Jakarta (Antaranews Bali) - Pakar ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengingatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2018 berpotensi negatif akibat neraca perdagangan yang mengalami defisit dalam tiga bulan terakhir sejak bulan Desember 2017 hingga Februari 2018.
"Defisit perdagangan selama tiga bulan berturut-turut ini adalah yang pertama kali terjadi sejak tahun 2014. Sebelumnya kita menikmati surplus," ujar Mohammad Faisal yang sekaligus merupakan Direktur Eksekutif CORE melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.
Ia memaparkan angka defisit pada bulan Februari sebesar Rp1,6 triliun, sehingga total nilai defisit tiga bulan terakhir sejak Desember 2017 menjadi Rp15,1 triliun.
CORE pun berpendapat hal itu patut menjadi perhatian serius pemerintah, karena salah satu dampaknya adalah sulitnya mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi pada 2018.
"Net ekspor yang jadi pendorong pertumbuhan ekonomi selama 2017 dengan pertumbuhan 21 persen, berpotensi memberikan sumbangan negatif pada pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama tahun ini," kata Faisal menambahkan.
Selain itu, pemerintah perlu memahami bahwa defisit perdagangan juga akan semakin mendorong pelebaran defisit transaksi berjalan (current account deficit).
Menurut Faisal, hal itulah yang menjadi salah satu faktor pendorong pelemahan nilai tukar rupiah, selain faktor eksternal seperti kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat, the Fed.
Sehubungan dengan hal itu, Kepala BPS Suhariyanto dalam jumpa pers mengatakan bahwa defisit neraca perdagangan pada Februari 2018 tersebut dipicu oleh defisit sektor migas sekitar Rp12 triliun, sementara sektor perdagangan nonmigas surplus sebesar Rp10,3 triliun. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Defisit perdagangan selama tiga bulan berturut-turut ini adalah yang pertama kali terjadi sejak tahun 2014. Sebelumnya kita menikmati surplus," ujar Mohammad Faisal yang sekaligus merupakan Direktur Eksekutif CORE melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.
Ia memaparkan angka defisit pada bulan Februari sebesar Rp1,6 triliun, sehingga total nilai defisit tiga bulan terakhir sejak Desember 2017 menjadi Rp15,1 triliun.
CORE pun berpendapat hal itu patut menjadi perhatian serius pemerintah, karena salah satu dampaknya adalah sulitnya mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi pada 2018.
"Net ekspor yang jadi pendorong pertumbuhan ekonomi selama 2017 dengan pertumbuhan 21 persen, berpotensi memberikan sumbangan negatif pada pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama tahun ini," kata Faisal menambahkan.
Selain itu, pemerintah perlu memahami bahwa defisit perdagangan juga akan semakin mendorong pelebaran defisit transaksi berjalan (current account deficit).
Menurut Faisal, hal itulah yang menjadi salah satu faktor pendorong pelemahan nilai tukar rupiah, selain faktor eksternal seperti kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat, the Fed.
Sehubungan dengan hal itu, Kepala BPS Suhariyanto dalam jumpa pers mengatakan bahwa defisit neraca perdagangan pada Februari 2018 tersebut dipicu oleh defisit sektor migas sekitar Rp12 triliun, sementara sektor perdagangan nonmigas surplus sebesar Rp10,3 triliun. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018