Morowali (ANTARA) - Bupati Morowali Drs H Taslim mengemukakan bahwa banjir bandang yang melanda sejumlah desa di daerahnya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dalam beberapa hari terakhir.

"Dampak penambangan memang ada, tetapi penyebab utamanya adalah curah hujan yang sangat tinggi," katanya kepada Antara di sela peninjauan lokasi banjir Desa Dampala, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Senin siang.

Menurut dia, banjir seperti ini merupakan proses terulang dalam lima dan 10 tahun, namun diakui bahwa banjir saat ini berbeda dari banjir sebelumnya karena air bah membawa sedimentasi.

Dia mengatakan, hujan deras sudah melanda Morowali sejak sebelum Idul Fitri 1440 Hijriah, dan sampai saat ini hujan masih terus turun meski tidak sederas sebelumnya.

Hujan dengan intensitas tinggi ini menyebabkan banjir bandang sehingga empat jembatan permanen di jalan trans Sulawesi wilayah Morowali ambruk yang mengakibatkan beberapa kecamatan menjadi terisolasi sampai saat ini.

Keterisolasian itu menyebabkan stok bahan pokok dan berbagai barang kebutuhan lainnya menjadi menipis yang menyebabkan harga melonjak, namun Pemda sudah mengupayakan normaliasinya.

Sementara itu, Abdul Hamid, seorang tokoh masyarakat Bahodopi mengatakan bahwa perusahaan tambang nikel yang membuka areal penambangan di hulu sungai-sungai di Morowali harus ikut bertanggungjawab terhadap bencana banjir yang melanda saat ini.

"Jelas sekali  bahwa penambangan di hulu sungai itu memberikan dampak mengerikan saat banjir kali ini,"ujar Hamid yang juga Sekretaris Desa Lee Lee, Kecamatan Bahodopi di lokasi Jembatan Dampala yang musnah dibawa banjir.

Menurut Hamid, tahun 2006 dan 2010, banjir seperti ini pernah terjadi pula, tetapi bedanya, air bah saat itu, meski melampaui badan jalan, tidak menimbulkan kerusakan parah sebab yang datang hanya air, tidak ada sedimentasi.

"Tapi banjir kali ini sangat mengerikan karena arus air yang deras dan besar itu membawa sedimen berupa pepohonan dan kayu-kayuan besar dan kecil serta lumpur. Akibatnya, jembatan sekuat ini (Jembatan Dampala) tidak mampu lagi menahan hantaman air bersama pepohonan," ujarnya.

"Lihat pula rumah-rumah penduduk yang tergenang, kini meninggalkan lumpur tebal di halaman dan dalam rumah. Badan rumah mungkin tidak ambruk, tapi isi rumah rusak semua," ujar Hamid yang diamini sejumlah warga yang mendengar pernyataannya.

Ia berharap perusahaan tambang yang beroperasi di Morowali, khususnya Kecamatan Bahodopi, harus ikut bertanggung jawab mengatasi kesulitan masyarakat yang terdampak bencana banjir ini.

"Tidak adil kalau hanya pemerintah daerah saja yang terbebani menolong warga dan pemda pasti tidak mampu melakukannya sendiri, perusahaan tambang harus terlibat. Seandainya warga itu mengalami kerugian Rp100.000, perusahaan tambah harus membantu Rp35.000, begitu kira-kira maksud saya," ujarnya.

Hamid kemudian menunjukkan pegunungan yang sudah gundul karena menjadi eks lokasi penambangan nikel.

"Itu yang kelihatan dari sini pak. Di balik gunung itu, masih banyak lagi gunung yang gundul bekas penambangan. Saya yakin dari situlah sedimen berupa batang-batang kayu serta lumpur kuning itu berasal dan menimbun rumah-rumah penduduk di sini," katanya.
Seorang warga Desa Dampala duduk di atas batang pohon berdiamater sekitar satu meter dan panjang hampir 10 meter di halaman rumahnya, Senin (10/6). Batang kayu ini dibawa banjir bandang dan nyaris merobohkan rumahnya. (Antaranews Sulteng/Rolex Malaha)

Pewarta: Rolex Malaha
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019