Denpasar (Antaranews Bali) - Budayawan Prof Dr I Wayan Dibia mengkhawatirkan kesakralan sejumlah tari yang tergolong Tari Wali kian kabur akibat munculnya tari Rejang Renteng yang semakin semarak ditarikan saat ritual keagamaan.
 
"Saya khawatir kemunculan tari Rejang Renteng sebagai tarian baru. Bahkan dengan kesemarakan yang ditonjolkan  mengganggu keberadaan Tari Wali," kata Prof Dibia saat menjadi pembicara seminar dan workshop tari Rejang Renteng, di Denpasar, Kamis.

Menurut dia, tren tari Rejang yang bermunculan saat ini memang di satu sisi  ada energi baru atau ada hal positif. "Namun, pertanyaannya hadirnya berbagai tari Rejang sebagai Tari Wali dengan hal-hal yang baru, bagaimana dengan Tari Wali yang sudah ada?," ucapnya mempertanyakan.

Prof Dibia menyebutkan, di Kabupaten Karangasem, di satu kecamatan saja ditemukan ada 27 jenis tari Rejang, masing - masing memiliki kekhasan yang berbeda satu dengan yang lainya.

"Bicara tari Rejang sebagai Tari Wali pasti  ditarikan saat proses ritual, sedangkan sekarang kita melihat banyak Rejang digunakan pada acara-acara di luar  konteks ritual, seperti festival bahkan dipertontonkan untuk kepentingan politik. Setelah itu tiba-tiba tari Rejang disuguhkan pula di pura," ujarnya pada acara yang digelar oleh UPT Taman Budaya Denpasar itu.
 
Menurut dia, Tari Wali merupakan tari ritual yang sudah menjalani proses sakralisasi yang cukup panjang. "Bagaimana dengan rejang yang baru saat ini  sudah bisa tampil di Penataran Agung Pura Besakih? Apakah sudah dilakukan proses sakralisasi  seperti itu, padahal tari  wali cenderung tidak boleh mengutak atik proses ritusnya," ucapnya.
 
Persoalannya sekarang, lanjut Prof Dibia, bagaimana menempatkan tarian ini sesuai dengan peruntukanya dan tatwanya.

"Harus ada formulasi baru, agar tidak mengubah tatanan spiritual, sehingga tidak  menjadi konflik antarseniman yang 'ngaturan ngayah' menari. Misalnya saat proses upacara di pura, antara penari Topeng saat mengiringi Ratu Pedanda mamuja (memimpin doa) agar tidak berbenturan gara-gara Rejang Renteng yang ditampilkan menghabiskan waktu proses upakara. Ini sudah ada kasusnya di wilayah Gianyar," katanya.

Tentang tata pola gerak tari rejang, Prof Dibia berpandangan secara tampilan tarian rejang ini sangat artistik. Artinya, tarian ini sangat gampang ditarikan oleh perempuan Bali walaupun dasar tarinya tidak ada.  "Secara konsep tarian ini sudah memenuhi kebenaran (Satyam) , kesucian (Siwam) dan keindahan (Sundaram)," ucapnya.

Sementara itu Ketut Sumarta dari Majelis Utama Desa Pakraman ( MUDP) Provinsi Bali menanggapi  kesan kesemarakan tari rejang diantaranya menempatkan wanita Bali itu hadir dan terlibat dalam kegiatan adat dan wanita Bali benar - benar mempesona ketika tampil menarikan rejang.

"Ini aspek positif bagi pembinaan adat karena kegairahan perempuan Bali ikut ambil bagian dalam kegiatan tradisi, begitu pula aspek ekonomi dapat bergerak. Biasanya ibu-ibu ngerumpi sekarang mulai fokus membicarakan ngerejang, ini positif bisa membangkitkan kesenian," ucapnya.
 
Tetapi, dia  sependapat dengan Prof Dibia, sajian Rejang Renteng kalau benar ditampilkan mengikuti proses ritual harus melalui proses sakraliasi, itu harus dilakukan.

"Kepada prajuru desa yang belum memiliki Rejang silakan dibuat, tetapi bagi desa yang memiliki Rejang dan sudah menjadi Tari Wali jangan diutak-atik lagi," katanya.
 
Untuk itu , Sumarta mengusulkan UPT Taman Budaya, agar selesai seminar ini bisa merekomendasikan kepada Dinas Kebudayaan  untuk menyamakan persepsi dengan pihak terkait diantaranya MUDP, PHDI, Listibya, pemerintah daerah dan seniman membuat kesatuan tafsir tentang rejang.

"Tari Rejang Renteng ini harus ada aspek kesatuan tafsir,  kalau masuk Tari  Wali harus melalui proses sakralisasi, tatwanya (filsafat) jelas, sehingga masyarakat paham dan tidak bingung," ucapnya.

Dalam workshop tersebut, perekonstruksi rejang  Ida Ayu Diastini memberikan materi tari Rejang sesuai pakemnya seperti tata pakaian dan pakem  tarinya. Workshop  tersebut diikuti 50 orang dari para pemilik sanggar dan pegiat seni di Bali.

Sementara itu Kepala UPT Taman Budaya Denpasar  I Made Suarja SSkar mengatakan kegiatan tersebut bertujuan untuk memberikan pemahaman terhadap kesenian Tari Rejang Renteng. 

"Saat ini masih banyak masyarakat kebingungan memahami munculnya tari Rejang. Jadi, kami mengundang perwakilan kabupaten/kota se Bali dan menghadirkan para pembicara yang kompeten di bidangnya, " kata Suarja didampingi ketua panitia workshop Ni Komang Sriani.(ed)

Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019