Nusa Dua (Antaranews Bali) - Konferensi Internasional Minyak Kelapa Sawit dan Lingkungan (ICOPE) 2018 mendorong intensifikasi lahan untuk mendukung pengembangan sawit berkelanjutan yang berkontribusi bagi masyarakat dan memenuhi kebutuhan pangan populasi dunia.
"Kami sudah berkomitmen tidak deforestasi lagi," kata Direktur Utama Sinar Mas Agribisnis dan Pangan Franky Oesman Widjaja selaku salah satu penyelenggara ICOPE 2018 di Nusa Dua, Bali, Rabu.
Pihaknya juga mendukung program pemerintah dengan berpartisipasi memberikan pendampingan kepada petani plasma atau kebun sawit yang dikelola oleh warga dalam peremajaan sawit rakyat atau "replanting".
Pemberian benih berkualitas, penggunaan pupuk, praktik pertanian yang berkelanjutan dan membantu mencarikan sumber pendanaan merupakan bentuk pendampingan kepada petani sawit yang mengelola lahannya secara swadaya.
Dengan demikian, untuk dua juta hektare kebun sawit misalnya bisa menambah hasil produksi menjadi enam juta ton per hektare atau dua kali lipat dari hasil sebelumnya.
"Untuk satu juta petani, pendapatan bertambah menjadi empat miliar dolar AS per tahun, ini luar biasa sekali," ucapnya selain bisa menghemat lahan dengan intensifikasi lahan tersebut.
Franky menyebutkan minyak nabati dari sawit juga merupakan solusi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dunia mengingat tahun 2045-2050 diperkirakan jumlah populasi di muka bumi ini mencapai sekitar 10 miliar sehingga perlu 200 juta minyak nabati tambahan.
Untuk menghasilkan kebutuhan tersebut, kata dia, diperlukan luas lahan sekitar 30-40 juta hektare, luas yang dinilai lebih efisien dibandingkan sumber minyak nabati lain seperti kedelai yang memerlukan sekitar 400 juta hektare dan biji tanaman menghasilkan minyak atau "rapeseed" mencapai sekitar 285 juta hektare.
Menurut dia, keberlanjutan sawit dapat tercapai ketika ada keseimbangan antara peluang ekonomi, perlindungan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat yang sekaligus menjadi kunci dari sektor kelapa sawit dan komponen kunci dalam pertemuan tahun ini yang bertama "solusi untuk produksi lokal".
Dalam pertemuan yang digelar dua tahun sekali itu, menghadirkan sekitar 400 pembicara dari 30 negara yang duduk bersama dalam satu konferensi meliputi para petani, aktivis, pemilik kebun sawit, dan beberapa pemerhati lingkungan dan pakar baik yang mendukung dan kritis terhadap pengembangan kelapa sawit.
Ketua ICOPE 2018 JP Caliman mengatakan selama 11 tahun sejak dimulai tahun 2007, konferensi itu menangani isu dampak lingkungan dari produksi minyak sawit sekaligus sebagai sumber daya berguna dan tidak bias berkaitan produksi minyak sawit berkelanjutan.
"Sejak 11 tahun tiga mitra berbagi nilai yang sama untuk tujuan mencapai keberlanjutan industri kelapa sawit, berkolaborasi merengkut kepercayaan dalam sains," ucapnya.
Tiga mitra yang menggelar konferensi itu yakni Sinar Mas Agribisnis dan Pangan, World Wildlife Fund (WWF) Indonesia dan organisasi kerja sama internasional dan riset pertanian dari Prancis yakni Cirad. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Kami sudah berkomitmen tidak deforestasi lagi," kata Direktur Utama Sinar Mas Agribisnis dan Pangan Franky Oesman Widjaja selaku salah satu penyelenggara ICOPE 2018 di Nusa Dua, Bali, Rabu.
Pihaknya juga mendukung program pemerintah dengan berpartisipasi memberikan pendampingan kepada petani plasma atau kebun sawit yang dikelola oleh warga dalam peremajaan sawit rakyat atau "replanting".
Pemberian benih berkualitas, penggunaan pupuk, praktik pertanian yang berkelanjutan dan membantu mencarikan sumber pendanaan merupakan bentuk pendampingan kepada petani sawit yang mengelola lahannya secara swadaya.
Dengan demikian, untuk dua juta hektare kebun sawit misalnya bisa menambah hasil produksi menjadi enam juta ton per hektare atau dua kali lipat dari hasil sebelumnya.
"Untuk satu juta petani, pendapatan bertambah menjadi empat miliar dolar AS per tahun, ini luar biasa sekali," ucapnya selain bisa menghemat lahan dengan intensifikasi lahan tersebut.
Franky menyebutkan minyak nabati dari sawit juga merupakan solusi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dunia mengingat tahun 2045-2050 diperkirakan jumlah populasi di muka bumi ini mencapai sekitar 10 miliar sehingga perlu 200 juta minyak nabati tambahan.
Untuk menghasilkan kebutuhan tersebut, kata dia, diperlukan luas lahan sekitar 30-40 juta hektare, luas yang dinilai lebih efisien dibandingkan sumber minyak nabati lain seperti kedelai yang memerlukan sekitar 400 juta hektare dan biji tanaman menghasilkan minyak atau "rapeseed" mencapai sekitar 285 juta hektare.
Menurut dia, keberlanjutan sawit dapat tercapai ketika ada keseimbangan antara peluang ekonomi, perlindungan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat yang sekaligus menjadi kunci dari sektor kelapa sawit dan komponen kunci dalam pertemuan tahun ini yang bertama "solusi untuk produksi lokal".
Dalam pertemuan yang digelar dua tahun sekali itu, menghadirkan sekitar 400 pembicara dari 30 negara yang duduk bersama dalam satu konferensi meliputi para petani, aktivis, pemilik kebun sawit, dan beberapa pemerhati lingkungan dan pakar baik yang mendukung dan kritis terhadap pengembangan kelapa sawit.
Ketua ICOPE 2018 JP Caliman mengatakan selama 11 tahun sejak dimulai tahun 2007, konferensi itu menangani isu dampak lingkungan dari produksi minyak sawit sekaligus sebagai sumber daya berguna dan tidak bias berkaitan produksi minyak sawit berkelanjutan.
"Sejak 11 tahun tiga mitra berbagi nilai yang sama untuk tujuan mencapai keberlanjutan industri kelapa sawit, berkolaborasi merengkut kepercayaan dalam sains," ucapnya.
Tiga mitra yang menggelar konferensi itu yakni Sinar Mas Agribisnis dan Pangan, World Wildlife Fund (WWF) Indonesia dan organisasi kerja sama internasional dan riset pertanian dari Prancis yakni Cirad. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018