Denpasar (Antara Bali) - Ini soal posisi gunung yang sebenarnya tidak bisa berubah dalam peta, tapi titik koordinat sebuah gunung bisa berubah dalam "peta" manusia hanya karena faktor kepentingan.

Siapa pun tahu bahwa Gunung Agung itu ada dalam peta Provinsi Bali, tepatnya di Kabupaten Karangasem, namun siapa pun tahu bahwa Gunung Agung mengalami peningkatan aktivitas vulkanis sejak 22 September 2017.

Adanya aktivitas vulkanik itulah yang akhirnya melahirkan opini bahwa "Gunung Agung bukan Bali", karena luas Bali itu mencapai 5.633 meter persegi, sedang kawasan rawan bencana (KRB) hanya delapan-10 kilometer.

"Kalaupun terjadi letusan dahsyat. Level bahaya hanya radius delapan km dari kawah. Hanya delapan km, maksimal 10 km, sedangkan daerah lain di Bali ada di luar KRB, jadi aman," kata Gubernur Bali Mangku Pastika.

Pernyataan orang nomer satu di Provinsi Bali saat bertemu 34 konsul negara sahabat di Denpasar (15/12) itu menunjukkan bahwa Gunung Agung harus dilihat dalam konteks yang tidak "mengganggu" pariwisata.

Faktanya, aktivitas vulkanis Gunung Agung terbukti "mengganggu" pariwisata.

"Mungkin informasi di luaran cukup ramai ya, usaha saya berkurang 50 persen," ujar perajin sarung pantai dari kawasan Marlboro, Pemecutan Klod, Denpasar Barat, Edy Santoso.

Pandangan perajin sarung pantai itu agaknya benar, karena pendapatan 80 persen warga Bali ada di sektor pariwisata, sehingga "gangguan" itu bisa saja akan mengorbankan banyak orang lewat PHK.

Atas nama kepentingan 80 persen warga (sesuai data Federasi Serikat Kerja Bali/FSKB) itulah, maka berbagai upaya "melawan" Gunung Agung pun berkembang dalam serangkaian ikhtiar.

Perlawanan pertama terhadap si "Gunung Dewa" itu terjadi dengan tarik ulur perubahan status dari Siaga ke Awas dan akhirnya turun ke Siaga hingga akhirnya "meletus dalam status Siaga" pada 21 November 2017 (letusan pertama).

Letusan pertama itu akhirnya mendorong peningkatan status menjadi Awas lagi pada 27 November 2017 dan akhirnya benar-benar meletus pada 27-28 November 2017. Letusan kedua ini diikuti dengan penutupan Bandara Ngurah Rai Bali yang membuat wisatawan bingung bin bingung.

Perlawanan kedua justru terkait debat kusir ada-tidaknya lontaran batu dari puncak kawah ke arah Desa Dukuh yang diumumkan PVMBG berdasarkan data yang dimiliki, namun hal itu dimentahkan aparat pemerintah, karena lontaran ke desa itu tidak ada.

Faktanya, lontaran itu diyakini oleh PVMBG sebagai hal yang benar-benar ada, namun arah lontaran ke desa mana tidak disebut secara rinci, lalu menjadi "debat kusir" PVMBG dan pemerintah, karena media massa justru menyebut nama sebuah desa sasaran lontaran dengan jelas.

Perlawanan ketiga justru lebih logis yakni opini bahwa "Gunung Agung bukan Bali", karena luas Bali itu mencapai 5.633 meter persegi, sedang kawasan rawan bencana (KRB) "hanya" delapan-10 kilometer.

Apalagi, jika dihitung dari jumlah objek wisata. Traveloka sebagai perusahaan jasa layanan pemesanan tiket (pesawat, hotel, dan sebagainya) secara daring, mencatat 60 objek wisata di Bali.

Dari jumlah itu tercatat 10 objek wisata terletak di Karangasem yang merupakan "lokasi" Gunung Agung, sehingga objek wisata yang terdampak aktivitas vulkanis dari gunung itu jika dibandingkan dengan seluruh objek wisata di Bali hanya sekitar 12 persen.

Selain Pura Besakih, Taman Ujung, dan Pantai Amed di Karangasem, masih ada puluhan objek wisata yang tidak kalah favorit-nya di Ubud, Kuta,  Nusa Dua, Seminyak, Sanur, Tanjung Benoa, Legian, Jimbaran, Tanah Lot, dan sebagainya.

Terlepas dari semua perlawanan itu, ketiga bentuk perlawanan itu mengisyaratkan pariwisata merupakan "taruhan" Pulau Dewata dan dunia kepariwisataan Indonesia di mata dunia, apalagi IMF-Bank Dunia mengagendakan "meeting" di Bali, Oktober 2018.

