Matahari hampir tepat di atas kepala, ketika 24 seniman lingsir (tua) membawakan kesenian klasik Janger Menyali di Kalangan Angsoka Taman Budaya Denpasar. Separuh penarinya terlihat mengenakan busana yang tak lazim dan terkesan nyentrik jika dibandingkan dengan kesenian Janger pada umumnya.

Mereka yang tampil nyentrik itu semuanya sudah kakek-kakek. Mereka berkaca mata hitam dan mengenakan baju kemeja berwarna putih dengan celana pendek warna hitam.

Bajunya pun dilengkapi dasi, selempang, serta tanda pangkat di bahu. Sepatu kets dengan kaus kaki hitam juga dipakai. Sementara itu, kepala ditutup dengan baret merah. Tak ketinggalan arloji di tangan kanan serta cincin batu akik di jari manis tangan kiri.

Penonton yang memenuhi Kalangan Angsoka pun seakan tak kuasa untuk menahan gelak tawa melihat atraksi para kakek dengan penampilan nyentrik itu. Apalagi, dalam gerakannya diselingi gaya baris-berbaris dan penggalan gerakan pencak silat.

Siang hari itu, Kamis (22/6), menjadi istimewa karena Janger yang dipentaskan telah beberapa dasawarsa tidak pernah lagi ditarikan.

Ya, Janger dari Desa Menyali, Kabupaten Buleleng, Bali, dengan berbagai keunikan dan tampilan nyentrik penarinya, khusus direkonstruksi selama 4 bulan terakhir untuk dipentaskan di ajang Pesta Kesenian Bali Ke-39.

"Tiang (saya, red.) senang sekali Janger Menyali bisa dibangkitkan kembali. Apalagi, bisa menari di sini (dalam ajang PKB, red.). Dari kecil belum pernah ke sini, sekarang sudah tua bisa nyampek pentas di sini," kata I Nyoman Ardia, penari Janger Menyali.

Pria berusia 60 tahun ini mengaku terakhir kali mementaskan tari Janger di desanya pada tahun 1970-an.

"Namun, Janger yang 'tiang' tarikan saat itu berbeda dengan ini. Bedanya dari sisi lagu maupun tata rias. Janger niki (ini) adalah Janger yang paling kuno," ucap Ardia didampingi istrinya, Luh Mastini, yang juga ikut dalam pentas tersebut.

Menurut Perbekel Desa Menyali Made Jaya Harta, kesenian Janger di desa setempat mulai dikenal sebagai seni pertunjukan pada tahun 1921.

Pada masa itu, selain sebagai seni pertunjukan, Janger ini diyakini bisa memberikan kesembuhan bagi warga yang menderita penyakit.

   
Kesenian Sakral

Khusus di Desa Menyali, kesenian Janger juga tergolong sebagai kesenian sakral, bahkan tergolong dalam Tari Sang Hyang.

Demikian pula dengan gending dalam tari Janger Menyali diyakini dapat mengusir roh jahat yang bergentayangan dan bisa menangkal "gerubug" atau wabah serta serangan hama yang menyebabkan lahan pertanian rusak.

Meskipun Jaya Harta tidak mengetahui secara pasti sejak kapan kesenian Janger mulai tumbuh di Desa Menyali, diyakini sebagai cikal bakal tari Janger seperti yang berkembang kini.

Sebagai sebuah kesenian kuno, Janger Menyali memiliki sejumlah keunikan yang membedakannya dengan Janger lain.

Pertama, dari sisi "gending" atau lagu yang menggunakan bahasa Bali yang dicampur bahasa Indonesia. Isinya mayoritas mengenai puja-puji kepada Tuhan beserta manifestasinya, pergaulan remaja, kisah percintaan, dan pertanian.

"Dalam pentas rekonstruksi ini, kami bawakan gending Taruna Tani. Itu gending tentang pertanian yang kami sesuaikan dengan tema PKB tahun ini. Kami berusaha memaknai tema secara lebih luas. Air juga penting untuk pertanian dan kesuburan bumi," kata Jaya Harta.

Sebagai sebuah kesenian sakral, Janger Menyali juga wajib membawakan dua "gending", yakni Dewa Ayu Janger dan Ratu Gusti.

Gending berjudul Dewa Ayu Janger adalah gending  pembuka yang bermakna pemujaan terhadap Dewa Ayu Janger supaya hadir menyaksikan persembahan tari.

Sementara itu, gending berjudul Ratu Gusti adalah gending penutup yang bermakna mengantar kembali Dewa Ayu Janger ke tempat Beliau ber-"stana".

Keunikan berikutnya dari segi penyebutan para penarinya. Kalau Janger pada umumnya menyebut penari pria dengan istilah kecak, pada Janger Menyali disebut dengan istilah "jipak".

Untuk penari wanita pada Janger Menyali, disebut "parik", sedangkan Janger pada umumnya dikenal dengan sebutan janger.

