Kami mengingatkan jangan sampai terjadi 'antimicrobial resistence'. FAO sudah menyarankan untuk meminimalisasi penggunaan antibiotik terhadap hewan. Oleh karena itu, saya menggaungkan pentingnya biosecurity bagi peternak layer
Jakarta (ANTARA) - Spanduk besar bertuliskan "Telur ayam Fresh, higienis, kaya nutrisi Vitamin A, B1, C" terlihat ketika memasuki salah satu supermarket yang terletak di pusat kota Jakarta. Di rak-rak khusus protein hewani tersebut, telur ayam kemasan tersedia dengan berbagai promosi, mulai dari telur ayam pilihan, "fresh egg from local farm", hingga telur premium.

Telur ayam yang sudah dikemas dalam bentuk "pack" itu dijual bervariasi, ada yang isi 6 butir, 10 butir dan 30 butir. Harganya jelas berbeda. Contohnya saja telur kemasan isi 6 butir (setengah kilogram) dihargai Rp17.000. Sementara itu jika dibandingkan dengan di pasar atau warung kelontong, konsumen hanya perlu membayar Rp12.000, mengacu pada harga telur curah saat ini Rp24.000 per kilogram.

Umumnya konsumen lebih memilih membeli telur di warung kelontong atau minimarket terdekat dari rumah. Salah satu konsumen, Yeni (54) asal Sunter, mengungkapkan bahwa selain lebih murah, ia lebih tenang jika bisa memilih sendiri telur yang ingin dibeli.

Pembeli lainnya, Martha (38) mengungkapkan bahwa ia tidak khawatir membeli telur curah di warung terdekat karena tidak ada kabar soal adanya penyakit atau wabah menular belakangan ini di televisi.

“Ya kalau dulu waktu ada berita flu burung mungkin lebih waspada ya, tetapi ini kan aman-aman saja, jadi sepertinya tidak masalah membeli di pasar,” katanya.

Di balik perbedaan harga tersebut, tidak banyak konsumen yang mengetahui bahwa telur curah dengan promosi "telur pilihan" ini diproduksi dari budidaya peternakan ayam petelur (layer) yang hiegenis, bersertifikat dan menerapkan "Biosecurity 3 Zone”.

Adapun penerapan Biosecurity 3 Zona adalah praktik pengelolaan perunggasan yang baik dan berstandar dengan membagi area peternakan menjadi tiga, yakni Zona Merah, Zona Kuning dan Zona Hijau.

Klasifikasi tiga zona dalam peternakan ini  agar populasi ayam lebih steril dan tidak mudah terpapar oleh virus maupun bakteri yang berpotensi menurunkan kualitas telur yang diproduksi.

Pembagian zona dimulai dari Zona Merah atau area dengan risiko tinggi (high risk) karena zona ini terindikasi adanya pencemaran kuman maupun bakteri. Di area ini, kemungkinan cemaran bibit penyakit sangat banyak. Oleh karenanya, area tersebut dikhususkan sebagai lokasi penerimaan dan penyimpanan boks bekas telur, lokasi penerimaan tamu seperti pembeli ayam/telur, maupun pengunjung lain seperti tetangga atau peternak lain.

Zona Kuning dengan kategori "middle risk" merupakan zona transisi antara daerah kotor (merah) dan steril. Area ini hanya dibatasi untuk kendaraan yang penting seperti truk ransum, ayam DOC, dan lokasi tempat menyimpan boks telur yang sudah bersih. Akses ini hanya diperuntukkan bagi pekerja kandang.

Terakhir, Zona Hijau adalah zona steril dengan kategori "low risk" yang merupakan wilayah yang harus terlindungi dari kemungkinan kontaminasi penularan penyakit. Area ini merupakan kandang populasi ternak. Hanya pekerja kandang yang boleh masuk ke Zona Hijau.

Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita menjelaskan pentingnya menerapkan biosecurity tiga zona ini karena dapat mengendalikan penggunaan antimikroba pada unggas, serta mengurangi risiko terjadinya penyakit infeksi.

