Oleh I Ketut Sutika

Puri Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, kembali akan menggelar ritual pengabenan (pelebon) berskala besar, sebagai penghormatan terakhir terhadap almarhum Anak Agung Niang Rai (78), ibunda Bupati Gianyar Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati.

Niang Rai yang menghembuskan nafas terakhir dalam perawatan internsif di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Denpasar pada pertengahan Mei lalu, hingga kini jenazahnya masih disemayamkan di Puri Ubud, karena baru akan dipelebon (kremasi) pada 18 Agustus 2011, tutur Tjokorda Gde Raka Sukawati (51), putra bungsu almarhum dari empat bersaudara.

Kelengkapan upacara pelebon menggunakan menara pengusungan jenazah (bade) bertingkat sembilan dengan total ketinggian 24 meter. Bade itu hanya lebih pendek satu meter dari "bade" yang pernah digunakan untuk  pelebon almarhum Tjokorda Gde Agung Suyasa, "pengelingsir" Puri Ubud pada pertengahan 2008 maupun sebelumnya untuk mengantarkan jenazah istri Raja Ubud, Tjokorda Istri Muter.

Bade itu dirancang sendiri oleh salah seorang putra almarhum Tjokorda Gde Raka Sukawati yang juga dosen Universitas Udayana Denpasar. Menara pengusungan itu sudah dikerjakan di sekitar Puri Ubud dan hingga kini baru rampung sekitar 30 persen.

Material yang digunakan sepenuhnya dari bahan lokal dengan tenaga setiap hari 50-100 orang yang berasal dari tenaga sukarela secara bergilir dari 14 desa adat di lingkungan Kecamatan Ubud, tutur suami dari Tjokorda Istri Nilawati.

Sosok pria kharismatik dan cukup disegani masyarakat lingkungannya itu melibatkan ratusan warga masyarakat setiap hari secara bergiliran secara bergotong-royong menyiapkan segala keperluan upacara "Pitra yadnya" berskala utama.

Tjokorda Gde Raka Sukawati yang pernah menerima Dharma Kusuma, penghargaan tertinggi dalam bidang seni dari Pemerintah Provinsi Bali berkat prestasinya dalam bidang seni dan budaya itu menambahkan, kerangka "bade" yang sudah rampung itu dilengkapi dengan ornamen, sehingga tampak megah, menarik, unik dan mengandung unsur seni.

Ornamen kelengkapannya antara lain bentuknya yang menyerupai angsa, bebek, babi, macan, gajah, boma dan burung garuda yang penggarapannya akan rampung seminggu sebelum kegiatan puncak.

Tjokorda Gde Raka Sukawati, yang selama ini mengelola tiga hotel berbintang di perkampungan seniman Ubud itu memang dikenal masyarakat luas sebagai seniman serba bisa, selain dalam bidang tabuh dan tari juga membuat bade, maupun barong dan topeng yang disakralkan warga masyarakat setempat.

Pria kelahiran Puri Saren Agung Ubud, Kabupaten Gianyar, 16 Juli 1960 itu dalam aktivitas kesehariannya tidak hanya mengedepankan usaha bisnis, namun memadukannya dengan kegiatan sosial kemasyarakatan.

Ayah dari seorang putra yang cepat akrab dengan siapa saja itu kesehariannya tidak bisa dipisahkan dengan seni. Dia selalu akan menyempatkan diri jika mendapat permintaan dari warga desa adat untuk membuat topeng, rangda dan barong untuk disakralkan maupun membuat bade, kelengkapan upacara ngaben.

Semua itu dikerjakan dengan senang hati sebagai rasa bakti atas anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hasil karya yang telah diciptakan selama ini seperti tempat suci, benda-benda sakral, tapakan barong, rangda, topeng dan juga bade, lembu, naga. Selain itu dia juga aktif di bidang seni tari dan lukis.

    
Kerja keras dan mandiri

Tjokorda Gde Raka Sukawati sejak ditinggalkan untuk selama-lamanya oleh ayahnya Tjokorda Gde Agung Sukawati tahun 1978, saat duduk di kelas III SMA, dituntut bekerja keras dan mandiri.

Ayahnya, Tjokorda Gde Agung Sukawati, dikenal sebagai penggagas terbentuknya Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), pendiri Museum Puri Lukisan-Yayasan Ratna Wartha, serta mengundang seniman barat untuk menetap di Ubud seperti Walter Spies, Rudolf Bonet, Arie Smith dan Antonio Blanco untuk memperkenalkan Ubud ke dunia international.

Jasad putra bungsu dari empat bersaudara pasangan Tjokorda Gde Agung Sukawati dan Anak Agung Biang Rai itu akan dipelebon 18 Agustus mendatang.

Sepeninggal ayahnya, dia berprinsip bahwa pendidikan formal tidak boleh diabaikan, dan karena itu dia melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Ekonomi Universitas Udayana hingga akhirnya menjadi dosen di almamaternya.

