Ketua Komisi I DPRD Bali Ketut Tama Tenaya mengkritisi rencana mengadakan kereta api di Bali, karena rencana itu perlu dikaji matang, mengingat wilayah Pulau Dewata luasnya kecil dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.
"Saya kira kereta api itu perlu kajian lebih matang karena Bali ini kecil. Kereta api itu nanti untuk siapa? Masalahnya kultur di Bali itu beda dengan negara (dan kota) lain," kata Tama Tenaya di Denpasar, Minggu.
Ia mengatakan kalau melihat dari penggunaan di negara atau kota besar seperti Jakarta, masyarakat naik kereta api untuk pergi ke kantor.
Ada perbedaan mendasar antara kultur atau kebudayaan orang Bali dengan orang luar. “Kalau di Bali katakan orang mau "meajar-ajar" (upacara untuk mengiring para Dewa ke berbagai pura) tidak mungkin naik kereta api. Naiknya pasti mobil pribadi," ucapnya.
Tama Tenaya meminta pemerintah mempertimbangkan kultur masyarakat agar nantinya proyek kereta api tidak mubazir, sebab untuk mengadakan kereta api perlu biaya besar.
"Kereta api ini harus dipikir ulang. Takutnya kereta api muter-muter tapi kosong. Biaya operasional besar bisa bangkrut nanti pemerintah," ujar politikus Tanjung Benoa, Badung.
Menurut Tama Tenaya, kalaupun kereta api di-setting untuk wisatawan, dampaknya harus dipikirkan. Karena jika semua wisatawan memakai kereta api, travel agent bisa mati.
Sebagai ganti proyek kereta api, Tama mengusulkan diperbanyak membangun infrastruktur jalan seperti "shortcut" atau jembatan pintas dan jalan bebas hambatan (bypass). Shortcut seperti di Tabanan dan kini sedang digarap untuk jalur ke Buleleng dinilai sangat efektif mengefisiensikan perjalanan.
Sementara untuk kawasan padat seperti Bali bagian selatan, Tama mengusulkan memperbanyak underpass atau jalan bawah tanah. Dengan adanya underpass, kemacetan yang kerap terjadi di simpang Bandara Ngurah Rai sudah terurai.
"Kalau jalan seperti 'shortcut, bypass atau underpass', semua sangat bermanfaat mengatasi kemacetan karena semua bisa menggunakan," ujarnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
"Saya kira kereta api itu perlu kajian lebih matang karena Bali ini kecil. Kereta api itu nanti untuk siapa? Masalahnya kultur di Bali itu beda dengan negara (dan kota) lain," kata Tama Tenaya di Denpasar, Minggu.
Ia mengatakan kalau melihat dari penggunaan di negara atau kota besar seperti Jakarta, masyarakat naik kereta api untuk pergi ke kantor.
Ada perbedaan mendasar antara kultur atau kebudayaan orang Bali dengan orang luar. “Kalau di Bali katakan orang mau "meajar-ajar" (upacara untuk mengiring para Dewa ke berbagai pura) tidak mungkin naik kereta api. Naiknya pasti mobil pribadi," ucapnya.
Tama Tenaya meminta pemerintah mempertimbangkan kultur masyarakat agar nantinya proyek kereta api tidak mubazir, sebab untuk mengadakan kereta api perlu biaya besar.
"Kereta api ini harus dipikir ulang. Takutnya kereta api muter-muter tapi kosong. Biaya operasional besar bisa bangkrut nanti pemerintah," ujar politikus Tanjung Benoa, Badung.
Menurut Tama Tenaya, kalaupun kereta api di-setting untuk wisatawan, dampaknya harus dipikirkan. Karena jika semua wisatawan memakai kereta api, travel agent bisa mati.
Sebagai ganti proyek kereta api, Tama mengusulkan diperbanyak membangun infrastruktur jalan seperti "shortcut" atau jembatan pintas dan jalan bebas hambatan (bypass). Shortcut seperti di Tabanan dan kini sedang digarap untuk jalur ke Buleleng dinilai sangat efektif mengefisiensikan perjalanan.
Sementara untuk kawasan padat seperti Bali bagian selatan, Tama mengusulkan memperbanyak underpass atau jalan bawah tanah. Dengan adanya underpass, kemacetan yang kerap terjadi di simpang Bandara Ngurah Rai sudah terurai.
"Kalau jalan seperti 'shortcut, bypass atau underpass', semua sangat bermanfaat mengatasi kemacetan karena semua bisa menggunakan," ujarnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019