Denpasar (Antara Bali) - Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali menyoroti maraknya pemugaran berbagai cagar budaya di daerah setempat yang tidak memperhatikan prosedur pemugaran.
"Kalau pura yang termasuk cagar budaya, sesungguhnya tidak boleh dipugar hanya berdasarkan kehendak pengurus ataupun masyarakat setempat, namun harus mengacu pada UU No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya," kata Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali I Wayan Muliarsa di Denpasar, Rabu.
Menurut dia, untuk setiap pemugaran cagar budaya, mestinya masyarakat melapor kepada pihaknya, untuk kemudian bisa mendapatkan pendampingan dalam pemugaran.
"Kita mestinya melestarikan warisan budaya kita. Jika dipugar sembarangan, berarti nilai yang terkandung sudah hilang dan jadi bangunan baru, padahal itu sesungguhnya bangunan bersejarah," ucapnya.
Muliarsa menambahkan, dengan banyaknya pemugaran yang tidak mengindahkan prosedur, maka tidak jarang ada keluhan dari wisatawan yang menyatakan bahwa ketika kembali ke Bali seakan menjadi tak lagi menemukan tempat yang sebelumnya pernah dikunjungi.
Pihaknya memang belum memiliki data pasti berapa jumlah cagar budaya di seluruh Bali yang pemugarannya tidak sesuai dengan prosedur, tetapi dari data yang dikumpulkan Dinas Kebudayaan Badung saja, di sana hampir 50 persen cagar budaya telah dipugar.
"Oleh karena itu, kami berinisiatif bersama dengan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali akan mengumpulkan para bendesa (pimpinan desa adat) untuk menyosialisasikan bagaimana `sih pemugaran yang benar menurut UU," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dewa Putu Beratha berpandangan senada. Menurut dia, sangat penting bagaimana menyosialisasikan cagar budaya sebagai warisan yang perlu dilestarikan dan dijaga.
"Selain dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya, sasarannya nanti bekerja sama dengan Majelis Utama Desa Pakraman dan Parisadha Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali dalam menyosialisasikan kepada para bendesa," ucapnya.(WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
"Kalau pura yang termasuk cagar budaya, sesungguhnya tidak boleh dipugar hanya berdasarkan kehendak pengurus ataupun masyarakat setempat, namun harus mengacu pada UU No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya," kata Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali I Wayan Muliarsa di Denpasar, Rabu.
Menurut dia, untuk setiap pemugaran cagar budaya, mestinya masyarakat melapor kepada pihaknya, untuk kemudian bisa mendapatkan pendampingan dalam pemugaran.
"Kita mestinya melestarikan warisan budaya kita. Jika dipugar sembarangan, berarti nilai yang terkandung sudah hilang dan jadi bangunan baru, padahal itu sesungguhnya bangunan bersejarah," ucapnya.
Muliarsa menambahkan, dengan banyaknya pemugaran yang tidak mengindahkan prosedur, maka tidak jarang ada keluhan dari wisatawan yang menyatakan bahwa ketika kembali ke Bali seakan menjadi tak lagi menemukan tempat yang sebelumnya pernah dikunjungi.
Pihaknya memang belum memiliki data pasti berapa jumlah cagar budaya di seluruh Bali yang pemugarannya tidak sesuai dengan prosedur, tetapi dari data yang dikumpulkan Dinas Kebudayaan Badung saja, di sana hampir 50 persen cagar budaya telah dipugar.
"Oleh karena itu, kami berinisiatif bersama dengan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali akan mengumpulkan para bendesa (pimpinan desa adat) untuk menyosialisasikan bagaimana `sih pemugaran yang benar menurut UU," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dewa Putu Beratha berpandangan senada. Menurut dia, sangat penting bagaimana menyosialisasikan cagar budaya sebagai warisan yang perlu dilestarikan dan dijaga.
"Selain dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya, sasarannya nanti bekerja sama dengan Majelis Utama Desa Pakraman dan Parisadha Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali dalam menyosialisasikan kepada para bendesa," ucapnya.(WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017