Selain itu, produk unggas yang dihasilkan dari peternakan biosecurity tiga zona ini lebih terjamin. Konsumen tidak perlu khawatir terdapat residu antibiotik.

"Kami mengingatkan jangan sampai terjadi 'antimicrobial resistence'. FAO sudah menyarankan untuk meminimalisasi penggunaan antibiotik terhadap hewan. Oleh karena itu, saya menggaungkan pentingnya biosecurity bagi peternak layer," kata Ketut.

Dalam kajian Balai Penelitian Veteriner Kementerian Pertanian, antibiotik banyak digunakan dalam industri peternakan sebagai pemacu pertumbuhan (antibiotic growth promotors/AGP). Penambahan AGP dalam pakan dapat meningkatan pertumbuhan hewan sampai dengan 4-8 persen dan meningkatkan konversi pakan dari dua persen menjadi lima persen.

Konsentrasi antibiotika yang ditambahkan dalam pakan ternak merupakan dosis rendah yaitu berkisar 2,5 – 12,5mg/kg. Namun penggunaannya secara terus menerus dapat memacu terjadinya resistensi bakteri patogen dan bakteri komensal dalam saluran pencernaan.

Apabila produk peternakan, seperti daging dan telur ayam, mengandung residu antibiotik dan dikonsumsi oleh manusia setiap hari, akan menyebabkan turunnya tingkat kesehatan masyarakat sebagai konsumen karena dapat menyebabkan alergi, keracunan, risiko karsiogenik dan teratogenik serta yang paling utama yaitu timbulnya resistensi antibiotika.

Dampak dari resistensi antibiotika dalam tubuh manusia akan mengakibatkan infeksi dan kegagalan pengobatan karena kebalnya bakteri pembawa penyakit. FAO menyatakan tidak pernah ada data pasti korban jiwa akibat resistensi antibiotika karena selalu ada komplikasi dengan penyakit yang diderita.

Pada 2013, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat total kematian sebanyak 700 ribu jiwa akibat resistensi terhadap antibiotik. Angka ini bahkan diprediksi melonjak hingga 10 juta kematian pada 2050. Dari angka tersebut, hampir 40 persen di antaranya berasal dari wilayah Asia.

FAO menyatakan bahwa implementasi Biosecurity 3 Zona secara rutin dan konsisten di peternakan ayam petelur secara signifikan menurunkan penggunaan antibiotik 40 persen dan disinfektan 30 persen.

Untuk memudahkan konsumen mengenali produk unggas yang dihasilkan dari peternakan biosecurity ini, terdapat nomor kontrol veteriner (NKV) yang dicantumkan dalam kemasan telur.

Peternak yang memperoleh sertifikat NKV ini dapat memasarkan produk mereka ke supermarket, minimarket, bahkan diekspor ke luar negeri. Sertifikat NKV menjadi jaminan bahwa produk unggas telah memenuhi syarat Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH).

Berdasarkan data Unit Khusus FAO di bidang Kesehatan Hewan (Emergency Center for Transboundary Animal Diseases/FAO ECTAD), baru ada sekitar 60 peternakan di Indonesia yang menerapkan biosekuriti tiga zona sebagai hasil pembinaan dari FAO.

"Peternak yang menerapkan biosekuriti binaan FAO ada sekitar 60 peternakan. Wilayahnya ada di Jawa Tengah, Banten, Lampung dan Sulawesi Selatan. Ini belum termasuk peternak swasta yang sudah mandiri menerapkan biosekuriti," kata National Technical Advisor FAO Alfred Kompudu.

Salah satu peternakan yang sudah menerapkan biosekuriti tiga zona telah dilakukan oleh Margaraya Farm yang berada di Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung.

Mari beternak ala biosekuriti

"Harus mandi dulu ya sebelum masuk," begitu kata Rony Agustian (41) kepada pengunjung yang hendak memasuki peternakan miliknya, Margaraya Farm di Desa Rulung Raya, Kecamatan Natar, Lampung Selatan.