Perbedaan yang paling terlihat mencolok adalah dari sisi pakaian yang dikenakan oleh para "jipak" atau penari pria. Pakaiannya justru nyentrik, menyerupai tentara Belanda karena menggunakan baju kemeja, sepatu, tanda pangkat, kaca mata, hingga jam tangan.

Gaya pakaian ala tentara Belanda itu diyakini terinspirasi dari tentara Belanda yang berlabuh di Pabean, Buleleng kala itu.

Sementara itu, parik (penari wanita) memakai pakaian yang tidak jauh berbeda dengan pakaian Janger modern. Kala itu hanya mengenakan pakaian kebaya sederhana dan kain tanpa prada dengan plekir sebagai hiasan penutup kepala.

Keunikan pakaian itu pula yang membuat Janger Menyali kian terkenal. Puncaknya, kesenian ini sempat diundang untuk pentas di Lombok pada tahun 1938.

Namun, setelah lawatan tersebut, Janger Menyali pamornya makin meredup dikalahkan oleh kesenian lainnya. Sejak 1972, kesenian itu sudah tidak pernah ditarikan lagi.

"Sebelum pentas di PKB ini, beberapa waktu lalu saat Galungan, kami telah melakukan uji coba penampilan ini dan juga dipentaskan di eks Pelabuhan Buleleng serangkaian Pesta Kesenian Bali di Kabupaten Buleleng," ucap Jaya Harta.

   
Jangan Lupakan Akar

"Pulau Bali penuh dengan tari-tarian ... Pulau Bali penuh dengan tari-tarian."

Itulah sepenggal gending yang dibawakan 12 "parik" dan 12 "jipak" dalam pementasan di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Denpasar.

Seniman lansia membawakan gending berbahasa Indonesia itu sekaligus dengan menampilkan formasi posisi duduk penari yang membelakangi penonton. Formasi demikian merupakan formasi Janger Menyali seperti saat dipentaskan pada era 1930-an.

"Ini sukses sekali, saya sangat terharu dan gembira sekali," kata budayawan Prof. I Made Bandem di sela pementasan tersebut.

Mantan Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu mengatakan bahwa kekagumannya pada tari yang dibawakan kaum sepuh itu dan mengingatkannya pada kenangan bersama sang ayah.

"Apa yang selalu diceritakan oleh ayah saya bahwa lagu-lagu Janger di Menyali itu memang dimulai dari lagu rakyat, selalu dinyanyikan dengan laras slendro, laras angklung, atau laras gender wayang," tuturnya.

Menurut dia, sebagai ciri lagu rakyat Bali kuno, memang gendingnya sangat sederhana, memakai sampiran, mudah didengar, dan dicerna karena tujuannya adalah komunikasi antara kaum perempuan dan laki-laki.

Meskipun dalam pementasan tersebut, khusus untuk "parik" atau penari wanitanya mengenakan kostum yang tidak sama dengan era kejayaannya, Bandem tidak mempersoalkan karena kostum kesenian itu dapat disesuaikan dengan konteks yang ada dan perkembangan kesenian selalu mengikuti zaman.

"Harapan saya, pengembangan atau modernisasi kesenian itu tetap menjaga akarnya. Jangan sampai hilang ciri-ciri Janger era 1920-an dan ini sudah cukup serasi. Pesannya juga sampai ke penonton," ucapnya.

Ke depannya, maestro seni ini sangat berharap Janger Menyali bisa "ditularkan" pada generasi muda dengan mengajak mereka turut mengambil peran.

Yang terpenting "style"-nya tetap dipertahankan karena ciri khas kesenian lawas ini gerak tarinya harus sederhana.

Janger Menyali sebagai sebuah kesenian sakral juga tetap bisa ditampilkan dalam pentas di PKB kala itu ditandai dengan dua penari yang membawa banten (sesajen) berbentuk gebogan bunga berukuran kecil.

Bahkan, sebelum pementasan juga telah dilakukan ritual khusus oleh "pemangku" untuk memohon taksu (karisma) pada kesenian yang dipentaskan.

Kedua banten itu merupakan simbol dari laki-laki dan perempuan yang bisa saja maknanya tidak diketahui oleh masyarakat. Banten justru jauh lebih simbolis dibandingkan menggunakan topeng yang lebih jelas dapat diketahui filosofi laki dan perempuannya atau purusa dan pradananya, kata Bandem.

Di sisi lain, dia berharap pemerintah terus melakukan pembinaan terhadap kesenian yang bersifat sakral. Diperlukan strategi khusus untuk pembinaan seni-seni sakral karena adalah roh dari seni yang ada sekarang.

Seni Wali (seni sakral) adalah sumber dari seni Bebali dan Balih-Balihan. Jiwanya ada pada seni sakral, tegas Bandem.

Di luar kegiatan Pesta Kesenian Bali, menurut dia, harus ada dana khusus untuk melestarikan kesenian sakral yang diberikan oleh Pemerintah kepada desa-desa yang masih memelihara seni sakral. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017