Denpasar (Antaranews Bali) - Dinas Kebudayaan Provinsi Bali menggelar lokakarya cipta gerak seni pertunjukan kontemporer, sebagai bagian dari ajang Gelar Seni Akhir Pekan Bali Mandara Nawanatya III di Taman Budaya Denpasar.

"Gerak tari itu akan menjadi indah bila tumbuh dari dalam diri dan mengembalikannya pada gerak yang murni dulu sebelum memperindahnya," kata pembicara dalam lokakarya tersebut (6/4), Ida Ayu Wayan Arya Satyani SSn, MSn, sebagaimana keterangan pers dari Disbud Bali yang diterima di Denpasar, Sabtu.

Pemahaman Arya Satyani ini berawal dari saat ia masih duduk di bangku kelas II SMP. Ketika itu ia masih berumur 14 tahun. Ketika itu sang ayah seorang budayawan Bali, Ida Wayan Oka Granoka, memintanya untuk menerjemahkan sebuah "gending rare" atau lagu dolanan anak-anak yang isinya tentang keindahan alam semesta ke dalam sebuah tarian.

Dalam gending itu ada lirik "gadung kasturi kauk-kauk managih jagjagin, mangurege lung marempyah". Saat menerjemahkan kauk-kauk atau melambaikan tangan untuk memanggil ketika itu Satyani mengaku menggunakan gaya ngulap-ngulap seperti yang ia pelajari dalam pembendaharaan gerak tarik Bali.

Tetapi Granoka sebagai ayah Satyani memiliki persepsi berbeda. Ia meminta Satyani untuk melakukan gerak layaknya memanggil orang kesehariaan dan diperindah hanya dengan memberi rasa mengikuti alunan lagu.

"Ketika itu, saya bertanya-tanya ada nada rasa berontak atau malu menggerakkannya karena merasa kurang indah. Rupanya kejadian itu, kesederhanaan itulah yang mempengaruhi saya begitu kuat hingga saat ini," ujar Satyani.

Sejak itu, Satyani mengaku bahwa dalam dalam mencipta gerak, ada baiknya untuk mengembalikannya pada yang murni terlebih dahulu sebelum memperindah atau melakukan stilisasi, sehingga jika terjadi pengembangan (stilisasi/penghalusan) gerak yang dibangun akan memiliki karakteristik tersendiri.

Pembicara lain dalam workshop, I Gede Gusman Adi Gunawan atau Wawan Gumi Art mengungkapkan, gerak tari dapat mengambil dari gerak-gerak binatang, tumbuh-tumbuhan, alam semesta seperti angin, hujan dan lainnya.

Gerak juga dapat mengambil dari gerak keseharian seperti gerak kerja atau aktivitas lainnya. Gerak-gerak tari seperti itu memiliki berbagai macam tingkat pengungkapan yang biasa disebut gerakan imitatif (menirukan), mimetis (meragakan), stilisasi (penghalusan) dan distortif (merusak atau menjauhkan).

"Namun gerak tari yang paling banyak adalah bersifat abstrak yaitu yang murni sebagai ekspresi gerak," kata Wawan.

Wawan juga mengungkapkan tentang proses cipta gerak dalam tari. Dalam proses cipta gerak dalam tari itu terdiri dari tiga tahapan yaitu tahap penjajagan (eksplorasi), tahap percobaan (improvisation) dan tahap pembentukan (forming).

"Pada tahap eksplorasi ini dilakukan melalui rangsangan. Rangsangan itu dapat berupa rangsang visual, rangsang audio, rangsang gagasan, rangsang kinestetik dan rangsang peraba," kata Wawan sembari memberi beberapa contoh proses mengeksplorasi melalui rangsang-rangsangan itu.

Dalam mengeksplorasi rangsang-rangsang itu, baik Wawan maupun Satyani sepakat, bahwa seorang pencipta gerak tari harus memiliki kepekaan terhadap lingkungan sekitar

Paparan yang diikuti dengan praktek proses penciptaan gerak tari oleh Satyani ini melibatkan peserta workshop. Mereka berasal dari sekolah-sekolah dan komunitas seni lainnya di Bali. Peserta workshop sangat antusias saat mengikuti praktek mencipta proses gerak tari tersebut. (ed)

Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018