Saat memasuki gerbang peternakan Margaraya Farm, pengunjung akan langsung mengetahui bahwa halaman depan sekaligus garasi mobil di rumah Rony merupakan Zona Merah peternakan ini. Cat merah terang di sekeliling tembok dan papan bertuliskan "Anda Berada pada Zona Merah" memperjelas keberadaan dan posisi pengunjung.

Belasan boks telur yang sedang diangkut muat ke dalam truk menjadi akhir dari proses produksi telur ayam dari peternakan yang sudah berdiri sejak tahun 2004 ini, sebelum akhirnya dikirim ke pasar-pasar tradisional di Lampung Selatan.

Papan lainnya dengan anjuran untuk mengikuti rambu-rambu yang ada, seolah menjadi peringatan bagi para tamu untuk bersiap memasuki Zona Kuning di sebelahnya. Sebuah pintu kecil menjadi perantara bagi tamu saat memasuki Zona Kuning atau kawasan tempat tinggal Rony bersama istri dan anaknya.

Tentu saja cat kuning juga tidak luput di area teras rumah Rony. Sambil menyajikan telur rebus sebagai kudapan tamu, ia juga menjelaskan jadwal kerja karyawan dan prosedur berpakaian di area peternakan. Waktu kerja para karyawan dimulai pukul 07.30 WIB - 17.00 WIB.

Di area ini pula, karyawan dan tamu yang berkepentingan harus mandi terlebih dahulu sebelum memasuki area kandang. Ada dua kamar mandi di luar rumah yang ditujukan untuk laki-laki, dan satu kamar mandi di dalam rumah untuk perempuan.

Seluruh badan harus terbilas air dari ujung kepala hingga kaki guna memastikan tidak ada debu dan kotoran yang nantinya dapat berbahaya jika tertular unggas. Setelah itu, karyawan harus mengenakan seragam khusus, seperti wearpack untuk lebih menjamin kebersihan.

 
Area peternakan Margajaya Farm yang dilengkapi dengan cairan disinfektan. (Antara)

Rony mengakui bahwa mengubah disiplin kepada karyawan-karyawannya memang tidaklah mudah, butuh waktu sekitar 1-2 bulan agar mereka adaptasi dan terbiasa untuk menerapkan kewajiban mandi sebelum memasuki kandang.

Meski sudah mandi di rumah, karyawan tetap diwajibkan mandi terlebih dahulu untuk mencegah agar bakteri berbahaya yang dibawa manusia tidak terpapar ke ayam ternak.

"Ya repot memang harus mandi lagi, padahal di rumah sudah mandi. Akhirnya sekalian saja, pagi-pagi mandi di sini langsung," kata Agus, salah satu anak kandang di peternakan ini.

Dibekali seragam khusus wearpack dan sendal jepit, karyawan disemprotkan cairan disinfektan saat memasuki pintu berbahan seng menuju Zona Hijau, lokasi peternakan ayam.

Di Zona Hijau atau zona bersih dengan kategori low risk merupakan area terbatas, atau hanya karyawan yang berkepentingan khusus memasuki zona ini. Di area ini lah, 45.000 ekor ayam petelur milik Rony dipelihara.

Tidak ada bau menyengat ketika memasuki area peternakan ini. Di dalamnya, terdapat lima kandang dengan ukuran masing-masing 7,5 x 60 meter. Karyawan yang ingin memberi pakan atau meninjau kesehatan unggas, harus menaiki tangga terlebih dahulu karena bentuk kandang yang seperti rumah panggung.

Sebelum menaiki tangga, karyawan diharuskan berganti sendal jepit dan mencelupkan ke air untuk lebih menjamin kebersihan kaki. Guna memudahkan agar tidak tertukar, sendal khusus yang dipergunakan di area kandang berwarna ungu, sedangkan di area bawah kandang berwarna hijau.

Masing-masing kandang terisi 4.150 ekor ayam yang diberi pembatas setiap ekor unggas. Tepat di bawah posisi kandang, terdapat pipa silikon yang dibelah sebagai tempat pakan ternak.

