Welcome to my island, Lombok is lovely, fantastic, bombastic, but hopefully not many plastic
Mataram (ANTARA) - Hal yang paling meresahkan masyarakat, khususnya bagi pelaku ekonomi saat ini adalah menjadi "penonton di rumah sendiri".

Ketika dunia usaha menggeliat menawarkan berbagai peluang, tidak sedikit dari pelaku ekonomi di daerah yang belum mampu mengambil peran sesuai bidangnya. Kondisi tersebut merata dirasakan hampir di sebagian besar daerah di Indonesia, tidak terkecuali di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Dengan adanya fokus pemerintah pusat terhadap pembangunan infrastruktur, sudah seharusnya membawa implikasi di semua lini dan strata, sehingga pemerataan pembangunan di semua sektor dapat dinikmati oleh bebagai lapisan masyarakat secara proporsional.

Permasalahan pembangunan daerah yang tidak merata merupakan tantangan bagi pemerintah daerah itu sendiri.

Pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia seharusnya sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Untuk dapat menciptakan percepatan pemerataan pembangunan, dibutuhkan partisipasi dari semua pihak. Tidak hanya mengandalkan pemerintah pusat saja melalui porsi APBN, tetapi juga peran aktif dari pemerintah daerah (APBD) dan masyarakatnya.

Berbagai peraturan dan perundangan yang sejatinya dibuat sebagai rujukan pembangunan, tidak jarang menjadi tak bergigi dan tidak memberi pengaruh apa-apa di daerah. Hal ini ditengarai oleh minimnya peraturan-peraturan di daerah yang mengatur dan menguatkan peraturan yang sudah ada.

Dalam hal peraturan yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa, kita sudah mengenal adanya UU Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, PP Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Permen PU Nomor 07/PRT/M/2019 tentang Standard dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi melalui Penyedia, dan lain-lain.

Berbagai perangkat peraturan tersebut ternyata hanya berimplikasi terhadap tertib pelaksanaan administrasi saja dan belum memberikan manfaat langsung secara ekonomi bagi pelaku usaha.

Meskipun, katakanlah UU Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang telah memberi ruang kepada pemerintah daerah untuk membuat kebijakan khusus terkait KSO (joint operations) antara badan usaha jasa konstruksi daerah dan atau penggunaan sub-penyedia jasa daerah, namun jika tidak ditindaklanjuti secara konkrit, maka akan tidak berarti apa-apa.

Tanpa adanya regulasi berupa perangkat peraturan lebih lanjut, maka berpotensi akan terjadi sistem persaingan bebas dan terbuka yang cenderung tidak sehat.

Terobosan

Terbitnya Peraturan Gubernur (Pergub) NTB Nomor 20 tahun 2019 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Jasa Konstruksi melalui Penyedia Lingkup Pemerintah Provinsi NTB seolah menjawab keresahan pelaku usaha bidang pengadaan jasa konstruksi, khususnya yang berskala kecil hingga menengah.

Pergub yang ditandatangani oleh Gubernur NTB Dr H Zulkieflimansyah pada 15 Juli 2019 tersebut niatnya dibuat untuk meningkatkan partisipasi usaha kecil dan menengah di bidang usaha jasa konstruksi dan konsultansi.

Tentu saja, Pergub tersebut telah mempertimbangkan hasil pengadaan yang efisien, efektif, dan akuntabel, serta penigkatan peran usaha mikro, kecil dan menengah menuju pemenuhan nilai manfaat yang sebesar-besarnya pada peningkatan pelayanan publik dan pertumbuhan ekonomi.

Secara implisit, Pergub ini mengatur pedoman pelaksanaan pengadaan jasa konstruksi yang melalui penyedia lingkup Pemerintah Provinsi NTB. Di mana perusahaan dari luar daerah wajib melakukan kerja sama operasi (KSO) dengan badan usaha jasa konstruksi lokal pada kualifikasi tertentu.

Kewajiban ini mencakup pada pengadaan jasa dengan risiko kecil sampai dengan menengah dan teknologi sederhana hingga madya, sebagaimana yang tertuang dalam ayat (1) Pasal 12 Pergub tersebut.

Terbitnya Pergub NTB Nomor 20 tahun 2019 ini selaras dengan UU Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.

Kewenangan penerbitan Pergub ini, diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dalam hal penyelenggaraan jasa konstruksi menggunakan anggaran pendapatan dan belanja daerah serta memenuhi kriteria berisiko kecil sampai dengan sedang, berteknologi sederhana sampai dengan madya, dan berbiaya kecil sampai dengan sedang, pemerintah daerah provinsi dapat membuat kebijakan khusus, ayat (2) kebijakan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a) kerja sama operasi dengan badan usaha jasa konstruksi daerah; dan/atau b) penggunaan subpenyedia jasa daerah.

Langkah konkrit yang dilakukan Pemerintah Provinsi NTB itu layak diacungi jempol, karena Pergub yang mengatur pelaksanaan kerja jasa konstruksi di daerah, selain dapat menjaga ketertiban proses penyelenggaraannya juga dapat mengurangi praktik-praktik persaingan yang tidak sehat.

Konsepsi ideal yang akan terbentuk kemudian adalah jika dalam pembangunan sebuah proyek di daerah yang dimenangkan oleh daerah lain, maka tidak akan terjadi mobilisasi tenaga ahli sebagaimana yang sudah-sudah.

Dengan adanya KSO yang telah disyaratkan, maka akan mampu menyerap tenaga-tenaga ahli lokal yang secara kualifikasi terbukti mampu bersaing dengan daerah lain.

Sekarang, pintu telah dibuka lebar dan karpet merah sudah dibentangkan. Tinggal bagaimana kita, mau tidak terus bergandeng tangan membangun bersama daerah yang menjanjikan berjuta harapan ini?

Sang, "entah niki juluq, nggih?" (sampai di sini dulu ya). Sembari menanti terpaan angin segar, izinkan saya mengutip syair yang biasa didendangkan seorang sahabat: … "Welcome to my island, Lombok is lovely, fantastic, bombastic, but hopefully not many plastic” . Selamat datang sahabat di NTB

*) Hasmudin adalah Ketua Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo) NTB

Copyright © ANTARA 2019