Denpasar (Antara Bali) - Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Bali mengusulkan kepada Pemerintah Pusat agar dapat memberikan kelonggaran terkait batas waktu untuk menjual agunan yang diambil alih dari debitur.

"Kami harap untuk dilonggarkan lagi karena penjualan aset agunan yang diambil alih dalam setahun itu sulit," kata Ketua Perbarindo Ketut Wiratjana di Denpasar, Kamis.

Menurut dia, kondisi ekonomi saat ini membuat penjualan agunan yang diambil alih (ayda) tidak mudah untuk harga yang relatif bagus agar nilai yang didapat dari penjualan itu sesuai dengan nilai pinjaman yang diberikan.

Apalagi dengan adanya bencana alam erupsi Gunung Agung yang turut memberikan dampak tambahan kepada melesunya sektor ekonomi di Bali khususnya pariwisata.

"Pertumbuhan kinerja BPR itu tergantung pertumbuhan ekonomi Bali dan ekonomi Bali sebagian besar dari sektor pariwisata," katanya.

Dia menilai waktu yang tepat untuk penyelesaian pelelangan agunan berkisar dua hingga tiga tahun tidak seperti aturan saat ini yakni selama satu tahun.

Wiratjana mengungkapkan usulan tersebut telah diajukan kepada Pemerintah Pusat agar kebijakan penyelesaian penjualan agunan dapat direlaksasi.

Sementara itu Kepala Otoritas Jasa Keuangan Regional Bali dan Nusa Tenggara Hizbullah mengatakan aturan penyelesaian penjualan aset agunan dalam setahun sesuai dengan undang-undang.

Menurut dia, sebagian besar agunan yang dijaminkan debitur kepada bank dalam bentuk properti yakni tanah dan bangunan.

Namun karena pertumbuhan saat ini untuk sektor tersebut sedang melambat menyebabkan penjualan ayda tidak mudah.

"Sekarang properti turun, bangunan baru susah dijual. Tahun lalu harga properti digelembungkan, sekrang terkoreksi dananya sehingga harganya agak susah," ucapnya.

Hizbullah mengatakan molornya penyelesaian penjualan agunan melebihi setahun dianggap kerugian bagi bank sehingga bank harus membuat cadangan kerugian.

Dengan adanya cadangan kerugian, lanjut dia, dapat menggerus modal perbankan sehingga mempengaruhi kinerja bank salah satunya kinerja "nonperforming loan" atau kredit bermasalah (NPL) yang tinggi.

OJK mencatat selama periode Januari-September 2017, rasio NPL di BPR tercatat mengalami kenaikan dari 5,75 pada periode sama tahun sebelumnya persen menjadi 7,82 persen.  (*)

Pewarta: Dewa Wiguna

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017