Denpasar (Antara Bali) - Ratusan warga Desa Adat Serangan, Kota Denpasar, melakukan penyegelan tanah perusahaan PT Piayu Samudra Loka (Dolphin) karena masa kontrak tanah oleh perusahaan sudah berakhir.
"Masa kontrak tanah seluas 15 are oleh perusahaan PT Piayu Samudra Loka (Dolphin) sejak tahun 2007 sudah berakhir pada 31 Desember 2016. Dengan demikian perusahaan tidak bisa memperpanjang lagi karena berdasarkan hasil paruman (rapat) tanah milik Desa Adat Serangan itu akan digunakan untuk fasilitas umum," kata Bendesa Adat Serangan I Made Sedana saat melakukan orasi di Sedangan, Denpasar, Rabu.
Ia menjelaskan bahwa pihak desa adat sudah pernah bersurat kepada perusahaan tersebut sejak satu tahun menjelang berakhirnya masa kontrak perusahaan.
"Namun surat tersebut tidak diindahkan hingga saat ini," ujarnya.
Selain itu, pihak perusahaan juga tidak ada inisiatif untuk melakukan komunikasi dengan aparat Desa Adat Serangan.
Dengan demikian, ratusan warga yang terdiri dari enam bajar Desa Adat Serangan sejak pukul 10.00 Wita berkumpul di banjar dan melakukan aksi penyegelan aktivitas wisata di perusahaan tersebut baik di darat maupun lepas pantai.
Namun, Made Sedana masih mengizinkan karyawan perusahaan melakukan aktivitas pemeliharaan lumba-lumba agar binatang yang dilindungi itu tetap sehat dan aman.
"Kami hanya menutup aktivitas wisata dan mengambil alih lahan milik desa adat," ujarnya.
Sementara itu, Suvervisor Doktor Hewan PT Piayu Samudra Loka (Dolphin) mengaku tidak mengetahui upaya penyegelan yang dilakukan oleh warga setempat.
"Kami tidak memiliki wewenang untuk mengambil keputusan, namun kami sebagai karyawan menghormati keputusan warga Desa Adat Serangan dan akan kami sampaikan ke atasan perusahaan," ujarnya.
Menurut dia, PT Piayu Samudra Loka (Dolphin) saat ini memiliki sembilan ekor lumba-lumba dalam kondisi sehat yang biasanya digunakan untuk berinteraksi dengan wisatawan yang berkunjung ke perusahaan itu. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
"Masa kontrak tanah seluas 15 are oleh perusahaan PT Piayu Samudra Loka (Dolphin) sejak tahun 2007 sudah berakhir pada 31 Desember 2016. Dengan demikian perusahaan tidak bisa memperpanjang lagi karena berdasarkan hasil paruman (rapat) tanah milik Desa Adat Serangan itu akan digunakan untuk fasilitas umum," kata Bendesa Adat Serangan I Made Sedana saat melakukan orasi di Sedangan, Denpasar, Rabu.
Ia menjelaskan bahwa pihak desa adat sudah pernah bersurat kepada perusahaan tersebut sejak satu tahun menjelang berakhirnya masa kontrak perusahaan.
"Namun surat tersebut tidak diindahkan hingga saat ini," ujarnya.
Selain itu, pihak perusahaan juga tidak ada inisiatif untuk melakukan komunikasi dengan aparat Desa Adat Serangan.
Dengan demikian, ratusan warga yang terdiri dari enam bajar Desa Adat Serangan sejak pukul 10.00 Wita berkumpul di banjar dan melakukan aksi penyegelan aktivitas wisata di perusahaan tersebut baik di darat maupun lepas pantai.
Namun, Made Sedana masih mengizinkan karyawan perusahaan melakukan aktivitas pemeliharaan lumba-lumba agar binatang yang dilindungi itu tetap sehat dan aman.
"Kami hanya menutup aktivitas wisata dan mengambil alih lahan milik desa adat," ujarnya.
Sementara itu, Suvervisor Doktor Hewan PT Piayu Samudra Loka (Dolphin) mengaku tidak mengetahui upaya penyegelan yang dilakukan oleh warga setempat.
"Kami tidak memiliki wewenang untuk mengambil keputusan, namun kami sebagai karyawan menghormati keputusan warga Desa Adat Serangan dan akan kami sampaikan ke atasan perusahaan," ujarnya.
Menurut dia, PT Piayu Samudra Loka (Dolphin) saat ini memiliki sembilan ekor lumba-lumba dalam kondisi sehat yang biasanya digunakan untuk berinteraksi dengan wisatawan yang berkunjung ke perusahaan itu. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017