Jakarta (ANTARA) -
“Baiq Nuril masih ‘shock’,” kata tim kuasa hukum Baiq Nuril, Aziz Fauzi, menanggapi penolakan perkara Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung (MA).


Dengan ditolaknya PK yang diajukan wanita asal Mataram, Nusa Tenggara Barat itu, maka MA menguatkan putusan pidana yang dijatuhkan kepada Baiq yakni enam bulan penjara dan denda Rp500 juta.

Penolakan PK oleh MA itu membuat sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) kembali berkumpul di kantor LBH Pers, Jakarta, Jumat (6/7).

Sebanyak 14 LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Presiden Joko Widodo untuk memberikan amnesti kepada Baiq Nuril. "Hanya presiden yang bisa memberikan amnesti, tidak ada jalan lain. Hanya ini yang bisa menghapuskan akibat hukum," kata peneliti Institute for Criminal Justice Reform, Genoveva Alicia.

Dengan pemberitaan yang luas dari awak media, kabar tersebut akhirnya didengar Presiden Joko Widodo yang saat itu sedang mengadakan kunjungan kerja di Manado, Sulawesi Utara.

Kepada awak media, Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa perhatian terhadap kasus yang menimpa mantan pegawai honorer di SMAN 7 Mataram itu tidak berkurang sejak awal muncul ke permukaan.

Juga baca: Kuasa hukum Baiq Nuril susun permohonan amnesti kepada Jokowi

Juga baca: Pengacara Baiq Nuril tegaskan tidak minta grasi ke Presiden

Juga baca: Soal Baiq Nuril, Jaksa Agung: Semua upaya hukum sudah dilakukan

Jokowi  kemudian meminta Baiq Nuril atau tim kuasa hukumnya untuk secepatnya mengajukan amnesti atau pengampunan kepada dirinya. Ia tidak ingin memberikan tanggapan terkait putusan MA karena itu merupakan kewenangan dari yudikatif.

“Nanti kalau sudah masuk ke saya, menjadi wilayah kewenangan saya, ya akan saya gunakan kewenangan yang saya miliki,” ujar Jokowi, di Pangkalan Udara TNI AU Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, Jumat (6/7).

Ia akan membicarakan hal tersebut kepada Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung dan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan.

Salah satu tim kuasa hukum Fauzi mengatakan setelah mendengar pernyataan orang nomor satu di republik ini, tim kuasa hukum sedang menyusun permohonan kepada Presiden Jokowi.

Rencananya, permohonan itu akan dikirim melalui Sekretariat Negara atau Kantor Staf Kepresidenan (KSP) minggu depan.

Tim juga sedang berkomunikasi intensif dengan KSP terkait teknis permohonan itu. Permohonan tersebut harus segera dikirimkan kepada Presiden karena Baiq Nuril bisa dieksekusi dalam waktu 14 hari setelah putusan penolakan PK dari MA keluar.

Di sisi lain, Aziz mengungkapkan kuasa hukum dan Baiq Nuril mengapresiasi komitmen Kepala Negara untuk memberikan amnesti kepada ibu rumah tangga itu.

“Beliau (Presiden Jokowi) sudah menyampaikan di depan publik. Saya kira itu memang komitmen dari awal Presiden. Kami apresiasi,” katanya.

Sebelumnya, Majelis hakim dalam sidang PK Baiq Nuril, yang diketuai Suhadi dan beranggotakan Margono dan Desnayeti, tidak membenarkan dalil Baiq soal adanya kekhilafan hakim MA dalam putusannya di tingkat kasasi.

Menurut majelis hakim, putusan di tingkat kasasi sudah tepat.

Juru bicara MA, Andi Samsan Nganro mengatakan alasan permohonan PK yakni pemohon mendalilkan bahwa dalam putusan judex juris atau MA dalam tingkat kasasi mengandung muatan kekhilafan hakim atau kekeliruan, yang nyata tidak dapat dibenarkan.

Majelis hakim sidang PK menilai kasus yang menjerat Baiq, yaitu mentransmisikan konten asusila sebagaimana diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), memang terjadi, kata Andi Samsan Nganro.

Menyedot Perhatian
Kasus yang sempat menyita perhatian publik Indonesia itu bermula saat Baiq Nuril berinisiatif merekam percakapan telepon mengarah asusila yang menimpa dirinya oleh atasannya, Kepala SMAN 7 Mataram saat itu berinisial HM, sekitar bulan Agustus 2014.

Dari kronologis yang disampaikan Aziz, perekaman itu dilakukan sebagai bukti bahwa dirinya tidak memiliki hubungan khusus dengan kepala sekolah itu karena kerap lembur bekerja hingga maghrib bersama seorang rekan kerja lainnya berinisial L yang merupakan bendara sekolah.

"Sama sekali Baiq tidak pernah terpikirkan untuk melapor ke polisi karena itu hanya sebagai bukti bahwa dia tidak ada hubungan apa-apa dengan atasannya," ucap Aziz.

Aziz menyebutkan Baiq sempat bercerita terkait percakapan terkait asusila melalui telepon itu kepada rekan wanitanya.
Namun, seorang rekan kerja lainnya berinisial IM meminta rekaman tersebut kepada Baiq.

Telepon seluler yang digunakan Baiq untuk merekam tersebut sempat rusak dan kemudian diserahkan kepada kakak ipar Baiq berinisial LAR, untuk diperbaiki.

Ketika Baiq mendatangi LAR di tempat kerjanya, ia mendapati IM juga berada di tempat yang sama. Baiq tidak mengetahui pasti, rekaman audio itu kemudian menyebar.

Aziz mengungkapkan, Baiq yang merasa tidak nyaman karena percakapan berisi asusila itu malah duduk di kursi pesakitan.
Baiq dilaporkan pimpinannya ke polisi karena dianggap telah mendistribusikan rekaman perbincangan tersebut.

Wanita berhijab itu dijerat pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Dalam persidangan putusan pada 26 Juli 2017, Majelis Hakim PN Mataram memutuskan Baiq tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana seperti yang dituduhkan.

Kalah dipersidangan, Jaksa Penuntut Umum kemudian mengajukan banding hingga kasasi ke MA. Kemudian pada September 2018, MA memutus Baiq Nuril bersalah.

Ia kemudian mengajukan Peninjauan Kembali atau PK kepada MA terhadap kasus itu. Kini, setelah beberapa tahun menjalani proses peradilan, masih ada harapan bagi Baiq Nuril melalui pengampunan sebagai upaya terakhir.

Selain Baiq, masyarakat Tanah Air juga tentunya menantikan perkembangan amnesti yang hanya bisa diberikan oleh Presiden Joko Widodo.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019