Jakarta (ANTARA) - Peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Erik Kurniawan mengatakan penggunaan teknologi informasi dalam pemilu perlu dievaluasi agar lebih maksimal dan efisien.

"Satu hal yang penting menurut saya adalah bagaimana evaluasi berjalan, harusnya ini yang dilakukan secara periodik," kata Erik, saat dihubungi di Jakarta, Jumat.

Ia mencontohkan, seperti penggunaan teknologi informasi dalam Pemilu 2019 yang belum ada evaluasinya secara menyeluruh mulai dari Sipol maupun Situng.

Seperti halnya website KPU yang terlalu banyak menampilkan informasi. Setiap unit kerja punya ego untuk menampilkan data, akhirnya data tidak terintegrasi.

Ia mengatakan, evaluasi harus dilakukan oleh KPU dengan melibatkan banyak pihak, seperti pemerhati pemilu, peneliti, pemantau pemilu, data scientist, ahli IT, dan sebagainya.

Menurut dia, tanpa ada evaluasi sebaran informasi akan semakin banyak, memunculkan belantara informasi. Informasi yang berserakan akhirnya malah akan membuat publik bingung.

"Tanpa evaluasi semua akan berjalan masing-masing dan tak terarah," katanya lagi.

Lebih lanjut ia mengatakan, tahap pertama dari era 'big data' itu memang 'full disclosure' yang didorong adalah inisiatif keterbukaan atau transparansi.

"Kita harusnya sudah mulai masuk tahap dua, yaitu 'targeted transparency', hanya informasi-informasi kunci yang ditampilkan. Informasi yang mendidik publik dan memberikan stimulus partisipasi pemilu," katanya pula.

Sebelumnya, Erik mengatakan penggunaan teknologi informasi dalam pemilu perlu ada peta jalan, agar penggunaannya sesuai dengan kebutuhan dan menjawab problem yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia.
Baca juga: "E-voting" bisa jadi alternatif Pemilu tetapi butuh kepercayaan

Menurut dia, wacana penggunaan teknologi informasi harus dipastikan apakah dalam rangka memperbaiki sistem, menjawab persoalan yang ada atau hanya mengikuti tren, mengikui suasana yang ada kekinian.

"Justru penggunaan perangkat apa pun itu baik manual maupun teknologi informasi sering berjarak dengan kebutuhan yang sebenarnya," kata sarjana hukum Universitas Jayabaya, Jakarta ini pula.

Lebih lanjut ia mengatakan, apa pun perangkat yang digunakan oleh penyelenggara pemilu hendaknya sesuai dengan amanah Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pemilu harus efisien.

Menurut dia, penggunaan teknologi informasi dalam pemilu punya inefisiensi karena biayanya akan besar di awal.
Baca juga: Bawaslu sebut e-vote di Indonesia belum bisa diterapkan

Erik menambahkan penggunaan e-Rekap ataupun e-Voting nantinya harus didasarkan penggunaannya untuk tiga, empat, bahkan lima kali pemilu.

"Jadi kalau digunakan untuk tiga, empat, lima kali pemilu, alat itu jatuhnya murah. Tapi kalau digunakan hanya saat ini dan periode selanjutnya tidak bagus dan harus diganti alatnya, kita justru mencederai putusan MK yang menyatakan pemilu harusnya efisien," kata peneliti yang aktif di Indonesia Parliamentary Center (IPC) ini pula.

Sebelumnya diberitakan, KPU RI berencana menggunakan e-Rekap pada pilkada serentak 2020. KPU menyebut penggunaan e-Rekap lebih cepat dan dapat dipercaya.

Anggota KPU RI Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan ada kemungkinan penerapan e-Rekap akan dilakukan secara piloting (dipilih) di beberapa daerah sebagai pilot project.

"Pilot project ini jangan dianggap uji coba ya, karena uji coba sudah kita lakukan berkali-kali. Tapi ini penerapan di beberapa daerah tertentu," kata Pramono pula.
 

Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019