Negara (Antara Bali) - Akibat paceklik panjang, banyak nelayan dari Desa Pengambengan, Kabupaten Jembrana beralih menjadi buruh bangunan di Denpasar, yang sayangnya mereka sering tertipu masalah pembayaran.
"Baru saja beberapa tetangga saya yang bekerja menjadi buruh bangunan di Denpasar pulang, dengan gaji hanya dibayar separuh," kata Karyono, nelayan di Dusun Kelapa Balian, Desa Pengambengan, Kecamatan Negara, Selasa.
Ia mengatakan, rekan-rekannya sesama nelayan tersebut berangkat ke Denpasar sekitar 10 hari lalu, dengan janji gaji mereka akan dibayar setiap minggu.
Karena ditunggu lewat empat hari, gaji belum juga dibayarkan, beberapa diantaranya memutuskan untuk pulang meskipun hanya membawa separuh dari gaji yang dijanjikan.
"Beberapa yang lain tetap bertahan disana, menagih sisa pembayaran, termasuk bagi rekan-rekannya yang pulang. Saya juga pernah bekerja sebagai buruh bangunan di Denpasar, setelah hampir satu bulan, baru gaji saya dibayar penuh oleh pemborong," katanya.
Namun anehnya, menurut Karyono, buruh bangunan asal Jawa selalu dibayar penuh oleh pemborong, sehingga sangat kelihatan cara perlakuan yang berbeda dibandingkan buruh dari Desa Pengambengan.
Ia menduga, pemborong di Denpasar sudah tahu, buruh yang sesungguhnya berprofesi sebagai nelayan, sewaktu-waktu bisa pulang jika ada ikan, meskipun pekerjaan belum selesai.
"Mungkin pemborong sengaja menahan gaji agar kami bekerja sampai selesai. Tapi kalau dari perjanjian, kan setiap minggu gaji dibayarkan, tanpa melihat pekerjaan selesai atau belum. Kalau nelayan saat ada ikan, pasti pulang dibanding memilih tetap jadi buruh bangunan," katanya.
Informasi yang sama juga disampaikan Madek dan Arman, nelayan di Dusun Ketapang Muara, Desa Pengambengan, yang setelah mendengarkan cerita kawan-kawannya yang menjadi buruh bangunan di Denpasar, mereka tidak mau ikut serta.
Kholil, salah seorang nelayan yang bekerja sebagai buruh bangunan membenarkan, kalau seringkali mereka tidak mendapatkan pembayaran penuh saat bekerja di Denpasar.
"Biasanya dari perjanjian gaji dibayar setiap minggu, molor menjadi dua minggu. Kalau kamu lanjutkan bekerja, saat dua minggu itu gaji hanya dibayarkan separuh. Bagi kawan-kawan yang tidak sabar, memilih pulang meskipun belum mendapatkan pembayaran penuh," katanya.
Sementara Yusuf, nelayan lainnya mengatakan, karena sudah pernah kena tipu masalah pembayaran di Denpasar, ia memilih untuk bekerja sebagai buruh bangunan pada pemborong lokal Jembrana.
Menurutnya, saat paceklik ini, ia beberapakali bekerja pada pemborong di Jembrana, dan hak pembayarannya selalu dibayarkan penuh.
"Kalau sampai ada yang seret membayar, kami juga lebih gampang menagih karena dekat dan tahu rumah pemborongnya," katanya.
Sekitar delapan bulan terakhir, paceklik ikan terjadi di perairan Selat Bali, yang menyebabkan nelayan harus mencari pekerjaan alternatif untuk menafkahi keluarganya.
Selain menjadi buruh bangunan, banyak nelayan yang menjadi buruh pembuatan bata merah, maupun pekerjaan serabutan lainnya.(GBI)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
"Baru saja beberapa tetangga saya yang bekerja menjadi buruh bangunan di Denpasar pulang, dengan gaji hanya dibayar separuh," kata Karyono, nelayan di Dusun Kelapa Balian, Desa Pengambengan, Kecamatan Negara, Selasa.
Ia mengatakan, rekan-rekannya sesama nelayan tersebut berangkat ke Denpasar sekitar 10 hari lalu, dengan janji gaji mereka akan dibayar setiap minggu.
Karena ditunggu lewat empat hari, gaji belum juga dibayarkan, beberapa diantaranya memutuskan untuk pulang meskipun hanya membawa separuh dari gaji yang dijanjikan.
"Beberapa yang lain tetap bertahan disana, menagih sisa pembayaran, termasuk bagi rekan-rekannya yang pulang. Saya juga pernah bekerja sebagai buruh bangunan di Denpasar, setelah hampir satu bulan, baru gaji saya dibayar penuh oleh pemborong," katanya.
Namun anehnya, menurut Karyono, buruh bangunan asal Jawa selalu dibayar penuh oleh pemborong, sehingga sangat kelihatan cara perlakuan yang berbeda dibandingkan buruh dari Desa Pengambengan.
Ia menduga, pemborong di Denpasar sudah tahu, buruh yang sesungguhnya berprofesi sebagai nelayan, sewaktu-waktu bisa pulang jika ada ikan, meskipun pekerjaan belum selesai.
"Mungkin pemborong sengaja menahan gaji agar kami bekerja sampai selesai. Tapi kalau dari perjanjian, kan setiap minggu gaji dibayarkan, tanpa melihat pekerjaan selesai atau belum. Kalau nelayan saat ada ikan, pasti pulang dibanding memilih tetap jadi buruh bangunan," katanya.
Informasi yang sama juga disampaikan Madek dan Arman, nelayan di Dusun Ketapang Muara, Desa Pengambengan, yang setelah mendengarkan cerita kawan-kawannya yang menjadi buruh bangunan di Denpasar, mereka tidak mau ikut serta.
Kholil, salah seorang nelayan yang bekerja sebagai buruh bangunan membenarkan, kalau seringkali mereka tidak mendapatkan pembayaran penuh saat bekerja di Denpasar.
"Biasanya dari perjanjian gaji dibayar setiap minggu, molor menjadi dua minggu. Kalau kamu lanjutkan bekerja, saat dua minggu itu gaji hanya dibayarkan separuh. Bagi kawan-kawan yang tidak sabar, memilih pulang meskipun belum mendapatkan pembayaran penuh," katanya.
Sementara Yusuf, nelayan lainnya mengatakan, karena sudah pernah kena tipu masalah pembayaran di Denpasar, ia memilih untuk bekerja sebagai buruh bangunan pada pemborong lokal Jembrana.
Menurutnya, saat paceklik ini, ia beberapakali bekerja pada pemborong di Jembrana, dan hak pembayarannya selalu dibayarkan penuh.
"Kalau sampai ada yang seret membayar, kami juga lebih gampang menagih karena dekat dan tahu rumah pemborongnya," katanya.
Sekitar delapan bulan terakhir, paceklik ikan terjadi di perairan Selat Bali, yang menyebabkan nelayan harus mencari pekerjaan alternatif untuk menafkahi keluarganya.
Selain menjadi buruh bangunan, banyak nelayan yang menjadi buruh pembuatan bata merah, maupun pekerjaan serabutan lainnya.(GBI)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017