Sukabumi, Jabar (ANTARA) - Bencana kekeringan di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat seakan menjadi langganan setiap musim kemarau datang, bahkan bencana ini harus dirasakan ribuan warga di kabupaten terluas di Pulau Jawa dan Bali tersebut hampir setiap tahun.

Dampak kekeringan tidak hanya dirasakan di daerah selatan saja tetapi warga yang tinggal di wilayah utara pun sama merasakan. Bahkan, kesulitan mendapatkan air bersih pun kerap dialami warga yang tinggal di sekitar pabrik air minum dalam kemasan (AMDK) milik perusahaan asing.

Antisipasi dini agar bencana kekeringan tidak terlalu parah dirasakan warga, Pemerintah Kabupaten Sukabumi terus mencari solusi yang terbaik, minimalnya warga bisa mendapatkan persediaan air selama musim kemarau meskipun dalam jumlah terbatas.

Salah satu upayanya adalah melakukan pipanisasi dengan memasang pipa saluran air dari sumber mata air ke permukiman warga yang terdampak bencana. Meskipun ada kekurangan, dengan cara seperti ini jumlah warga terdampak setiap tahunnya berkurang.

Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sukabumi pada 2018 ada 257 kampung dari 64 desa dan 28 kecamatan yang terdampak bencana kekeringan. Sementara untuk jumlah jiwa yang terkena dampaknya sebanyak 57.830 jiwa atau 22.032 kepala keluarga.

Dari daerah yang terdampak bencana kekeringan itu Pemkab Sukabumi melakukan pipanisasi seperti di Kecamatan Sukalarang, Kadudampit, Cisaat, Sagaranten, Parakansalak, Simpenan, Ciambar, Gegerbitung dan lain-lain.

Langkah pipanisasi ini dinilai berhasil untuk mengurangi dampak bencana kekeringan, apalagi informasi dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) musim kemarau pada tahun ini diperkirakan akan panjang.

Sehingga, antisipasi pun harus dilakukan sejak dini. Tidak hanya sebatas pipanisasi, pemerintah pun memasang toren air untuk menampung cadangan air agar jika ada warga yang membutuhkan air bisa kapan saja memanfaatkannya.

Namun demikian, pemasangan pipanisasi ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena baik warga, pemerintah desa hingga Pemkab Sukabumi (BPBD) harus terlebih dahulu mencari sumber air yang bisa digunakan.

Sebab, musim kemarau tersebut tidak hanya mengeringkan sumur milik warga tapi sumber air yang ada di sekitar permukiman. Sehingga harus mencarinya hingga ratusan meter bahkan beberapa kilometer seperti di Kecamatan Sagaranten, pipanisasi ini mencapai 3,6 km untuk memenuhi kebutuhan air sebanyak 890 kepala keluarga atau 1.321 jiwa.

Selain itu, keberadaan pipa dan toren tersebut tentunya harus dijaga masyarakat jangan sampai setiap musim kemarau harus kembali memasang pipa untuk mengaliri air dari sumber ke permukiman warga.

Kepala Pusat Pengendalian dan Operasi (Pusdalops) BPBD Kabupaten Sukabumi Daeng Sutisna mengatakan untuk tahun ini musim kemarau belum terlalu berdampak kepada warga, meskipun sudah ada beberapa daerah yang mengalami kekeringan.

Selain itu, untuk melakukan langkah antisipasi dan penanggulangan pihaknya masih menunggu kajian dari Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD yang belum lama ini melakukan rapat koordinasi antisipasi terjadinya bencana kekeringan.

Kemudian, untuk melakukan operasi tersebut pihaknya pun menunggu penetapan status darurat bencana kekeringan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Jabar sebagai acuan dalam upaya penanggulangan.

Tapi bukan berarti BPBD hanya menunggu, tetapi saat ini pun sudah mulai bergerak salah satunya melakukan pendataan dan pemetaan terhadap daerah-daerah yang menjadi rawan dilanda kekeringan.

"Langkah yang kami lakukan dalam penanggulangan bencana kekeringan tidak hanya pipanisasi saja, tetapi mensuplai air ke sejumlah permukiman warga yang terdampak bencana, karena tidak semua daerah bisa dilakukan pipanisasi karena minimnya ketersediaan sumber air," katanya.

