Jakarta (ANTARA) - Semua kapal yang berlayar di perairan Indonesia wajib memasang Sistem Identifikasi Otomatis (AIS) jelang diberlakukannya PM Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pemasangan dan Pengaktifan Sistem Identifikasi Otomatis (AIS) Bagi Kapal yang Berlayar di Wilayah Perairan Indonesia per 20 Agustus 2019.

Direktur Kenavigasian Kemenhub Basar Antonius dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin menyampaikan dengan diberlakukannya Peraturan Menteri terse but, maka seluruh kapal berbendera Indonesia serta Kapal Asing yang berlayar di Perairan Indonesia wajib untuk memasang dan mengaktifkan AIS serta berkewajiban memberikan informasi yang benar.

“Tipe AIS sendiri terdiri dari dua kelas, yakni AIS Kelas A dan AIS Kelas B,” kata Basar.

AIS Kelas A, jelas Basar wajib dipasang dan diaktifkan pada Kapal Berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan Konvensi Safety of Life at Sea (SOLAS) yang berlayar di wilayah Perairan Indonesia. Sedangkan AIS Kelas B juga wajib dipasang dan diaktifkan pada kapal-kapal berbendera Indonesia dengan ketentuan antara lain, Kapal Penumpang dan Kapal Barang Non Konvensi berukuran paling rendah GT 35, serta Kapal yang berlayar antar lintas negara atau yang melakukan barter-trade atau kegiatan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

“Selain itu, yang wajib memasang dan mengaktifkan AIS Kelas B adalah Kapal Penangkap Ikan yang berukuran paling rendah GT 60,” katanya.

Ia menambahkan Nakhoda juga wajib mengaktifkan dan memberikan informasi yang benar pada AIS, seperti misalnya Informasi terkait data statik dan data dinamik kapal untuk AIS Kelas A.

“Sedangkan untuk AIS Kelas B, informasi yang wajib diberikan terdiri dari nama dan jenis kapal, kebangsaan kapal, MMSI, titik koordinat kapal, dan kecepatan serta haluan kapal,” jelasnya.

Basar mengungkapkan, pengawasan dan pemantauan terhadap implementasi Peraturan Menteri ini akan dilakukan oleh Kementerian Perhubungan, dalam hal ini, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut melalaui shore base station, dalam hal ini adalah Stasiun Radio Pantai (SROP) dan Stasiun Vessel Traffic Services (VTS) milik Ditjen Perhubungan Laut.

“Pengawasan dan pemantauan akan kita lakukan secara langsung (terrestrial) maupun melalui satellite guna meningkatkan keselamatan, keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim,” ujarnya.

Lebih lanjut, Basar mengatakan bahwa pihaknya juga mensosialisasikan tentang rencana implementasi Bagan Pemisahan Alur Laut atau Traffic Separation Scheme (TSS) di alur laut kepulauan Indonesia, yaitu di Selat Sunda dan Selat Lombok.

Penetapan TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok ini, menurut Basar, merupakan buah dari kerja keras Indonesia selama tiga tahun lamanya melalui tahapan-tahapan yang tidak mudah dan menyita waktu dan perhatian hingga akhirnya dapat diadopsi pada Sidang International Maritime Organization (IMO) Maritime Safety Committee (MSC) ke-101 pada bulan Juni yang lalu.

“Penetapan TSS di Selat Sunda dan Lombok pada Sidang IMO ini menunjukkan peran aktif Indonesia dalam bidang Keselamatan dan Keamanan Pelayaran Internasional, serta dapat memperkuat jati diri Indonesia sebagai poros maritim dunia,” kata Basar.

Menurut Basar, setelah penetapan ini, Pemerintah Indonesia masih memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan, antara lain melakukan pemenuhan sarana dan prasarana penunjang keselamatan pelayaran di area TSS yang telah ditetapkan, meliputi Vessel Traffic Services (VTS), Stasiun Radio Pantai (SROP), Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP), Sumber Daya Manusia (SDM) Pengelola Stasiun VTS, serta Peta elektronik terkini yang dapat menjamin operasional seluruh perangkat penunjang keselamatan pelayaran tersebut selama 24 jam.

“Untuk itu, kami mengajak seluruh masyarakat dan perusahaan pelayaran untuk turut berpartisipasi dalam rencana pemberlakuan TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok, dengan cara memberikan laporan kepada stasiun VTS terdekat,” kata Basar.

Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2019