Kehidupan paling berat bagi nelayan adalah saat paceklik ikan, seperti yang dialami nelayan di Kabupaten Jembrana, Bali, selama sekitar delapan bulan terakhir.

Ada kisah yang menyedihkan saat perairan Selat Bali yang menjadi andalan untuk mencari ikan bagi ribuan nelayan di Kabupaten Jembrana, seperti berhenti atau istirahat memberikan kekayaan laut tersebut.

Dari penelusuran dan obrolan dengan beberapa nelayan di Desa Pengambengan, yang merupakan sentra terbesar perikanan tangkap di Kabupaten Jembrana, tampaknya lebih banyak berisi keluhan disertai harapan.

"Informasinya, alat yang dimiliki pemerintah di Desa Perancak (Searcorm) memperkirakan bulan Maret akan muncul ikan lagi. Mudah-mudahan benar," kata Madek, salah seorang nelayan yang menjadi anak buah perahu selerek, jenis alat tangkap terbanyak di Desa Pengambengan.

Selama delapan bulan terakhir, untuk menyambung hidup, mereka bekerja serabutan dengan rata-rata menjadi buruh bangunan ke daerah lain hingga ke Kabupaten Tabanan dan Kota Denpasar.

Saat ada pesanan kebutuhan tenaga buruh bangunan, mereka berangkat berombongan, meskipun seringkali hasil yang diperoleh di tempat kerja tidak sesuai harapan.

"Banyak kawan-kawan yang tidak dibayar penuh, sehingga pulang hanya membawa uang pas-pasan yang tidak sebanding dengan tenaga dan waktu mereka bekerja," kata Zuhri, nelayan yang sempat bekerja menjadi buruh bangunan di Denpasar, awal Februari 2017.

Menurutnya, hasil yang diperoleh dari bekerja sebagai buruh bangunan, jauh lebih kecil dibandingkan dengan saat panen ikan di laut, seperti yang pernah dialaminya.

Ia mengaku, selama satu minggu bekerja di Denpasar, hanya membawa pulang uang Rp300 ribu. Uang itu separuhnya kemudian digunakan membayar utang saat dirinya berangkat.

"Saya dibayar Rp75 ribu perhari tanpa makan. Bayaran itu lebih banyak habis untuk makan. Setelah pulang, istri saya melarang untuk kembali ke Denpasar, disuruh mencari pekerjaan di Jembrana saja," katanya.

Sebagai mata pencaharian andalan dan satu-satunya, paceklik ikan yang panjang memberikan pukulan ekonomi yang berat bagi nelayan di Kabupaten Jembrana, yang melahirkan kebiasaan menjual berbagai barang di rumah, bahkan hingga perabot dapur pun terpaksa dilego.

Kebiasaan nelayan untuk tidak segan-segan melepas atau menjual apa yang dimiliki di dalam rumah saat paceklik ikan ini, dibenarkan Kepala Desa Pengambengan, Samsul Anam. Namun kebiasaan itu saat ini sudah banyak berubah, ujarnya.

"Selama paceklik delapan bulan ini, saya jarang sekali mendengar warga sampai menjual piring atau sendok, yang dulu biasa dilakukan. Mungkin karena sekarang, meskipun pelan-pelan, cara berpikir dan mengelola keuangan warga mulai berubah ke arah yang lebih baik," katanya.

Perubahan cara berpikir itu ia lihat dari munculnya inisiatif nelayan untuk mencari pekerjaan serabutan seperti sebagai buruh bangunan, buruh membuat bata merah dan lain-lain sampai keluar daerah, yang dulu sangat jarang dilakukan.

Mata Rantai Renternir

Selain perubahan cara berpikir, paceklik selama tiga tahun yang sempat terjadi pada tahun 2007-2010 menjadi pelajaran berharga bagi nelayan, sehingga saat delapan bulan terakhir tidak ada ikan pun mereka relatif lebih siap.

"Mengeluh dan merasa berat pasti ada, karena mencari ikan menjadi sumber penghasilan warga saya. Tapi saat ini, saya lihat warga lebih siap, karena dulu pernah ditempa paceklik selama tiga tahun," kata Samsul Anam.

Karena tidak mungkin memberikan bantuan langsung seperti sembako untuk seluruh warga Desa Pengambengan, ia mengaku pihaknya sudah menyiapkan beberapa program untuk membantu perekonomian warga, di antaranya dengan menghidupkan kembali Koperasi Wanita (Kopwan).

Menurut dia, selain para suami yang bekerja sebagai pencari nafkah utama, kelompok perempuan juga harus diberdayakan untuk menopang ekonomi rumah tangga, khususnya pada masa paceklik ikan.

Dengan kewenangan keuangan yang lebih besar pada desa, ia optimistis bahwa program ini akan terwujud, namun agar berjalan lancar, maka masyarakat diharapkan memiliki komitmen bersama agar sistem simpan pinjam bisa berjalan.

"Dari sebelum menjadi kepala desa sampai sekarang, saya amati, rentenir selalu merajalela di desa ini, dan seringkali sewenang-wenang saat warga tidak mampu membayar. Tujuan koperasi wanita ini, salah satunya untuk memutus mata rantai pinjaman ke rentenir," katanya.

Menurutnya, warga yang meminjam ke rentenir dalam posisi terpaksa, karena tidak ada tempat lagi untuk mendapatkan uang, sehingga menjadi tanggung jawab desa untuk membentuk lembaga guna mengatasi hal tersebut.

