Jakarta (ANTARA) - Penggunaan teknologi informasi (TI) dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia perlu peta jalan, kata peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) Erik Kurniawan.

"Peta jalan yang saya maksudnya tidak hanya untuk e-rekap tetapi penggunaan IT dalam pemilu. Selama ini belum banyak pihak yang tahu apakah KPU telah memiliki peta jalan tersebut," kata Erik saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Kamis.

Erik pernah mendengar ada semacam peta jalan penggunaan teknologi informasi. Akan tetapi, belum pernah dijelaskan secara gamblang kepada publik peta jalan yang dimaksud.

Baca juga: Pakar: Sistem teknologi informasi KPU perlu diaudit

Menurut sarjana hukum Universitas Jayabaya Jakarta ini, wacana penggunaan e-rekap dalam pilkada apakah sudah dalam level urgensi atau masih membahas potensi-potensi ke depan. Hal ini mengingat penggunaan teknologi informasi dalam pemilu juga pernah digunakan pada penyelenggaraan pemilu 2009 dan 2004.

Jika merujuk dari hukum Duverger, kata dia, bahwa pemilu itu membudayakan orang, membudayakan pemilih, membudayakan warga negara secara psikologis, dan juga mekanis.

Secara psikologis, lanjut dia, pemilu mendidik orang untuk memberikan kepercayaan kepada peserta pemilu untuk memilih presiden dan wakilnya, serta dinilai keajekan-keajekannya dari satu pemilu ke pemilu lainnya.

Adapubn secara mekanik, pemilu membudayakan pemilih dan juga penyelenggara pemilu.

"Mau perangkat apa pun digunakan, pasti berkembang," katanya.

Menurut Erik, sejauh apa perangkat teknologi informasi tersebut digunakan dalam rangka memperbaiki, menjawab persoalan, atau hanya mengikuti tren, mengikuti suasana yang ada kekinian, terkadang luput dari persoalan dan kebutuhan yang ada.

Baca juga: Pakar TI: Hoaks hasil pemilu di medsos tinggi

"Justru penggunaan perangkat apapun itu baik manual maupun teknologi informasi sering berjarak dengan kebutuhan yang sebenarnya," kata Erik.

Erik mengingatkan bahwa penggunaan teknologi infomasi dalam pemilu haruslah bisa menjawab persoalan yang ada.

Persoalan mendasar adalah terkait dengan kepercayaan publik. Sejauh apa masyarakat percaya terhadap sistem, seperti mempercayai pengiriman uang melalui rekening bank secara daring.

Persoalan lainnya, kata dia, pada SDM penyelenggara mengingat jumlanya cukup besar tersebar di seluruh wilayah dan belum semua melek teknologi.

Penggunaan teknologi informasi maupun manual sama-sama membutuhkan biaya. Penggunaan teknologi informasi adalah satu hal yang padat modal, membutuhkan investasi besar di awal. Jika kemudian hari tidak terpakai, menjadi sangat percuma.

Baca juga: KPU undang sejumlah pakar bahas "e-rekap"

Baca juga: KoDe : "e-rekap" butuh kesiapan SDM penyelenggara pemilu

Baca juga: KPU wacanakan penerapan e-rekap secara "piloting"


Sejatinya pemilu adalah pelayanan publik kepada masyarakat baik itu penggunaan hak pilih, juga pelayanan publik yang muara dari pemilu adalah data.

"Saya setuju jika KPU tidak terburu-buru menentukan apakah akan menggunakan teknologi informasi dalam seluruh tahapan pemilu atau sebaiknya ada semacam peta jalan," kata peneliti yang aktif di Indonesia Parlieamentary Center (IPC) ini.

Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019