Tidak hanya di Pulau Jawa yang mayoritas Muslim, namun di Pulau Bali yang Muslim-nya cukup minoritas pun ada tradisi melepas jamaah yang hendak berangkat menunaikan ibadah umrah ke Tanah Suci.

Sejak Minggu (3/3) sore atau usai Sholat Asar, sejumlah orang berkumpul di depan halaman rumah H Mashur di Gatot Subroto (Gatsu) VI-L, Banjar Teruna Sari Dauh Puri Kaja (Gatsu Tengah), Kota Denpasar, Bali, bahkan jamaah hingga seratusan orang yang menghadiri tasyakuran umrah itu.

Acaranya diawali dengan pembacaan ayat suci Al-Qur'an yang mengisahkan napak tilas perjalanan Nabi Ibrahim yang merupakan ritual haji atau umrah, lalu disambung dengan sambutan keluarga yang diwakili anak H Mashur, yakni Farizqi Mulya.

"Meskipun belum 100 persen pulih, kami mohon doa restu bapak-bapak agar ayah saya yang sempat mengalami stroke bisa kembali sehat seperti sediakala, sehingga ibadah umrah-nya lancar," kata Rizqi dalam sambutannya.

"Aamiin....," kata hadirin menjawab harapan keluarga untuk kelancaran umrah yang dilaksanakan H Mashur sekeluarga pada 12 Maret hingga 10 hari berikutnya.

Setelah sambutan usai, maka acara dilanjutkan dengan pembacaan sholawat dan talbiyah hingga ditutup dengan doa dan diakhiri dengan santap siang dengan menu gulai, lontong, dan aneka hidangan kue dan buah-buahan.

Saat pembacaan sholawat dan talbiyah itulah, H Mashur bersama anaknya Farizqi Mulya tampak berjalan keliling menyalami hadirin satu per satu. Keduanya mewakili keluarga besar H Mashur yang menunaikan ibadah umrah yakni istri, kedua anaknya, dan kedua besannya.

Acara pun usai, maka seratusan anggota Jamaah Musholla Al-Hidayah Gatsu, Jamaah Masjid Raya Baiturrohman Wanasari, dan sekitarnya yang hadir pun berpamitan dengan menyalami H Mashur selaku "shohibul bait" (tuan rumah) di depan rumahnya.

Saat bersalaman untuk berpamitan pulang itu pun ada sebagian hadirin yang menitipkan sandal untuk dibawa ke Tanah Suci agar dirinya "terpanggil" untuk beribadah haji atau umrah, namun tidak sedikit yang meminta didoakan dari Tanah Suci. "In Syaa-Allah," kata H Mashur, menjawab dengan tersenyum.

Ya, begitulah semangat minoritas Muslim di Bali untuk menunaikan rukun Islam kelima (haji) atau umrah (haji kecil) yang ditunjukkan dengan tradisi pelepasan sebagai ungkapan syukur dan doa, sekaligus harapan untuk bisa juga menyusul beribadah ke Tanah Suci dengan caranya masing-masing.

"Kalau acara seperti ini di Jawa sudah biasa, karena di sana memang mayoritas Muslim, tapi kalau di Bali yang Muslim-nya minoritas, tentu tradisi yang luar biasa," kata anggota Jamaah Musholla Al-Hidayah Gatsu, Denpasar, Umar Alkhatab.

Contoh Toleransi
Yang menarik, tradisi pelepasan jamaah umrah dari minoritas Muslim di Pulau Dewata itu justru diamankan pecalang (petugas keamanan adat) dari umat Hindu yang berjaga di ujung barat dan timur dari Jalan Gatsu VI-L itu.

Selain itu, sejumlah tamu dari umat Hindu juga tampak hadir untuk "melepas" H Mashur sekeluarga yang merupakan tokoh masyarakat setempat, karena itu Kelian Banjar Teruna Sari juga terlihat datang bersama istrinya.

"Sebagai wakil rakyat yang sering datang kesini, saya tahu sendiri bahwa Banjar Teruna Sari merupakan contoh toleransi antar-umat beragama yang baik di Bali," kata anggota DPRD Kota Denpasar, Ketut Suteja Kumara ST, dalam sosialisasi Pemilu 2019 di balai banjar setempat, Minggu (3/3) pagi.

Oleh karena itu,  anggota DPRD Denpasar yang kini mencalonkan diri sebagai legislator untuk ketiga kalinya itu pun sering mengajak teman-temannya untuk datang ke Banjar Teruna Sari.

"Kalau mau melihat contoh yang terbaik untuk toleransi di Bali ya datang saja ke Banjar Teruna Sari yang warganya sangat harmonis antara Muslim, Hindu, dan Kristen," katanya disela-sela berdialog dengan warga banjar setempat.

Politikus PDIP Denpasar itu mencontohkan saat ibadah qurban (Idul Adha) di Musholla Al-Hidayah Gatsu, sejumlah pecalang beragama Hindu yang mengamankan prosesi pemotongan hewan kurban itu.

"Saya pernah ke sini saat warga Muslim disini mengangkat hewan qurban secara ramai-ramai untuk dipotong Haji Daldiri (Pembina Yayasan Musholla Al-Hidayah Gatsu), saya bertemu pecalang non-Muslim yang mengamankan prosesi ritual Muslim itu," katanya.

Sebaliknya, kalau Hari Suci Nyepi diamankan pecalang dari Muslim dan Kristen. "Begitu juga kalau Natal, maka pecalang beragama Hindu dan Muslim yang membantu pengamanan ritual ibadahnya," kata legislator muda itu.

Baca juga: "Sabtu Ceria" semarakkan Musholla Al-Hidayah Gatsu-Denpasar
Baca juga: Alumni Pesantren Sidogiri Bina 26 TPQ Se-Bali

Jadi, kehidupan antar-umat beragama di kawasan Banjar Teruna Sari Dauh Puri Kaja, Kota Denpasar, Bali itu cukup harmonis, bahkan juga diakui sangat harmonis, sehingga dapat menjadi contoh  toleransi bagi daerah-daerah lain.

"Itu karena di sini tidak pernah terjadi ada penolakan warga beragama lain untuk tinggal di sini, seperti isu yang sering beredar dari mulut ke mulut tanpa fakta di pulau ini," katanya.

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : I Komang Suparta


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019