Selain karena terpaksa, ia mengatakan, rentenir bisa mengeruk untung yang besar dari warga Desa Pengambengan juga disebabkan sumber daya manusia yang ingin mendapatkan pinjaman uang dengan gampang tanpa memikirkan dampaknya.

"Tugas pengurus koperasi wanita tidak hanya meminjamkan uang, tapi juga mengubah kebiasaan warga untuk meminjam uang ke rentenir. Hal ini memang tidak mudah dilakukan dan perlu proses yang lama, tapi harus tetap dimulai agar warga kami tidak selamanya terjerat rentenir," katanya.

Saat warganya terjerat rentenir dan menghadapi tindakan sewenang-wenang, ia mengaku tidak bisa berbuat banyak karena kenyataannya warga memang meminjam uang ke rentenir.

Paling jauh yang bisa ia lakukan hanya melindungi warganya dari intimidasi fisik, serta negosiasi kepada rentenir untuk mendapatkan keringanan pembayaran.

"Seperti yang belum lama terjadi, dinegosiasi untuk mengurangi bunga sedikit saja rentenir itu tidak mau. Karena soal pinjam meminjam, kami hanya bisa membantu warga membayar dengan cara mencicil sesuai kemampuan tanpa ditambahi bunga lagi," katanya.

Jeratan rentenir atau yang di masyarakat nelayan Desa Pengambengan dikenal dengan istilah bank harian, sangat terasa saat bergaul langsung dengan mereka.

Pagi, siang maupun sore hari, di kampung-kampung nelayan datang penagih dari bank harian tersebut, dengan sistem seolah-olah meringankan nelayan, padahal sebenarnya menjeratnya dengan utang yang lebih banyak.

Penelusuran yang ada menunjukkan bahwa untuk pinjaman Rp1 juta ke bawah, rentenir tidak minta barang jaminan, bahkan uangnya langsung diberikan saat itu atau paling lama dalam waktu satu hari.

Namun dari nilai pinjaman Rp1 juta, nelayan hanya mendapatkan Rp800 ribu dengan Rp200 ribu dikatakan sebagai biaya administrasi, yang harus dibayar Rp1.200.000 dalam jangka waktu 60 hari.

Jika dalam jangka waktu tersebut pembayarannya belum lunas, rentenir terkesan membantu dengan mengembalikan uang yang sudah dibayarkan selama 60 hari kepada nelayan.

Namun pengembalian uang ini dibarengi perjanjian, pinjaman pokok mereka kembali utuh dengan bunga hingga 20 persen, dan uang cicilan yang dikembalikan dipotong lagi untuk biaya administrasi.

"Jadi selama nelayan belum mampu melunasi utangnya maksimal 60 hari, mereka akan terus terjerat pinjaman dengan bunga yang tinggi. Seolah-olah membantu dengan mengembalikan cicilan saat hutang belum lunas, padahal itu mencekik nelayan," kata Sauki, salah seorang pemuda Desa Pengambengan yang saat ini menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta.

Hal itu juga diakui oleh Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan Dan Koperasi Jembrana I Made Sudantra. Ia mengatakan, satu-satunya cara untuk melepaskan nelayan dari jerat rentenir adalah dengan membentuk koperasi.

Ia mengatakan, sebenarnya perhatian pemerintah pusat untuk pemberdayaan masyarakat pesisir cukup besar, demikian juga alokasi dananya, namun nelayan harus memiliki lembaga yang legal untuk mengakses bantuan tersebut.

"Mentalitas nelayan saat meminjam uang ke koperasi juga harus sama dengan saat mereka meminjam ke rentenir. Maksudnya, kalau di rentenir rajin mencicil, harus demikian juga ke koperasi. Jangan karena merasa meminjam ke koperasi, apalagi dimodali pemerintah, kemudian tidak mengembalikan," katanya.

Agaknya, koperasi menjadi alternatif bagi para nelayan yang mengalami paceklik ikan di Selat Bali cukup lama hingga delapan bulan terakhir, yang akhirnya berdampak terhadap semua jenis nelayan yang terbagi menjadi nelayan pengguna perahu selerek dan sampan.

Samsul, salah seorang nelayan sampan mengatakan, dulu saat perahu selerek mengalami paceklik, nelayan yang menggunakan sampan dengan jarak melaut sekitar dua kilometer dari pantai masih bisa mendapatkan ikan.

"Tapi sekarang semuanya merata. Sempat ada ikan layur, tapi itu juga tidak lama, sehingga sekarang seluruh nelayan mengalami paceklik," kata nelayan yang saat ini bekerja sebagai buruh pembuat bata, agar bisa bertahan hidup ini.

Saat musim ikan yang didominasi jenis lemuru, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pengambengan dipenuhi ribuan orang yang mencari nafkah dari hasil tangkapan selama hampir 24 jam. Sekarang, pelabuhan tersebut sepi, dengan ratusan perahu selerek yang bersandar di kolam labuhnya menunggu musim ikan kembali.

Untuk berburu ikan, nelayan asal Kabupaten Jembrana sudah berusaha hingga ke perairan Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, namun di sana pun mereka tidak mendapatkan hasil, sehingga kembali pulang.

Kini, nelayan Jembrana ketika mengalami paceklik ikan sudah tidak lagi menjual barang apa saja dan juga tidak meminjam uang kepada renternir, karena koperasi dapat menjadi alternatif untuk mereka. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Gembong Ismadi

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017