Jakarta (ANTARA) - Industri rokok nasional yang tergabung dalam Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) mendorong pemerintah untuk tidak menunda penggabungan batasan produksi Sigaret Kretek Mesin dan Sigaret Putih Mesin, lantaran hingga saat ini pabrikan rokok besar asing masih menikmati tarif cukai murah.

Ketua Harian Formasi Heri Susanto di Jakarta, Senin mencontohkan tarif cukai di segmen SPM memiliki ketimpangan sosial sehingga menekan pabrikan kecil. Pada golongan 1 di segmen rokok mesin SPM menggunakan tarif cukai Rp625 per batang. Namun untuk golongan 2A, memakai tarif Rp 370 per batang atau 40 persen lebih rendah dari tarif golongan 1.

"Formasi melihat bahwa ini ada ketimpangan sosial. Kalau disebut perusahaan golongan 2A yang merupakan perusahaan asing tidak memakan pangsa pasar kami itu sudah sangat keterlaluan. Sama tarifnya, kita kalah, kan mereka raksasa," tegasnya.

"Mereka Itu perusahaan asing dan golongan gede. Perusahaannya multinasional bermodal kuat," tegasnya.

Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, mengatakan pabrikan besar asing yang menentang penggabungan adalah mereka yang membayar cukai yang lebih rendah.

“Pengusaha rokok yang protes adalah mereka yang diuntungkan dari kebijakan saat ini. Mereka membayar cukai lebih murah padahal sama-sama menjual rokok yang menyakiti dan tidak banyak menyerap tenaga kerja.

Abdillah menjelaskan, penggabungan SKM dan SPM juga akan mengoptimalkan penerimaan cukai. Pasalnya, pabrikan yang memiliki volume produksi segmen SKM dan SPM di atas tiga miliar batang harus membayar tarif cukai golongan I pada kedua segmen tersebut.

“Kalau saya pengusaha rokok SPM, saya produksi 2,99 miliar batang SPM. Walau (tarif cukainya) lebih murah beberapa rupiah saja, tapi kalau dikali 2,99 miliar batang? Yang harusnya disubsidi itu UKM. Industri rokok tidak perlu disubsidi,” tegasnya.

Abdillah mengatakan, jika penggabungan SKM dan SPM, maka hal ini dapat meningkatkan angka perokok di Indonesia. Pasalnya, rokok semakin mudah diakses oleh masyarakat karena harganya terjangkau.

“Semangat penggabungan SKM dan SPM ini sebenarnya untuk mengurangi perbedaan harga rokok sehingga konsumen tidak bisa beralih ke rokok murah. SKM dan SPM sama-sama buruk untuk kesehatan, sepatutnya digabung,” katanya.

Baca juga: Penggabungan SKM dan SKT bakal tingkatkan pengangguran
Baca juga: DPR sebut kebijakan ini bisa optimalkan penerimaan cukai
Baca juga: Anggota DPR Dorong Penggabungan Volume Produksi SKM dan SPM

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019