Namun, ia optimistis pada tahun ini jumlah daerah di Kabupaten Sukabumi yang terdampak bencana kekeringan akan berkurang karena program pipanisasi yang dilakukan pada tahun lalu masih beroperasi terkecuali ada yang rusak maka tinggal di perbaiki saja.

Langganan Kekeringan

Hasil pemetaan yang dilakukan BPBD Kabupaten Sukabumi ada beberapa daerah yang menjadi langganan bencana kekeringan. Hampir setiap tahunnya daerah ini dilanda kekeringan, bahkan upaya yang dilakukan untuk antisipasi cukup sulit seperti tidak bisa dilakukan pipanisasi.

Sebab untuk dilakukan pipanisasi ini tidak adanya ketersediaan sumber air yang menyebabkan program ini tidak bisa berjalan. Adapun beberapa daerah yang selalu menjadi langganan bencana kekeringan Kecamatan Cibadak, Nagrak, Gunungguruh, Warungkiara, Bantargadung, Palabuhanratu, Cikembar dan Cicurug.

Namun, dari kecamatan tersebut bukan berarti seluruh desanya langganan bencana ini, tetapi beberapa diantaranya. Sebagai antisipasinya, pokjanya saat ini sudah menyediakan enam truk tanki air bersih berkapasitas 5 ribu liter dengan rincian tiga dari BPBD, ditambah dari PMI dan Pemkab Sukabumi.

Berkaca dari pengalaman dari tahun ke tahun untuk daerah ini dalam upaya penanggulangan bencana kekeringan yakni dengan cara mengirim air bersih ke lokasi terdampak, Namun itu pun harus ada permintaan dahulu dari pemerintah desa terkait agar dalam penyalurannya tepat sasaran.

Tapi untuk melakukan operasi tersebut tentunya harus ada terlebih dahulu penetapan status siaga darurat bencana dari Pemprov Jabar. Tapi sebelum adanya penetapan status tersebut pihaknya sudah melakukan pemetaan. Ini dilakukan untuk mempercepat penanggulangan dan meminimalisasikan dampaknya.

"Kekeringan memang sudah menjadi langganan bagi beberapa daerah di Kabupaten Sukabumi, maka dari itu sebelum dampaknya meluas kami sudah mulai melakukan antisipasi sejak dini," tambahnya.

Menjaga Sumber Air

Bencana kekeringan yang sudah menjadi langganan setiap musim kemarau, tentunya menjadi perhatian semua pihak. Tidak hanya pemerintah daerah hingga pusat tetapi beberapa lembaga peduli lingkungan hidup seperti ProBumi Indonesia.

Bagi ProBumi permasalahan bencana kekeringan tidak hanya di bagian hilir saja tetapi di hulu. Di mana bencana ini bukan semata-mata akibat kemarau saja, tetapi rusaknya sumber mata air seperti alih fungsi lahan hijau (hutan), tambang, penyempitan aliran sungai hingga membuang sampah dan limbah sembarang yang bisa menyebabkan sumber air tercemar.

Selama ini, penanggulangan kekeringan setelah ada dampak kepada masyarakat seharusnya pencegahan yang dilakukan atau dengan cara meminimalisasikan dampaknya. Langkah ini bukan hanya tugas dari pemerintah saja, tetapi semua komponen masyarakat dan lembaga terkait lainnya.

Jangan sampai sumber mata air ini rusak akibat dari oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mencari keuntungan sepihak tetapi dampaknya luas bagi masyarakat.

Maka dari itu melestarikan dan menjaga sumber air merupakan hal yang terpenting dibanding penanggulangan yang biayanya tentunya lebih besar dan dampak yang dirasakan oleh warga pun tidak terlalu besar. Harus diakui beberapa sumber air di Sukabumi sudah rusak akibat alih fungsi dan imbasnya pun sudah dirasakan banyak orang.

"Langkah cepat harus dilakukan, jangan sampai sumber air hilang satu persatu dan mungkin dampaknya tidak dirasakan hari itu juga tetapi akan dirasakan anak cucu kita ke depannya," kata Koordinator ProBumi Indonesia Budi Harto. (KR-ADR)

Baca juga: Aktivitas penambangan minyak liar dapat memicu kebakaran Tahura
Baca juga: Menjaga gambut, solusi antisipatif kekeringan dan karhutla

 

Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2019