justru diam (silent majority) sehingga akhirnya berita hoaks tersebut dianggap benar. Hal itulah yang disebut dengan fire hoose of false hood (semburan berita-berita bohong) yang dihembuskan oleh segelintir orang tidak bertanggung jawab yang harus kita lawan bersama. Janganlah kita jadi silent majority yang tidak ingin situasi kamtibmas menjadi terganggu,” jelas Made Rustawan.
Pihaknya pun mengajak masyarakat dan para pejabat pengelola informasi publik untuk dapat mengantisipasi situasi ini agar tetap kondusif dan tidak mudah terprovokasi oleh berita hoaks.
"Salah satu caranya adalah dengan ikut serta memberikan edukasi kepada netizen dengan cara tidak ikut berkomentar yang aneh-aneh di media sosial, mencermati dan mengecek kebenaran informasi yang diterima, jangan mudah terpancing dengan berita hoaks,” katanya.
Ketua PWI Bali, IGMB Dwikora Putra juga memberikan pemahaman tentang penggunaan istilah berita hoaks yang sering disampaikan di masyarakat. Pihaknya menilai pengertian tentang berita hoaks yang menjamur di berbagai kalangan memiliki kerancuan.
"Sebetulnya tidak ada seperti itu, yang benar adalah informasi hoaks atau informasi bohong. Jadi bukan terletak pada berita yang bohong. Kalau sudah berita, ya tidak bohong. jadi berita itu adalah fakta realita yang disampaikan pers, sedangkan informasi, siapa saja bisa menyampaikan informasi dan dimana saja kita bisa mendapatkan informasi termasuk di media sosial," katanya.
Ia juga mengatakan, keberadaan berita sudah pasti hanya ditemukan di media massa atau media pers. Apabila terdapat produk-produk jurnalistik yang dibagi di media sosial, dapat disebut juga sebagai berita.
Menurutnya, penyebutan istilah berita hoaks ini sangat mengganggu di kalangan pers, dikarenakan seolah-olah hoaks terbentuk dan berasal dari pers, melainkan yang menyebarkan hoaks itu sendiri adalah bukan orang-orang pers.
“Mungkin ada satu dua, itu karena ada persoalan lain tetapi bukanlah suatu bentuk karya jurnalistik yang sengaja disebarkan kepada masyarakat,” kata Dwikora Putra.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019