Xi'an (ANTARA) - "Kalau ingin tahu China ribuan tahun yang lalu, datanglah ke Kota Xi'an. Kalau mau tahu China pada masa 500 tahun yang lalu, datanglah ke Beijing. Dan kalau hendak mengetahui China 100 tahun yang lalu, cukup datang ke Shanghai."

Presiden China Xi Jinping mengungkapkan hal itu saat bertemu murid-murid Lincoln Tacoma High School di sela kunjungan kenegaraannya di Amerika Serikat pada 2015.

Bagi masyarakat awam dunia, China identik dengan Beijing dan Shanghai karena memang keduanya sampai sekarang masih menjadi kota terbesar di daratan Tiongkok.

Kalaupun Presiden Xi menyebut nama Xi'an saat bertemu para murid SMA di AS itu, tentu bukan lantaran ayahnya, Xi Zhongxun, berasal dari Provinsi Shaanxi yang beribukota di Xi'an.
Kesibukan di pusat Kota Xi'an, China, Kamis (20/6/2019). Dari kejauhan tampak bangunan Bell Tower yang menjadi salah satu aksem menuju Huimin Jie. (AntaraNews/M. Irfan Ilmie)

Bisa saja Presiden Xi menganggap tidak banyak yang tahu bahwa Xi'an pernah menjadi pusat pemerintahan beberapa dinasti China yang sangat berpengaruh, seperti Zhou, Qin, Han, Sui, dan Tang.

Bahkan beberapa upaya penyatuan seluruh wilayah daratan China juga berpangkal di Kota Xi'an seperti yang pernah dilakukan oleh Dinasti Qin pada periode 221-206 sebelum Masehi dan Dinasti Shui pada tahun 582 Masehi.

Kota dengan luas wilayah 9.983 kilometer persegi yang dihuni lebih dari 12.000.000 jiwa itu menjadi tonggak paling timur Jalan Sutera yang telah direkonstruksi kembali oleh Xi Jinping dalam Prakarsa Sabuk Jalan (Belt and Road Initiative/BRI).

Pada pertengahan 1980-an, Xi'an mulai dikenal lantaran ditemukannya ribuan patung-patung prajurit yang terbuat dari terakota tidak jauh dari makam Dinasti Qin.

Patung yang diperkirakan dibuat pada tahun 210 sebelum Masehi itu makin meneguhkan Xi'an sebagai kota tertua di China.

Mirip Ampel
Selain prajurit terakota yang dikenal dengan sebutan Bingmayong, Xi'an yang berada di wilayah baratdaya daratan Tiongkok itu juga identik dengan Islam China.

Bahkan, wisatawan muslim mancanegara yang datang ke China sangat direkomendasikan untuk mengunjungi kota tua itu dengan populasi umat Islam sekitar 50.000 jiwa itu.
Beberapa orang melewati menara Masjid Raya Xi'an di Kota Xi'an, Provinsi Shaanxi, China, untuk melaksanakan shalat Jumat (21/6/2019). Masjid yang dibangun pada tahun 742 Masehi itu merupakan salah satu masjid tertua dan terbesar di China. (AntaraNews/M. Irfan Ilmie)

Salah satu ikonnya adalah Masjid Raya Xi'an. Masjid yang dulunya bernama Huajue Xiang Qingzhenshi pertama kali dibangun pada tahun 742 Masehi di atas lahan seluas 12.000 meter persegi itu memadukan unsur budaya Arab dan China.

Lokasinya berada di pusat kota dan hanya beberapa meter dari Drum Tower, ikon kota Xi'an lainnya, yang dibangun pada 1380 pada masa pemerintahan Dinasti Ming.

Suasana di sekitar Masjid Raya Xi'an sangat mirip dengan kampung santri di beberapa kota di Jawa yang dikenal dengan istilah "kauman".

"Mirip Ampel," komentar seorang wisatawan asal Malang, Jawa Timur, membandingkan suasana di sekitar Masjid Raya Xi'an dengan Masjid Sunan Ampel di Surabaya itu.

Betapa tidak, karena jalanan menuju masjid dipenuhi lapak pedagang yang menawarkan aneka barang perhiasan, suvenir, pakaian, dan perlengkapan shalat. Persis Pasar Ampel!

"Silakan masuk. Murah-murah!" ujar seorang perempuan berkerudung menawarkan barang dagangannya dengan dialek Melayu.

Barang-barang yang dipajang di tokonya pun dilabeli tulisan berbahasa Indonesia, seperti "kerudung sutera".