Sosok pria yang merakyat itu sejak kecil memang menyenangi kegiatan sosial kemasyarakatan, ikut bekerja apa yang dilakukan warga setempat dalam mempersiapkan keperluan kegiatan ritual di pura maupun di tempat keluarga yang melaksanakan upacara dan kegiatan ritual lainnya.

Hampir semua karya seni yang lahir dari sentuhan tangan terampil Tjokorda Gde Raka Sukawati yang akrab disapa Tjok De itu khusus untuk disakralkan, maupun kelengkapan "Pitra Nyadnya", yakni upacara pengabenan, salah satu di antaranya berupa keranda menara pengusungan jenazah (bade) setinggi 25 meter dengan berat 11 ton.

Meskipun karya monumental tersebut hasil kerja keras dari masyarakat Ubud, namun tidak dapat dilepaskan dari peran Tjok De yang merancangnya.

Bade bertingkat sembilan dibuat dari batang pohon pinang dan rangkaian bambu, lengkap dengan pernak-pernik bunga emas untuk menggotong dari halaman puri Ubud menuju setra (kuburan) tempat kremasi yang berjarak sekitar 1,2 km arah timur puri membutuhkan ribuan tenaga warga setempat secara estafet.

Sepanjang jalan yang dilewati pada kegiatan serupa dua kali sebelumnya menjadi "lautan manusia", termasuk wisatawan mancanegara yang secara khusus datang dari negaranya guna dapat menyaksikan pelebon berskala utama yang hampir tidak ditemui di belahan negara lainnya.

Pada pertengahan 2008 saat berlangsungnya upacara pengabenan besar itu hampir seluruh hotel di perkampungan seniman Ubud dan sekitarnya penuh, diperkirakan tidak kurang 350.000 wisatawan asing menyaksikan kegiatan yang unik dan langka itu.

Bahkan prosesi unik, langka dan menarik tersebut mendapat perhatian besar dari pers di berbagai belahan dunia yang mengirim wartawan maupun kameramen untuk meliput secara khusus pelaksanaan upacara penghormatan terakhir terhadap sesupuh Puri Ubud yang semasa hidupnya sangat aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.

Semua itu berkat karya seni yang mempunyai nilai magis sentuhan tangan Drs Tjokorda Gde Raka Sukawati yang didukung ribuan warga setempat.

Menara pengusungan jenazah yang menjulang tinggi itu digotong ke Setra Desa Adat Ubud yang berjarak satu kilometer ke arah timur  Puri Ubud. Ribuan warga mengenakan pakaian adat didominasi warna  putih dari 14 desa adat se-Kecamatan Ubud terlibat dalam proses penggotongan  tersebut.

Pemutusan kabel listrik dan telepon yang melintang di tengah jalan terpaksa dilakukan saat prosesi upacara "pelebon/ngaben" berlangsung, guna memudahkan lewatnya membawa "bade" bertingkat sembilan dengan total tinggi 24 meter itu.

Bade menjulang tinggi dengan bentangan delapan kali sebelas meter memiliki total berat sebelas ton, diangkat oleh 180 orang, masing-masing dengan beban berat 80 kg dalam posisi sejajar. Jarak sepanjang satu kilometer harus bebas dari hambatan, khususnya kabel listrik dan telepon yang membentang di tengah jalan.

Sedikitnya 4.500 orang warga Ubud akan terlibat dalam pengusungan "bade" tersebut, sehingga prosesi upacara tersebut menjadi atraksi menarik bagi wisatawan mancanegara maupun nusantara yang sedang berliburan di Pulau Dewata.

Ubud yang dikenal sebagai perkampungan seniman, wilayahnya tidak begitu luas, dulunya merupakan sebuah kerajaan kecil, dikitari sawah menghijau, air mengalir jernih di sungai, pesona desa yang indah.

"Para Dewata" menakdirkan sebagai tempat yang penuh kegemilangan, alamnya menyimpan kekuatan gaib serta memiliki "benang merah" terhadap perkembangan agama Hindu di Bali.

Perkampungan seniman Ubud yang kini statusnya ditingkatkan menjadi Kelurahan Ubud, terdiri atas 14 banjar dengan luas wilayah  732 hektare, dan berpenduduk 9.709 jiwa.

Ubud dalam perkembangannya kini menjadi "satu titik desa dunia", tempat manusia-manusia dari berbagai ras di dunia bertemu, menikmati  keindahan alam dan tradisi masyarakat setempat, termasuk prosesi pelebon/ngaben yang diwarisi secara turun temurun.

"Dikenalnya Ubud sekarang di mancanegara merupakan sebuah anugerah dan berkah yang dapat memberikan kehidupan dan kesejahteraan kepada masyarakat setempat," ujar Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati, seorang pewaris kalangan bangsawan  Puri Ubud, sekaligus Bupati Gianyar.(*)

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011