Sosok wanita yang keseharian berpenampilan sederhana, namun sangat lincah di atas panggung menyuguhkan tari Oleg Tamulilingan sekaligus merupakan penari pertama yang mencerminkan gerak "romantisme" laki-perempuan, kini telah tiada.

I Gusti Ayu Raka Rasmi (79), salah seorang maestro tari asal Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar mengembuskan napas terakhir saat tinggal bersama dengan putra keduanya AA Bagus Wira Teja di Puri Abiansemal, Kabupaten Badung.

Istri dari AA Gede Jelantik (alm) itu, mempunyai empat putra-putri, sembilan cucu dan dua cicit meninggal secara mendadak, saat tidur siang selesai jalan-jalan dari pasar yang kebetulan ada di depan rumahnya.

Menurut putra keduanya, AA Bagus Wira Teja, ibunda tidak ada riwayat penyakit berat, kecuali tekanan darah tinggi, sehingga tidak diketahui secara jelas penyebab hingga "kepergiannya untuk selama-lamanya".

AA Bagus Wira Teja yang juga dosen Kopertis yang berdinas di STIMI Handayani Denpasar menjelaskan, ibunda yang datang dari pasar sebelumnya istirahat tampak gelisah dan menekan-nekan dadanya lalu istirahat di kamar.

Karena ibunya sempat berencana pulang ke rumah anak perempuannya AA Istri Wirati di Desa Peliatan, Ubud, Gianyar, begitu dibangunkan tidak memberikan respons dan tangannya ketika dipegang terasa dingin, sehingga langsung dibawa ke Puskemas Abiansemal.

Menurut dokter yang memeriksanya, Gusti Ayu Raka Rasmi telah meninggal sebelum tiba di Puskesmas. Begitu dinyatakan meninggal jenazah almarhum dibawa ke RSUD Mangusaba di Kelurahan Kapal, Kabupaten Badung untuk disemayamkan.

Wanita kelahiran 10 Maret 1938 itu akan dikremasi di Krematorium Mumbul, Nusa Dua, Kabupaten Badung pada pada hari Selasa (24/4). Pihak keluarga memutuskan hal itu, karena pihak Desa Adat Abiansemal akan melaksanakan kegiatan ritual berskala besar "Ngusaba Dalem di Pura Dalem setempat 16 Mei mendatang.

I Gusti Ayu Raka Rasmi merupakan salah seorang maestro seni tari Bali yakni penari pertama Oleg Tamulilingan ciptaan I Ketut Mario dari Kabupaten Tabanan, pada 1951. Selain itu juga merupakan penari condong pertama Legong Lasem pakem Peliatan.

Remaja putra-putri Pulau Dewata senantiasa berangan-angan untuk bisa menguasai tari "romantisme" laki-perempuan secara sempurna. Karena Tari Oleg Tamulilingan itu setiap geraknya mengandung karakter keindahan khas Bali.

Koreografer pencipta tari yang lebih dikenal dengan panggilan Mario ketika menciptakan tari tersebut 67 tahun yang lalu (1951) mampu menjadikan tari Tamulilingan sebagai ikon dan amat kesohor hingga ke mancanegara.

Bagian kehidupan

Penari perdana tari "romantisme" tersebut adalah I Gusti Ayu Raka Rasmi semasa hidupnya mengibaratkan menari yang dilakoni sejak usia dini merupakan bagian dari kehidupan yang jalaninya. Karena jika tidak menari, tubuh terasa kaku.

Untuk itu ia sangat senang melatih (mengajar) untuk mewariskan tari legong dan oleg tamulilingan kepada generasi penerus sebagai pengorbanan suci (nyadnya).

Berkat kharisma, kepiawaian dan kelincahan yang dimilikinya di atas panggung itulah yang mengantarkan Ayu Raka Rasmi terbang ke berbagai negara di belahan dunia untuk menghibur masyarakat internasional.

Pertama kali mengadakan kunjungan ke Paris, serangkaian lawatan ke Eropa dan Amerika Serikat tahun 1953. Ketika itu baru berusia 12 tahun bergabung bersama sekar gong Peliatan perkampungan seniman Ubud. Lawatan tim kesenian Indonesia tersebut dinilai meraih sukses yang luar biasa dan Ayu Raka Rasmi cilik saat itu dielu-elukan sebagai penari bintang.

Seorang impresario asal Inggris, John Coast menobatkan Ayu Raka Rasmi sebagai penari bintang berkat menampilannya yang mampu memukau penonton dalam tarian Condong Legong plus Garuda serta tari Oleg Tamulilingan.

Bahkan Ayu Raka Rasmi dalam pose tarian Garuda dijadikan sampul buku karya John Coast dengan judul "Dancing Out of Bali". Selain itu juga pernah mengadakan lawatan ke China (1959), Pakistan (1964), Jepang (1968), Australia (1971), Eropa (1973), Amerika (1982) dan Singapura (1996).

Ayu Raka Rasmi, putri sulung dari lima bersaudara pasangan I Gusti Putu Pageh-Ni Gusti Putu Kompyang, sejak usia dini sangat menyenangi tari Bali dengan asuhan seniman andal Gusti Made Sengog.