"Karena pelanggan saya orang Malaysia, Indonesia, dan Singapura," ujarnya dalam bahasa Mandarin menjelaskan beberapa barang yang dilabeli bahasa Melayu/Indonesia itu.

Jia Shui Yan, nama lengkap pedagang itu, mengaku tidak pernah mengunjungi Indonesia dan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara.

"Pelanggan dari Indonesia dan Malaysia memanggil saya Rahmah," tutur istri Jia Xiping alias Mohammad Isher, salah satu imam Masjid Raya Xi'an.

Berbeda dengan para pedagang lain di pasar oleh-oleh itu, Jia Shui alias Rahmah menjual barang dagangannya dengan harga wajar sehingga tidak memberikan kesempatan kepada pembelinya untuk menawar.
Jia Shui Yan alias Rahmah menawarkan barang dagangannya bernuansa Islami di pinggir jalan menuju Masjid Raya Xi'an, China, Jumat (21/6/2019). (AntaraNews/M. Irfan Ilmie)

"Saya ingin berkah. Mau yang beli orang sini atau orang asing, harganya sama, harga lokal," ujarnya meyakinkan Antara yang saat itu menawar salah satu suvenir Islami khas Xi'an.

Selain harganya yang realistis, keramahan Rahmah menjadi daya tarik sendiri sehingga lapaknya yang paling banyak didatangi pembeli sebelum dan selepas shalat Jumat pada siang hari itu. Keramahan pedagang kepada para pembeli merupakan hal yang sangat langka di China.

Pasar suvenir dan pusat oleh-oleh itu berujung di mulut Jalan Muslim atau Huimin Jie, pusat jajanan yang sangat ikonik di Xi'an.

Di sepanjang jalan itu terdapat berbagai restoran dan lapak-lapak penjual makanan yang pelayannya memakai busana Islami.

Dibandingkan dengan pasar malam di Kota Lanzhou, Provinsi Gansu, yang didominasi makanan halal, Huimin Jie yang dikenal sebagai "markas umat Islam" di Kota Xi'an, jauh lebih tertata dan rapi.

Baca juga: https://www.antaranews.com/berita/726612/lanzhou-surga-kuliner-halal-di-china

Di Huimin Jie bukan saja makanan halal khas Xi'an, seperti roti campur sup kambing (yangrou paomo), burger daging (roujiamo), dan roti mi (biang-biang), melainkan juga mi daging sapi (niuroumian) khas Lanzhou dan makanan halal dari daerah lain di China.

Baca juga: https://www.antaranews.com/berita/725003/lanzhou-dorong-pemasaran-mi-sapi-ke-indonesia

Begitu juga dengan para pengunjung restoran Huimin Jie, bukan saja dari komunitas muslim setempat atau wisatawan muslim mancanegara lainnya, melainkan juga warga lokal yang nonmuslim.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa makanan halal atau "qingzhen" di China sangat digemari masyarakat setempat tanpa melihat latar belakang keyakinannya.
Sate ikan sotong yang dipajang di Jalan Muslim atau Huimin Jie, Kota Xi'an, China, Kamis (20/6/2019) malam. (AntaraNews/M. Irfan Ilmie)

Tidak heran, jika lapak-lapak sate sotong, sate kambing, dan sate sapi, yang penjualnya mengenakan pakaian muslim di Huimin Jie paling ramai didatangi pembeli.

Huimin Jie yang awalnya tempat berkumpul para pedagang muslim dalam perjalanan di Jalur Sutera pada masa Dinasti Tang (618-907 Masehi) bukan milik orang Islam saja, melainkan sudah menjadi ikon utama Kota Xi'an.

Huimin Jie juga masuk dalam daftar destinasi utama pariwisata Kota Xi'an, selain Bingmayong di Distrik Lintong.

Aksesnya sangat mudah karena, Huimin Jie bisa ditempuh dengan berjalan kaki melalui pedestrian bawah tanah yang menghubungkan area komersial di seputaran Bell Tower.

"Percuma datang ke Xi'an, kalau tidak mencicipi jajanan di Huimin Jie," ujar seorang wisatawan asal Singapura yang ditemui di salah satu restoran halal di ujung Jalan Muslim itu pada Kamis (20/6/2019) malam. 

Baca juga: China bangun kapal pesiar mewah untuk pariwisata
Baca juga: Sebanyak 71,3 juta wisatawan China plesiran ke mancanegara
Baca juga: Pariwisata China raup Rp175 triliun hari pertama Imlek

Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Mohamad Anthoni
Copyright © ANTARA 2019