Denpasar (Antara Bali) - Umat Hindu Dharma di Bali merayakan Hari Suci Kuningan, rangkaian Hari Raya Galungan yang bermakna memperingati Kemenangan Dharma (kebaikan) melawaan Adharma (keburukan), Sabtu.
Hari suci Kuningan tersebut dirayakan sepuluh hari setelah hari Galungan, umat Hindu menghaturkan sesaji (sesajen) di Pura maupun di merajan, tempat suci milik masing-masing keluarga.
Mengenakan busana adat Bali, umat Hindu di kota Denpasar dan sekitarnya setelah melakukan persembahyangan di tempat suci keluarga melakukan kegiatan yang sama di Pura Jagatnatha di jantung Kota Denpasar.
Sebagian besar masyarakat melakukan hal yang sama ke Pura Sakenan, Kelurahan Serangan, 12 km arah selatan kota Denpasar.
Hari Raya Kuningan yang jatuh bertepatan dengan ritual besar (piodalan) di Pura Sakenan. Persembahyangan berlangsung sejak pagi hingga sore hari.
Pihak panitia dan bendesa adat Serangan menerapkan antrian masuk ke mandala utama (areal utama) pura, kepada masyarakat yang akan mengikuti persembahyangan agar upacara berjalan tertib dan khusyuk.
Pura Sakenan, salah satu Pura "Sad Kahyangan" (pura besar) memiliki keunikan dan keistimewaan dibanding tempat suci lainnya di Pulau Dewata, yakni terdapat "Persada" berupa bangunan yang bertingkat-tingkat seperti limas.
Menurut sejarah Pura Sakenan dibangun oleh Asthapaka, seorang pendeta Budha. Hal itu dilakukan karena sang pendeta kagum akan keindahan laut terpadu dengan keindahan daratan.
Sang pendeta merasakan kekuatan suci di tempat tersebut, sehingga sangat baik untuk memuja Tuhan demi keselamatan dan kesejahteraan umat manausia.
Menurut Akademisi Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Prof Dr Drs Made Surada MSi perayaan Hari Suci Kuningan merupakan momentum instrospeksi diri untuk mencapai kedamaian dan kesejahteraan.
Kuningan adalah hari suci penyongsongan diri, agar umat dapat lebih merenungi dan introspeksi diri agar dapat berperan secara baik dan benar dalam hidup dan kehidupan dunia ini.
Dengan demikian perayaan Kuningan merupakan pengejawantahan ajaran perasaan cinta kasih dari kemenangan dharma (kebenaran) itu sendiri yang kemudian diwujudkan berupa pelaksanaan pelayanan dan pengabdian.
"Hal ini dapat dikupas secara filosofis beberapa sarana prasarana upakara dan upacara: tamiang, sulanggi, tebog, wayang-wayangan, endongan, kolem, ter, dan nasi kuning, ujar Made Surada. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
Hari suci Kuningan tersebut dirayakan sepuluh hari setelah hari Galungan, umat Hindu menghaturkan sesaji (sesajen) di Pura maupun di merajan, tempat suci milik masing-masing keluarga.
Mengenakan busana adat Bali, umat Hindu di kota Denpasar dan sekitarnya setelah melakukan persembahyangan di tempat suci keluarga melakukan kegiatan yang sama di Pura Jagatnatha di jantung Kota Denpasar.
Sebagian besar masyarakat melakukan hal yang sama ke Pura Sakenan, Kelurahan Serangan, 12 km arah selatan kota Denpasar.
Hari Raya Kuningan yang jatuh bertepatan dengan ritual besar (piodalan) di Pura Sakenan. Persembahyangan berlangsung sejak pagi hingga sore hari.
Pihak panitia dan bendesa adat Serangan menerapkan antrian masuk ke mandala utama (areal utama) pura, kepada masyarakat yang akan mengikuti persembahyangan agar upacara berjalan tertib dan khusyuk.
Pura Sakenan, salah satu Pura "Sad Kahyangan" (pura besar) memiliki keunikan dan keistimewaan dibanding tempat suci lainnya di Pulau Dewata, yakni terdapat "Persada" berupa bangunan yang bertingkat-tingkat seperti limas.
Menurut sejarah Pura Sakenan dibangun oleh Asthapaka, seorang pendeta Budha. Hal itu dilakukan karena sang pendeta kagum akan keindahan laut terpadu dengan keindahan daratan.
Sang pendeta merasakan kekuatan suci di tempat tersebut, sehingga sangat baik untuk memuja Tuhan demi keselamatan dan kesejahteraan umat manausia.
Menurut Akademisi Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Prof Dr Drs Made Surada MSi perayaan Hari Suci Kuningan merupakan momentum instrospeksi diri untuk mencapai kedamaian dan kesejahteraan.
Kuningan adalah hari suci penyongsongan diri, agar umat dapat lebih merenungi dan introspeksi diri agar dapat berperan secara baik dan benar dalam hidup dan kehidupan dunia ini.
Dengan demikian perayaan Kuningan merupakan pengejawantahan ajaran perasaan cinta kasih dari kemenangan dharma (kebenaran) itu sendiri yang kemudian diwujudkan berupa pelaksanaan pelayanan dan pengabdian.
"Hal ini dapat dikupas secara filosofis beberapa sarana prasarana upakara dan upacara: tamiang, sulanggi, tebog, wayang-wayangan, endongan, kolem, ter, dan nasi kuning, ujar Made Surada. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017