Untuk mengubah peternakannya sesuai dengan terapan biosekuriti 3 zona, Rony harus merogoh biaya sebesar Rp100 juta. Namun angka tersebut masih bisa bertambah seiring dengan penambahan populasi dan perluasan kandang.  Ia pun telah menerapkan sistem pengelolaan kandang yang baik ini sejak Januari 2019.

Awalnya, Rony tidak tertarik untuk membuat peternakannya sesuai dengan terapan biosecurity karena harus menambah biaya. Namun, edukasi dari Fakultas Peternakan Hewan Universitas Lampung (Unila) dan Pinsar Petelur Nasional (PPN) telah menggerakkan Rony untuk menerapkan biosecurity agar produksi ayam lebih stabil.

Selama pendampingan dua bulan dari Unila, Rony mengaku tidak banyak yang perlu diubah karena "layout" peternakannya sudah sesuai untuk penerapan biosecurity. Hanya sejumlah fasilitas yang harus ditambah untuk menunjang pengelolaan ternak yang higienis, antara lain shower disinfektan, tempat untuk bedah bangkai dan perlengkapan kandang.

Menurut dia, pengelolaan ternak yang baik ini telah membuat produksi telur lebih stabil karena karyawan menjadi lebih disiplin dan teratur dalam memberi pakan ayam serta menjamin ayam dapat steril dari paparan bakteri.

"Dampaknya produksi lebih stabil sekitar 2 ton per hari, sedangkan sebelumnya lebih sedikit sekitar 3 persen, bahkan kalau kena penyakit bisa berkurang 10 persen dari produksi sekarang," kata Rony.

Sejak memulai usaha peternakan layer pada 2008, Rony kini memiliki total populasi ayam 45.000 ekor yang dibagi dalam dua lokasi peternakan, dari awalnya hanya sekitar 1.000 ekor ayam. Produksinya saat ini dijual secara curah di Provinsi Lampung.

Namun setelah peternakannya mendapat Sertifikat NKV pada Juni lalu, Rony bisa memasarkan produknya ke luar provinsi. Saat ini, ia mengaku bersiap memasarkan telur melalui distributor di Jakarta.

"Produksi telur 70-75 persen dipasarkan lokal di Lampung, sedangkan 25-30 persen ke Jakarta. Di sana sudah ada beberapa langganan kami yang siap menerima," katanya.

Selain Rony, peternak layer lainnya yang telah mendapatkan sertifikat NKV juga mampu memperluas pasarnya hingga ke luar provinsi. Dengan NKV ini, produk telur memiliki daya saing lebih tinggi daripada telur dari peternakan biasa.

Punya NKV, punya daya saing

Kusno Waluyo (45), ialah peternak lainnya yang baru saja mendapat Sertifikat NKV pada Juni lalu yang diberikan langsung oleh Dirjen Perternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, I Ketut Diarmita.

Telur sekuntum herbal, begitu sebutan produksi hasil peternakan Bungur Farm yang digeluti Waluyo sejak 1988. Dari total populasi ternak 60.000 ekor ayam, produksi telur yang dihasilkan mencapai 2,7 ton per hari.

Sebelum mendapat NKV, Telur sekuntum herbal hanya dipasok ke Provinsi Lampung saja. Padahal, telur ini diklaim sebagai telur yang 100 persen bebas residu antibiotik dan rendah kolesterol. Baunya pun tidak amis dan bebas dari bakteri salmonella dan e-coli.

Alih-alih menggunakan antibiotik, Kusno memberi ramuan herbal sebagai jamu untuk ayamnya.  Racikannya terdiri dari madu, sereh, buah pace, temulawak, dan 15 bahan baku herbal lainnya.

"Sudah ada hasil penelitian dari UGM, telur kami ini memiliki protein yang sama dengan ayam kampung asli, sehingga tidak ‘eneg’ di perut, bahkan orang yang alergi telur bisa mengkonsumsi telur herbal ini," kata Kusno.

Setelah adanya NKV, Kusno akan memperluas pasaran telur herbal ini hingga ke Yogyakarta. Jika di pasar Lampung ia menjual secara curah, telur herbal yang dipasok ke Yogyakarta akan dijual dalam bentuk kemasan dengan harga Rp28.000 sampai Rp30.000 per kemasan.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Atung, menilai bahwa kepemilikan NKV saat ini belum sepenuhnya dibutuhkan di ritel besar, seperti supermarket.

