Denpasar (Antaranews Bali) - Ketua Asosiasi Forum Kerukunan Umat Beragama Indonesia Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet berpandangan tokoh-tokoh yang duduk di Dewan Perwakilan Daerah pada Pemilu 2019 sebaiknya merupakan penduduk asli dari masing-masing provinsi.
"DPD adalah pengejawantahan kebhinekaan daerah di MPR, mengusung platform daerah dan harus yang sangat paham terhadap nilai-nilai dasar daerah yang diwakili," kata Putra Sukahet, di Denpasar, Minggu.
Menurutnya, wakil daerah di DPD harus penduduk asli daerah itu karena merekalah yang bisa sangat paham dengan nilai-nilai daerah bersangkutan, serta yang bisa memperjuangkan kepatutan dan atau nilai dasar daerah itu.
"Kalau sampai ada usaha-usaha bukan dari suku asli daerah itu untuk menjadi wakil daerah di DPD, kami khawatirkan hak-hak suku asli daerah itu merasa terampas," ucapnya yang juga pakar hukum tata negara itu.
Hal tersebut, lanjut dia, akan menjadi kontraproduktif terhadap perjuangan nilai-nilai dasar daerah dan juga kontraproduktif terhadap kerukunan bangsa yang berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Sukahet menambahkan, dilihat dari sejarahnya dalam UUD 1945 sebelum amendemen, keanggotaan MPR terdiri atas anggota DPR dan utusan golongan (agama) dan utusan daerah. Sedangkan dalam UUD 1945 setelah amandemen, keanggotaan MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD (sebagai utusan daerah).
"DPD sebagai wakil rakyat melalui utusan daerah sebaiknya membawa platform daerah yang menyangkut pola dasar pembangunan daerah tersebut, adatnya, budayanya, bahasanya, lingkungannya bahkan ciri keagamaannya," katanya yang juga Ketua FKUB Bali itu.
Dia mencontohkan untuk Aceh, platform daerahnya dengan nilai-nilai Islam, adat Aceh, budaya Aceh, bahasa Aceh, dan alam lingkungan Aceh. Sedangkan untuk daerah-daerah di Jawa dengan nilai-nilai Islam, adat Jawa, budaya Jawa, bahasa Jawa dan lingkungan Jawa.
Untuk daerah Bali dengan nilai-nilai Hindu Bali, adat Bali, budaya Bali, bahasa Bali, lingkungan Bali dan sebagainya.
"DPD dengan demikian, juga berkewajiban tetap menjaga agar setiap suku bangsa dengan adat dan budaya aslinya tetap menjadi tuan selamanya di daerah suku bangsa tersebut. Jangan sampai di daerah aslinya kemudian tergusur oleh suku bangsa, adat, budaya, dari luar daerah itu," ujarnya.
Sukahet mengkhawatirkan kalau hal tersebut sampai terjadi maka akan menyebabkan "cultural shock" atau ketidaknyamanan psikis dan fisik karena merasa dipinggirkan oleh pendatang dengan budayanya yang lain, yang sebenarnya tidak boleh terjadi di Indonesia.
"Jadi, biarlah orang Aceh yang mewakili Aceh di DPD, biarlah orang Jawa yang mewakili provinsi-provinsi di Jawa dalam DPD, biarlah orang asli Papua yang mewakili Papua di DPD, serta biarlah orang asli Bali yang mewakili Bali di DPD. Demikian juga wakil daerah lainnya di DPD," katanya.
Sedangkan kalau untuk wakil di DPR, walaupun ada daerah pemilihannya, namun yang diusung adalah kepentingan partai, platform partai sehingga wakilnya tidak harus dari orang asli daerah itu. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"DPD adalah pengejawantahan kebhinekaan daerah di MPR, mengusung platform daerah dan harus yang sangat paham terhadap nilai-nilai dasar daerah yang diwakili," kata Putra Sukahet, di Denpasar, Minggu.
Menurutnya, wakil daerah di DPD harus penduduk asli daerah itu karena merekalah yang bisa sangat paham dengan nilai-nilai daerah bersangkutan, serta yang bisa memperjuangkan kepatutan dan atau nilai dasar daerah itu.
"Kalau sampai ada usaha-usaha bukan dari suku asli daerah itu untuk menjadi wakil daerah di DPD, kami khawatirkan hak-hak suku asli daerah itu merasa terampas," ucapnya yang juga pakar hukum tata negara itu.
Hal tersebut, lanjut dia, akan menjadi kontraproduktif terhadap perjuangan nilai-nilai dasar daerah dan juga kontraproduktif terhadap kerukunan bangsa yang berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Sukahet menambahkan, dilihat dari sejarahnya dalam UUD 1945 sebelum amendemen, keanggotaan MPR terdiri atas anggota DPR dan utusan golongan (agama) dan utusan daerah. Sedangkan dalam UUD 1945 setelah amandemen, keanggotaan MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD (sebagai utusan daerah).
"DPD sebagai wakil rakyat melalui utusan daerah sebaiknya membawa platform daerah yang menyangkut pola dasar pembangunan daerah tersebut, adatnya, budayanya, bahasanya, lingkungannya bahkan ciri keagamaannya," katanya yang juga Ketua FKUB Bali itu.
Dia mencontohkan untuk Aceh, platform daerahnya dengan nilai-nilai Islam, adat Aceh, budaya Aceh, bahasa Aceh, dan alam lingkungan Aceh. Sedangkan untuk daerah-daerah di Jawa dengan nilai-nilai Islam, adat Jawa, budaya Jawa, bahasa Jawa dan lingkungan Jawa.
Untuk daerah Bali dengan nilai-nilai Hindu Bali, adat Bali, budaya Bali, bahasa Bali, lingkungan Bali dan sebagainya.
"DPD dengan demikian, juga berkewajiban tetap menjaga agar setiap suku bangsa dengan adat dan budaya aslinya tetap menjadi tuan selamanya di daerah suku bangsa tersebut. Jangan sampai di daerah aslinya kemudian tergusur oleh suku bangsa, adat, budaya, dari luar daerah itu," ujarnya.
Sukahet mengkhawatirkan kalau hal tersebut sampai terjadi maka akan menyebabkan "cultural shock" atau ketidaknyamanan psikis dan fisik karena merasa dipinggirkan oleh pendatang dengan budayanya yang lain, yang sebenarnya tidak boleh terjadi di Indonesia.
"Jadi, biarlah orang Aceh yang mewakili Aceh di DPD, biarlah orang Jawa yang mewakili provinsi-provinsi di Jawa dalam DPD, biarlah orang asli Papua yang mewakili Papua di DPD, serta biarlah orang asli Bali yang mewakili Bali di DPD. Demikian juga wakil daerah lainnya di DPD," katanya.
Sedangkan kalau untuk wakil di DPR, walaupun ada daerah pemilihannya, namun yang diusung adalah kepentingan partai, platform partai sehingga wakilnya tidak harus dari orang asli daerah itu. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018