Denpasar (Antara Bali) - Duta kesenian dari Kabupaten Gianyar menampilkan Tari Joged Pingitan atau Joged Pajegan dalam pawai budaya Pesta Kesenian Bali ke-39 di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali Bajra Sandhi, Denpasar, Sabtu.
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dewa Putu Beratha di sela-sela pawai tersebut mengatakan tarian tersebut dikatakan "pingit" atau sakral karena salah satu hiasan penari tersebut yakni "gelungan" atau mahkotanya disimpan dan disakralkan pada salah satu bangunan suci di Pura Jemeng Desa Sebali, Kabupaten Gianyar.
Bagi masyarakat desa setempat diyakini tari Joged Pingitan tersebut merupakan hiburan Ida Betara (manifestasi Tuhan) yang beristana di Pura Jemeng, Desa Pakraman Sebali.
Pada pawai kabupaten yang terkenal dengan seninya itu juga ditampilkan tradisi "Ngerebeg" yang menjadi ciri khas utama dari salah satu prosesi upacara piodalan di Pura Duur Bingin, Desa Tegallalang. Tradisi "Ngerebeg" mengandung makna sebagai wujud bakti warga masyarakat Desa adar Tegallalang dalam menyongsong pelaksanaan ritual di Pura Duur Bingin.
Di sisi lain, terkait dengan tema PKB yang mengangkat upaya pelestarian air, Kabupaten Gianyar mempertunjukkan karya seni inovatif berjudul "Empelan Tain Kambing".
Cerita ini mengisahkan para petani di Desa Keliki di bawah kepemimpinan penghulu desa "Ki Pasek", tidak bisa menanam padi akibat pasokan air tidak menentu. Atas kesepakatan bersama, Ki Pasek menghadap Raja Mengwi untuk meminta bantuan, karena ketika itu wilayah Desa Keliki dikuasai oleh Raja Mengwi.
Atas kemurahan hati Raja Mengwi, para petani Keliki diberi bantuan tenaga untuk membangun bendungan (empelan), disertai perbekalan berupa tipat (ketupat) dan sate, serta beberapa ekor kambing.
Pekerjaan membangun bendungan dimulai. Karena semangat yang berapi-api akhirnya bangunan "empelan" segera terwujud. Namun empelan tersebut tidak bisa bertahan dan di sana sini terjadi kebocoran. Atas perintah Ki Pasek, digunakanlah kulit tipat, katik (tusuk) sate serta tain kambing (kotoran kambing) untuk mengatasi masalah itu.
Dengan menempuh jalan tersebut, akhirnya air bisa mengalir dengan lancar dan dapat mengairi persawahan di Desa Keliki. Mulai saat itu subak yang sumber irigasinya berasal dari empelan tersebut diberi nama "Subak Tain Kambing".
Sejak saat itu pula warga Desa Keliki tidak boleh menjual tipat dan sate.
Untuk menghidupkan suasana agar terkesan seperti keadaan sesungguhnya, pawai dilengkapi mobil hias. Sebagai musik pengiring digunakan perpaduan baleganjur dengang angklung bambu. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dewa Putu Beratha di sela-sela pawai tersebut mengatakan tarian tersebut dikatakan "pingit" atau sakral karena salah satu hiasan penari tersebut yakni "gelungan" atau mahkotanya disimpan dan disakralkan pada salah satu bangunan suci di Pura Jemeng Desa Sebali, Kabupaten Gianyar.
Bagi masyarakat desa setempat diyakini tari Joged Pingitan tersebut merupakan hiburan Ida Betara (manifestasi Tuhan) yang beristana di Pura Jemeng, Desa Pakraman Sebali.
Pada pawai kabupaten yang terkenal dengan seninya itu juga ditampilkan tradisi "Ngerebeg" yang menjadi ciri khas utama dari salah satu prosesi upacara piodalan di Pura Duur Bingin, Desa Tegallalang. Tradisi "Ngerebeg" mengandung makna sebagai wujud bakti warga masyarakat Desa adar Tegallalang dalam menyongsong pelaksanaan ritual di Pura Duur Bingin.
Di sisi lain, terkait dengan tema PKB yang mengangkat upaya pelestarian air, Kabupaten Gianyar mempertunjukkan karya seni inovatif berjudul "Empelan Tain Kambing".
Cerita ini mengisahkan para petani di Desa Keliki di bawah kepemimpinan penghulu desa "Ki Pasek", tidak bisa menanam padi akibat pasokan air tidak menentu. Atas kesepakatan bersama, Ki Pasek menghadap Raja Mengwi untuk meminta bantuan, karena ketika itu wilayah Desa Keliki dikuasai oleh Raja Mengwi.
Atas kemurahan hati Raja Mengwi, para petani Keliki diberi bantuan tenaga untuk membangun bendungan (empelan), disertai perbekalan berupa tipat (ketupat) dan sate, serta beberapa ekor kambing.
Pekerjaan membangun bendungan dimulai. Karena semangat yang berapi-api akhirnya bangunan "empelan" segera terwujud. Namun empelan tersebut tidak bisa bertahan dan di sana sini terjadi kebocoran. Atas perintah Ki Pasek, digunakanlah kulit tipat, katik (tusuk) sate serta tain kambing (kotoran kambing) untuk mengatasi masalah itu.
Dengan menempuh jalan tersebut, akhirnya air bisa mengalir dengan lancar dan dapat mengairi persawahan di Desa Keliki. Mulai saat itu subak yang sumber irigasinya berasal dari empelan tersebut diberi nama "Subak Tain Kambing".
Sejak saat itu pula warga Desa Keliki tidak boleh menjual tipat dan sate.
Untuk menghidupkan suasana agar terkesan seperti keadaan sesungguhnya, pawai dilengkapi mobil hias. Sebagai musik pengiring digunakan perpaduan baleganjur dengang angklung bambu. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017