Demikian pula kedua orang tuanya memberikan motivasi tentang berkesenian yang semuanya itu mengantarkan Ayu Raka Rasmi sebagai seorang seniman yang profesional. Sosok yang berpenampilan bugar dan cantik itu senantiasa memperkuat tim kesenian Bali melanglang buana ke mancanegara.

Penghargaan tertinggi

Sosok I Gusti Ayu Raka Rasmi atas prestasi, dedikasi dan pengabdian dalam melestarikan, mengembangkan seni dan budaya Bali itu pernah mendapat anugerah Seni Dharma Kusuma, penghargaan tertinggi dalam bidang seni dari Pemerintah Provinsi Bali.

Penghargaan tersebut diserahkan Gubernur Bali Made Mangku Pastika pada puncak peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-52 Pemerintah Provinsi Bali 14 Agustus 2010.

Saat itu Ayu Raka Rasmi menuturkan mempunyai pengalaman betapa beratnya memulai menjadi seorang penari. Tubuhnya betul-betul terasa sakit setelah seharian melakukan latihan tari.

Pada zamannya untuk mendapatkan "agem" yang kuat tubuh harus tengkurap di lantai, kemudian diinjak-indak dan di bawah kedua ketiak diikat sabuk stagen. Untuk melatihan gerakan "Ngelayak" dilakukan dengan bersandar sambil di atas meja atau tembok.

Bagi sejumlah pencipta tari "pengadeg" Oleg Tamulilingan memang pas membuat diri Ayu Raka Rasmi. Ia selama belajar tari Oleg dari I Ketut Maria yang akrab disapa Mario itu dengan sabar mengajarkan dengan berbagai gerakan yang secara berlahan-lahan bisa ditirunya.

Namun demikian Mario menurutnya sering berlaku galak, jika murid-murid binaannya melakukan "agem dan tanjek" yang tidak benar serta kurang senyum.

Kisah terciptanya Tari Oleg Tamulilingan memang unik dan berbelit-belit, menurut Prof Dr I Made Bandem, seniman, budayawan dan mantan Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dan Yogyakarta itu, pada tahun 1950 datanglah seorang impresario Inggris, Jhon Coast. Mantan Staf Kedutaan Inggris di Jakarta itu bersama istrinya menetap di Kaliungu, Denpasar, selama dua tahun.

Untuk mewujudkan suatu diplomasi kebudayaan, ia berhasrat membawa sebuah misi kesenian besar ke Eropa dan Amerika Serikat. Ia pun menghadap Presiden Soekarno waktu itu, untuk menyampaikan niatnya yang akhirnya mendapat restu.

John Coast menyiapkan misi keseniannya di Pulau Dewata. Buku-buku laporan peneliti asing yang menetap di Bali pada tahun 1920-1930-an dipelajarinya dan akhirnya mengetahui tentang penari terkenal I Mario dan muridnya I Sampih dari Peliatan Ubud.

Coast bersahabat baik dengan pemain kendang dan Ketua Sekeha Gong Peliatan Anak Agung Gde Mandera, sehingga melalui Mandera, I Mario akhirnya bisa ditemukannya.

Mandera mengutus I Sampih mencari I Mario ke Banjar Lebah Tabanan. Awalnya I Mario menolak bergabung kembali ke Sekeha Gong Peliatan karena merasa tua dan sakit-sakitan. Saat itu umur Mario diperkirakan lebih dari 50 tahun.

Namun, atas desakan dan pendekatan I Sampih, penggemar sabungan ayam itu akhirnya bersedia ke Peliatan. Pada April 1951, ketika John Coast memiliki kepastian untuk membawa misi kesenian ke Eropa dan AS, ia meminta I Mario bersama Anak Agung Gde Mandera menciptakan tari baru untuk melengkapi repertoar Gong Peliatan yang saat itu hanya memiliki Tari Janger dan Legong Keraton.

Coast menawarkan I Mario menciptakan tari baru dengan menggunakan penari Legong Keraton, Ni Gusti Ayu Raka Rasmi, dan penari Kebyar Duduk, I Sampih.

Maestro yang lahir di Belaluan Denpasar pada 1899 ini menyanggupinya, namun dalam waktu cukup lama ia merenung dan tak memiliki gagasan untuk menciptakan tari yang dimaksud Coast.

John Coast merangsang I Mario dengan memperlihatkan buku-buku Tari Klasik Ballet yang dilengkapi foto-foto tari duet Sleeping Beauty, kisah tentang percintaan Putri Aurora dengan kekasihnya Pangeran Charming.

Imajinasi Mario pun bangkit. Dari foto-foto itu ia mendapat inspirasi untuk menciptakan tari Oleg Tamulilingan. Ia langsung mengajar I Sampih tabuh lagu-lagu sederhana agar bisa memulai latihan dengan Ni Gusti Ayu Raka Rasmi.

Sesudah batang-tubuh tari terwujud secara kasar, giliran sekeha Gong Peliatan diajarkan tabuh lagu kebyar untuk mengiringi tari peran laki-laki.

Dari kisah itu akhirnya terciptakan tari duet yang hingga monumental, meskipun awalnya I Mario menyebut dengan nama Tumulilingan Mangisep Sari, namun akhirnya lebih populer dengan tari Oleg Tamulilingan hingga pelakunya pun tiada.(WDY)

Pewarta: I Ketut Sutika

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018