Denpasar (Antaranews Bali) - Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibya) Provinsi Bali mendiskusikan sejumlah upaya untuk menyikapi perkembangan arsitektur Bali dalam menghadapi modernisasi dan era global, dengan menghadirkan budayawan dan para pihak terkait.
       
"Kami melihat perkembangan arsitektur Bali telah mengalami pergeseran, jadi untuk melihat sejauhmana pergeseran itu terjadi dan sejauh mana pengaruhnya terhadap kehidupan kita, positif atau negatif, ini yang dibicarakan dalam seminar ini," kata Ketua Harian Listibya Provinsi Bali Dr Nyoman Astita, dalam acara Seminar Seni, Desain, dan Arsitektur 2018, di Denpasar, Senin.
       
Pada seminar yang bertajuk "Memaknai Kembali  Seni, Budaya, Desain, dan Arsitektur yang Berbasis Kearifan Lokal  dalam Pembangunan Berkelanjutan" tersebut, ia mengakui sekarang ini tidak bisa dipungkiri banyak arsitektur modern yang "casingnya" seperti tradisional Bali, atau sebaliknya dengan "casing" arsitektur tradisional Bali tetapi mengadopsi arsitektur modern.
     
"Ini tentu perkembangan zaman yang tidak bisa dihindari, namun kita harus bisa setidak-tidaknya turut mengontrol. Melalui seminar ini, kemudian dapat dijadikan semacam evaluasi yang bisa disampaikan kepada para pemegang kebijakan tentang bagaimana seharusnya menyikapi perkembangan arsitektur seperti itu," ujar Astita.
      
Seniman karawitan Bali ini menambahkan, di satu sisi memang arsitektur Bali harus dijaga karena sebagai identitas kedaerahan, tetapi adaptasi dengan modernitas pun harus dapat dikomunikasikan dengan baik. Jangan sampai pula adaptasi tersebut sampai "kebablasan".
       
Apalagi, tambah Astita, sesungguhnya adaptasi dan akulturasi budaya Bali dengan budaya luar sebenarnya sudah terjadi sejak dahulu, contohnya saja dengan kebudayaan China.
     
"Tinggal tugas kita bagaimana menyikapi dengan cerdas dan menyesuaikan sesuai dengan fungsinya, tetap bermanfaat, di samping memperhatikan dari sisi mitigasi kebencanaan," ucapnya yang juga sebagai moderator dalam diskusi yang dihadiri para budayawan, para arsitek, perwakilan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali dan kabupaten/kota, serta pihak terkait lainnya.
     
Sementara itu, pembicara seminar  Dr Ngakan Ketut  Acwin Dwijendra, ST, MA mengatakan tidak bisa dimungkiri ada dilema antara modernitas dan tradisi di era saat ini.
     
"Di satu sisi ingin menjaga kearifan lokal, di sisi lain tdak bisa lepas dari benturan modernisasi. Ini pun tidak bisa dilepaskan dalam konteks budaya, desain, dan termasuk arsitektur Bali, di tengah perkembangan industri pariwisata yang luar biasa," ucapnya yang juga akademisi Universitas Udayana itu.
     
Acwin berpandangan, banyak arsitek yang bisa menjaga kearifan lokal dengan baik, yakni dengan mengharmoniskan antara unsur modern dan tradisional, namun ada juga yang gagal. "Oleh karena itu, lewat seminar ini ingn memberikan masukan bagaimana cara mengharmoniskan antara arsitektur modern dan arsitektur Bali dalam kekinian, sehingga identitas lokal Bali itu tetap terjaga dengan baik," ujarnya.
 
Ia berbagi tips sederhana untuk mengawinkan metode tradisional dan modern dalam arsitektur yakni kalau memungkinkan dengan perbandingan minimal 50:50, menjadi lebih baik lagi kalau arsitektur Balinya di atas 50 persen.
     
"Yang jelas, tata nilai arsitektur Bali harus dijaga, mana kawasan yang suci, madya, dan nista. Itu harga mati. Landscape Bali harus diutamakan, selain untuk menjaga umat Hindu Bali dan sekaligus kesinambungan pembangunan," kata Acwin yang juga ketua panitia seminar.
     
Sedangkan pembicara lainnya, Prof Dr I Wayan Ardika MA berpandangan kearifan lokal dalam arsitektur, seni dan desain Bali sangat perlu dilestarikan dan dikembangkan untuk pembangunan berkelanjutan.
     
"Kearifan lokal dapat menciptakan diversitas budaya Bali dalam bingkai multikulturalisme yang berlandaskan filosofi Tri Hita Karana (hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan," kata Guru Besar Universitas Udayana itu.
       
Dalam seminar tersebut, juga menghadirkan dua pembicara lainnya yakni budayawan Drs I Wayan Griya dengan materi berjudul "Objek Khas dan Genius dalam Pemajuan Kebudayaan, Roadmap Menuju Warisan Budaya Dunia UNESCO" dan Made Arini Hanindharputri SSn, MSn dengan materi berjudul "Peranan Sosial Media dalam Promosi Desa Wisata Budaya Berkelanjutan". (*)

Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018