"Sebetulnya tidak ada kewajiban mutlak. Umumnya ritel-ritel biasa tidak meminta NKV kalau soal telur curah, tetapi ada juga supermarket yang meminta NKV. Kalau telur kemasan sudah pasti harus ada NKV," katanya.

Salah satu pusat perbelanjaan, yakni Transmart Kota Kasablanka, tidak mewajibkan adanya NKV untuk memasarkan telur curah, berbeda dengan telur kemasan yang sudah tertera NKV. Sementara itu, kebijakan berbeda pada Hero Sarinah. Supermarket ini hanya menjual telur curah ber-NKV dalam bentuk kemasan dengan label "telur ayam negeri, fresh form farm".

 
Contoh telur ayam ber-NKV yang dijual di supermarket (Antara)

"Semua telur curah di sini sudah dalam bentuk kemasan. Ada yang 6 butir, 10, butir, sampai 30 butir. Sejak 2014 sudah tidak jual lagi telur satuan," kata Hendra, salah satu pegawai pengadaan telur di Hero Sarinah.

Atung menjelaskan kewajiban menerapkan biosecurity sebagai salah satu syarat mendapat NKV semata-mata untuk menghindari risiko tingginya biaya karena kerugian unggas yang mati atau terkena penyakit.

Pinsar pun saat ini mendorong agar para peternak dengan skala besar, yakni populasi unggas di atas 10.000 untuk dapat menerapkan biosecurity.

Kementerian Pertanian mencatat sampai dengan Mei 2019, NKV yang sudah diterbitkan untuk budidaya ayam petelur sebanyak 48 unit usaha.

Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Kementan Syamsul Ma'rif menjelaskan pentingnya NKV bagi rantai konsumsi pangan adalah jaminan produk memenuhi aspek ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal) serta dapat ditelusuri (traceability).

Selain itu, NKV juga meningkatkan daya saing produk untuk perluasan pasar dan ekspor. Kualitas produk unggas yang memiliki NKV level III (kategori cukup) hanya bisa dipasarkan di provinsi tempat peternakan tersebut berada, sedangkan level II (kategori baik/menuju kualifikasi ekspor) dapat dipasarkan ke luar provinsi di seluruh Indonesia. Sementara NKV level I (sangat baik/kualifikasi ekspor) dapat dipasarkan ke luar negeri.

"Unit usaha yang memiliki NKV memiliki peluang yang lebih besar untuk masuk ke ritel dan supermarket," kata Syamsul.

Sejauh ini kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi telur ber-NKV memang belum terbangun. Namun, Kementan berupaya untuk sosialisasi dan promosi produk ber-NKV, serta bahaya residu antibiotik kepada ibu-ibu PKK.

Menurut Ketut Diarmita, bisnis produk unggas (white meat) dipandang sebagai bisnis yang menjanjikan daripada produk daging ruminansia (red meat). Oleh karenanya, ia mendorong agar para asosiasi, seperti PPN dan Pinsar, dapat mengkomunikasikan pentingnya menerapkan biosecurity, agar industri produk unggas yang higienis dan aman dikonsumsi dapat segera terbangun.

"Sudah banyak pengusaha melirik ke 'white meat', bukan ke 'red meat' lagi karena sapi itu membutuhkan areal luas. Padahal, area hijau ke depan semakin berkurang. Karena itu, ayam dan unggas adalah bisnis menjanjikan di masa depan," kata Ketut.

Harapan akhirnya, layer semakin bersemangat untuk menjamin keamanan pangan telur yang dihasilkan mengingat potensi pasar yang luas tidak hanya di dalam negeri namun hingga ke luar negeri.



Baca juga: Duta Ayam dan Telur diharapkan meningkatkan konsumsi protein hewani

Baca juga: BPS: Deflasi Agustus dipicu penurunan harga telur ayam dan bawang merah

 

Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2019