Denpasar (Antara Bali) - Ketua Komisi I DPRD Bali Ketut Tama Tenaya meminta lembaga penyiaran untuk tidak menayangkan konten siaran lokal di televisi hingga larut malam.
"Kami menyayangkan penayangan siaran konten lokal kebanyakan tengah malam, Sehingga persentase masyarakat yang menonton pasti kecil," kata Tama Tenaya, di konfirmasi, di Denpasar, Rabu.
Ia mengatakan langkah tersebut dalam upaya mendorong stasiun siaran untuk memperhatikan slot siaran lokal agar pada waktu luang masyarakat menonton.
Hal tersebut dikatakan Tama Tenaya dalam upaya menindaklanjuti kunjungan kerja (Kunker) anggota Dewan ke Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Dinas Komunikasi Informasi dan Statistik (Diskominfotik) Provinsi NTB.
Ia mengatakan, persentase 10 persen siaran lokal yang wajib ditayangkan oleh lembaga penyiaran masih belum cukup.
Tama Tenaya mengatakan pihaknya mendorong agar revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran perlu mengatur peningkatan persentasi konten siaran lokal dari sebelumnya 10 persen tersebut.
Politikus PDIP meminta KPID NTB untuk sama-sama memperjuangkan peningkatan konten siaran lokal tersebut.
"Konten lokal atau daerah yang dibatasi sepuluh persen terlalu sedikit, sehingga ke depan bagaimana bersama-sama kami tingkatkan lagi dan tercantum dalam UU Penyiaran. Minimal sepuluh persen, kalau bisa lebih," katanya.
Selain peningkatan persentase konten siaran lokal, kata Tama Tenaya, DPRD Bali sudah sejak lama juga memperjuangkan agar penghentian siaran pada Hari Raya Nyepi diatur dalam revisi UU Penyiaran.
Selama ini, kata dia, penghentian siaran pada Hari Raya Nyepi hanya berdasar pada Surat Edaran KPI Pusat. Ke depan revisi UU itu harus mengatur dengan tegas apakah KPID menjadi instansi vertikal atau daerah, sebab hal itu terkait dengan penganggaran.
Pada kesempatan tersebut, pihaknya juga menyoroti politisasi lembaga penyiaran oleh pemilik lembaga penyiaran yang berafiliasi dengan politik.
Ia mengatakan seringkali terjadi pemilik media mengintervensi siaran untuk kepentingan politik. Hal seperti itu seharusnya tak boleh terjadi, sebab lembaga penyiaran menggunakan frekwensi publik.
Lebih lanjut Tama Tenaya mengatakan, pihaknya juga menggali informasi dari KPID dan Diskominfotik NTB terkait pengawasan terhadap lembaga penyiaran, dan anggaran untuk KPID Bali.
Tama Tenaya mengakui anggaran untuk KPID Bali masih kecil. KPID mendapat anggaran Rp905 juta, dengan rincian Rp669 juta untuk honor komisioner, dan Rp236 juta untuk kegiatan KPID setempat.
Sedangkan KPID NTB mengaku ada tumpang tindih aturan antara UU Penyiaran dan UU Pemda, karena itu sesuai Surat Edaran Mendagri maka penganggaran KPID untuk tahun 2018 diajukan melalui hibah. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
"Kami menyayangkan penayangan siaran konten lokal kebanyakan tengah malam, Sehingga persentase masyarakat yang menonton pasti kecil," kata Tama Tenaya, di konfirmasi, di Denpasar, Rabu.
Ia mengatakan langkah tersebut dalam upaya mendorong stasiun siaran untuk memperhatikan slot siaran lokal agar pada waktu luang masyarakat menonton.
Hal tersebut dikatakan Tama Tenaya dalam upaya menindaklanjuti kunjungan kerja (Kunker) anggota Dewan ke Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Dinas Komunikasi Informasi dan Statistik (Diskominfotik) Provinsi NTB.
Ia mengatakan, persentase 10 persen siaran lokal yang wajib ditayangkan oleh lembaga penyiaran masih belum cukup.
Tama Tenaya mengatakan pihaknya mendorong agar revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran perlu mengatur peningkatan persentasi konten siaran lokal dari sebelumnya 10 persen tersebut.
Politikus PDIP meminta KPID NTB untuk sama-sama memperjuangkan peningkatan konten siaran lokal tersebut.
"Konten lokal atau daerah yang dibatasi sepuluh persen terlalu sedikit, sehingga ke depan bagaimana bersama-sama kami tingkatkan lagi dan tercantum dalam UU Penyiaran. Minimal sepuluh persen, kalau bisa lebih," katanya.
Selain peningkatan persentase konten siaran lokal, kata Tama Tenaya, DPRD Bali sudah sejak lama juga memperjuangkan agar penghentian siaran pada Hari Raya Nyepi diatur dalam revisi UU Penyiaran.
Selama ini, kata dia, penghentian siaran pada Hari Raya Nyepi hanya berdasar pada Surat Edaran KPI Pusat. Ke depan revisi UU itu harus mengatur dengan tegas apakah KPID menjadi instansi vertikal atau daerah, sebab hal itu terkait dengan penganggaran.
Pada kesempatan tersebut, pihaknya juga menyoroti politisasi lembaga penyiaran oleh pemilik lembaga penyiaran yang berafiliasi dengan politik.
Ia mengatakan seringkali terjadi pemilik media mengintervensi siaran untuk kepentingan politik. Hal seperti itu seharusnya tak boleh terjadi, sebab lembaga penyiaran menggunakan frekwensi publik.
Lebih lanjut Tama Tenaya mengatakan, pihaknya juga menggali informasi dari KPID dan Diskominfotik NTB terkait pengawasan terhadap lembaga penyiaran, dan anggaran untuk KPID Bali.
Tama Tenaya mengakui anggaran untuk KPID Bali masih kecil. KPID mendapat anggaran Rp905 juta, dengan rincian Rp669 juta untuk honor komisioner, dan Rp236 juta untuk kegiatan KPID setempat.
Sedangkan KPID NTB mengaku ada tumpang tindih aturan antara UU Penyiaran dan UU Pemda, karena itu sesuai Surat Edaran Mendagri maka penganggaran KPID untuk tahun 2018 diajukan melalui hibah. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017