Denpasar, (Antaranews Bali) - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Denpasar, Bali, mengadili terdakwa I Nyoman Wirawan (33) karena tertangkap tangan melakukan kasus pungutan liar pengurusan surat-surat sebagai syarat penjualan tanah di Desa Buahan, Payangan, Gianyar.
"Perbuatan terdakwa telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksa seseorang memberi sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Putu Iskadi Kekeran di Denpasar, Selasa.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Angeliky Handajani Day itu, jaksa menilai pebuatan terdakwa dapat diancam degan Pasal 12 huruf e dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Terdakwa yang merupakan Kepala Dusun atau Kelian Banjar Dinas Buahan, Desa Buahan, Payangan, tertangkap tangan melakukan pungutan sebesar Rp25 juta kepada saksi korban Ni Made Wirani (41), pada Mei 2018.
Sebelum tertangkap, saksi Ni Made Wirania dengan adiknya Komang Triyasa Suryana bermaksud mengurus pensertifikatan tanah milik orangtuanya Nyoman Sandra. Atas dasar itu saksi Wirani menemui terdakwa dan membawa dua bendel surat bermaksud untuk menyertifikatkan tanah orangtuanya.
Pada 8 Mei 2018, terdakwa mengirim pesan singkat bertujuan mengajak korban bertemu dan pada saat terjadi pertemuan antara terdakwa dan saksi pada 10 Mei 2018, terdakwa mengatakan bahwa pengurusan sertifikat yang sudah ditandatangani dikenakan biaya Rp25 juta.
Korban sempat bertanya terkait biaya yang cukup mahal itu, namun terdakwa mengatakan kepada saksi bahwa pembayaran itu wajib dilakukan pemohon untuk meminta tanda tangan kelian banjar. Lantas saksi korban, mengatakan tidak memilik uang dan meminta penundaan pembayaran, namun tetap meminta kepada terdakwa untuk menandatanganinya dan terdakwa menolak menandatangani berkas surat pengajuan sertifikat itu.
Singkat cerita, pada 17 Mei 2018, terdakwa mengirim pesan singkat bahwa surat permohonan sudah ditandatangani. Namun, korban kembali mengatakan tidak punya uang, namun terdakwa memaksa. Korban datang kerumah terdakwa untuk mengkroscek berkas apakah sudah ditandatangani atau belum oleh terdakwa pada 18 Juli 2018. Namun, terdakwa tetap meminta uang dan saksi korban menegaskan hanya memegang uang Rp10 juta yang dibungkus dalam amplop.
Setelah itu, Ni Made Wirania alias Nuasih pulang ke rumahnya sambil membawa berkas yang ditandatangani terdakwa. Di tengah perjalanan, dia dicegat polisi dari Satuan Tindak Saber Pungli Polres Gianyar. Korban mengatakan bahwa dia baru pulang dari rumah kelian banjar untuk mengambil berkas pengurusan pensertifikatan tanahnya yang telah menghabiskan biaya Rp10 juta.
Selanjutnya, tim Saber pungutan liar mengamankan berkas korban dan telepon genggamnya, lalu bergegas menuju rumah terdakwa dan melakukan penggeledahan. Saat diperiksa, petugas menemukan uang tunai Rp10 juta yang diakui terdakwa baru diterima dari saksi korban.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Perbuatan terdakwa telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksa seseorang memberi sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Putu Iskadi Kekeran di Denpasar, Selasa.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Angeliky Handajani Day itu, jaksa menilai pebuatan terdakwa dapat diancam degan Pasal 12 huruf e dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Terdakwa yang merupakan Kepala Dusun atau Kelian Banjar Dinas Buahan, Desa Buahan, Payangan, tertangkap tangan melakukan pungutan sebesar Rp25 juta kepada saksi korban Ni Made Wirani (41), pada Mei 2018.
Sebelum tertangkap, saksi Ni Made Wirania dengan adiknya Komang Triyasa Suryana bermaksud mengurus pensertifikatan tanah milik orangtuanya Nyoman Sandra. Atas dasar itu saksi Wirani menemui terdakwa dan membawa dua bendel surat bermaksud untuk menyertifikatkan tanah orangtuanya.
Pada 8 Mei 2018, terdakwa mengirim pesan singkat bertujuan mengajak korban bertemu dan pada saat terjadi pertemuan antara terdakwa dan saksi pada 10 Mei 2018, terdakwa mengatakan bahwa pengurusan sertifikat yang sudah ditandatangani dikenakan biaya Rp25 juta.
Korban sempat bertanya terkait biaya yang cukup mahal itu, namun terdakwa mengatakan kepada saksi bahwa pembayaran itu wajib dilakukan pemohon untuk meminta tanda tangan kelian banjar. Lantas saksi korban, mengatakan tidak memilik uang dan meminta penundaan pembayaran, namun tetap meminta kepada terdakwa untuk menandatanganinya dan terdakwa menolak menandatangani berkas surat pengajuan sertifikat itu.
Singkat cerita, pada 17 Mei 2018, terdakwa mengirim pesan singkat bahwa surat permohonan sudah ditandatangani. Namun, korban kembali mengatakan tidak punya uang, namun terdakwa memaksa. Korban datang kerumah terdakwa untuk mengkroscek berkas apakah sudah ditandatangani atau belum oleh terdakwa pada 18 Juli 2018. Namun, terdakwa tetap meminta uang dan saksi korban menegaskan hanya memegang uang Rp10 juta yang dibungkus dalam amplop.
Setelah itu, Ni Made Wirania alias Nuasih pulang ke rumahnya sambil membawa berkas yang ditandatangani terdakwa. Di tengah perjalanan, dia dicegat polisi dari Satuan Tindak Saber Pungli Polres Gianyar. Korban mengatakan bahwa dia baru pulang dari rumah kelian banjar untuk mengambil berkas pengurusan pensertifikatan tanahnya yang telah menghabiskan biaya Rp10 juta.
Selanjutnya, tim Saber pungutan liar mengamankan berkas korban dan telepon genggamnya, lalu bergegas menuju rumah terdakwa dan melakukan penggeledahan. Saat diperiksa, petugas menemukan uang tunai Rp10 juta yang diakui terdakwa baru diterima dari saksi korban.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018