Pariwisata "serakah"
   
Tidak dipungkiri, imbas dari letusan Gunung Agung memang meruntuhkan berbagai sektor dan sektor yang paling rentan adalah pariwisata, karena telah terjadi penurunan jumlah wisatawan ke Bali.

Penurunan itu pun diikuti dengan tingkat okupansi hotel yang juga turun hingga akhirnya ada beberapa perusahaan yang mulai "merumahkan" para pekerjanya.

"Para pekerja jangan dijadikan korban, mengingat pengabdian mereka pada perusahaan ada yang mencapai puluhan tahun," kata Ketua Federasi Serikat Kerja Bali (FSKB) Wayan Suyasa di Denpasar (17/12).

Wayan Suyasa yang juga Ketua Komisi 1 DPRD Kabupaten Badung itu menyadari perusahaan banyak merugi akibat bencana kali ini, karena pemberitaan di luar negeri sudah cukup besar.

Akan tetapi, cobalah berpikir jernih bahwa selama ini perusahaan juga sudah mendapatkan banyak keuntungan.

"Jangan hanya kejadian sekali ini langsung mengeluh dan lantas mengorbankan pekerja," katanya.

Saat berorasi pada Podium Bali Bebas Bicara Apa Saja (PB3AS), ia menyarankan semua pihak untuk harus duduk bersama, mulai dari serikat pekerja, para pengusaha hingga pemerintah, agar tidak terjadi PHK massal.

"Kita harus carikan win-win solution, karena pendapatan 80 persen warga Bali ada di sektor pariwisata, jangan sampai banyak orang dikorbankan karena masalah ini," ucapnya.

Besarnya dampak letusan "Gunung Dewa" itu digambarkan Menteri Pariwisata Arief Yahya dengan angka kerugian yang mencengangkan, yakni sekitar Rp9 triliun potensi devisa dari sektor pariwisata melayang atau hilang sebagai dampak letusan Gunung Agung.

Dalam peluncuran layanan transportasi helikopter Helicity di Jakarta (4/12), Arief Yahya melontarkan kalkulasi sederhana yakni kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali sekitar 15 ribu orang per hari.

Jumlah itu dengan perkiraan devisa mencapai Rp250 miliar per hari, sehingga sekitar 36 hari kejadian (letusan) sampai 31 Desember 2017, maka jika dikalikan Rp250 miliar akan menjadi sekitar Rp9 triliun.

Dalam konteks yang sangat dilematis ibarat makan buah simalakama itu, apakah Gunung Agung layak dipersalahkan sebagai penyebab turunnya wisatawan?! Ataukah, media massa yang membesar-besarkan fakta?! Ataukah, pertanyaan justru bisa dibalik: apa maksud Gunung Agung dengan "mengganggu" pariwisata?!.

"Kita harus kembali kepada konsep Tri Hita Karana atau keharmonisan hubungan antara manusia, Tuhan, dan alam, karena bisa saja Gunung Agung marah dengan adanya ulah masyarakat Bali," ujar warga Buleleng, Nyoman Dharma.

Bagi korban PHK yang cukup tegar itu, "kemarahan" Gunung Agung hendaknya menjadi bahan bermawas diri atau instrospeksi bahwa masyarakat Bali melakukan wisata secara "serakah" dengan mengorbankan budaya dan mengorbankan lingkungan.

"Kita boleh saja bergantung kepada pariwisata, tapi kebergantungan itu harus wajar, jangan karena pariwisata, lalu nilai-nilai menjadi hilang karena mengutamakan komersial. Atau, jangan karena pariwisata, lalu lingkungan kita rusak dengan reklamasi," tuturnya.

Cara berpikir ala Nyoman Dharma yang sederhana tapi sarat makna itu akan melahirkan penyikapan terhadap "kemarahan" atau "gangguan" dari Gunung Agung tanpa harus dengan marah, apalagi "melawan" Gunung Agung.

Bahkan, cara berpikir ala Nyoman Dharma itu akan mengubah konsep "sadar wisata" menjadi "wisata sadar" untuk tidak bersusah payah menyalahkan "kambing hitam" tapi justru berjibaku mengajak semua orang berjuang secara positif guna memulihkan pariwisata di Pulau Seribu Pura.

Ya, sudahi saja pergunjingan tentang Gunung Agung versus pariwisata, karena akan justru kontraproduktif, tapi kembalilah pada "pelajaran" dari Gunung Agung tentang "wisata sadar" yang menyodorkan"jalan tengah" untuk sesegara mungkin mengharmoniskan tiga hal : pariwisata, lingkungan, dan budaya. (WDY)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017