Jakarta (Antaranews Bali) - Komite Nasional Pengendalian Tembakau menilai Peraturan Presiden No.82/2018 tentang Jaminan Kesehatan, yang antara lain mengatur kontribusi pajak rokok daerah untuk penyelenggaraan jaminan kesehatan, melangkahi undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah.

"Pajak rokok daerah merupakan hak daerah sesuai mandat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah," kata Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Komnas Pengendalian Tembakau Widyastuti Soerojo saat dihubungi dari Jakarta, Rabu.

Komnas Pengendalian Tembakau menyatakan kebijakan penggunaan pajak rokok daerah untuk menutup defisit BPJS Kesehatan seharusnya hanya diberlakukan sementara.

"Kebijakan ini dikukuhkan melalui Perpres, bukan sebagai upaya darurat mengatasi krisis. Akibatnya bisa fatal bila pajak rokok diharapkan mengikuti kebutuhan untuk menambal defisit," tuturnya.
 
Lewat Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan, dia mengatakan, pemerintah seolah hanya menyelesaikan masalah di hilir dengan memerintahkan semua daerah menyerahkan sebagian pajak rokok tanpa batasan waktu.

Pemerintah, menurut dia, seharusnya membuat keputusan berani untuk menyelesaikan masalah defisit BPJS Kesehatan dari hulu, antara lain dengan menaikkan iuran.

"Di dalam Perpres tersebut tidak jelas indikasi meningkatkan premi untuk mengatasi masalah sistemik yang terjadi," katanya.

Pasal 99 Peraturan Presiden No.82/2018 antara lain menyebutkan bahwa pemerintah daerah wajib mendukung penyelenggaraan jaminan kesehatan melalui kontribusi dari pajak rokok bagian daerah, dan menurut Pasal 100 besaran kontribusinya 75 persen dari 50 persen realisasi penerimaan pajak masing-masing daerah. (WDY)

Pewarta: Dewanto Samodro

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018