Jakarta (ANTARA) - Penerapan model pembangunan rendah karbon dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (PRJMN) 2020-2024 bisa menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 43 persen pada 2030 menurut perhitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas Arifin Rudianto pada peluncuran dokumen kajian Pembangunan Rendah Karbon Indonesia di Jakarta, Selasa, mengatakan total emisi gas rumah kaca Indonesia bisa berkurang sampai 43 persen pada 2030 antara lain lewat pemanfaatan berkelanjutan sumber daya alam serta pengurangan intensitas penggunaan energi.

Angka pengurangan emisi tersebut, ia mengatakan, melampaui target Indonesia dalam rencana aksi iklim nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) yang ditetapkan 41 persen di bawah batas rona awal untuk Kesepakatan Paris.

Bahkan, menurut Arifin, jika memilih menggunakan kebijakan yang lebih ambisius maka berdasarkan pemodelan Indonesia selama 2020-2045 akan dapat mempertahankan penurunan jangka panjang emisi gas rumah kaca dengan proyeksi penurunan emisi hampir 75 persen jika dibandingkan dengan Asumsi Dasar.

Meski demikian, ia mengatakan, untuk saat ini Indonesia akan memilih skenario Pembangunan Rendah Karbon (PRK) tinggi dengan perhitungan proyeksi penurunan emisi gas rumah kaca dapat mencapai 43 persen pada 2030.

Total investasi rata-rata yang dibutuhkan untuk menerapkan skenario Pembangunan Rendah Karbon tersebut diperkirakan mencapai 446,5 miliar dolar AS atau 34,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk tahun 2020-2024.

Dari total investasi tersebut, investasi sekitar 21,9 miliar dolar AS per tahun sesuai dengan belanja modal pembangunan rendah karbon periode 2020–2024. Dengan demikian, tambahan investasi skenario PRK tinggi akan setara dengan 2,3 persen dari PDB hingga 2045.

Perbedaan total investasi yang diperlukan untuk menjalankan antara skenario PRK tinggi dan menengah sekitar 0,56 persen dari PDB pada 2020-2024 dan 0,95 persen dari PDB pada 2025-2045. Perhitungan ini dapat dilihat untuk mencerminkan investasi internasional yang dibutuhkan dari komunitas keuangan internasional dalam mendukung Indonesia untuk memenuhi target NDC bersyaratnya.

PRK tinggi, Arifin menjelaskan, membutuhkan rasio investasi terhadap PDB yang lebih rendah sehingga Indonesia tidak akan terlalu kesulitan menjembatani potensi savings gap untuk membiayai pertumbuhan ekonomi.


Pertumbuhan ekonomi

Arifin mengatakan Indonesia sempat menikmati pertumbuhan PDB 7,3 persen dengan kontribusi utama berasal dari migas pada era 1970-an.

Dalam rencana teknokratis Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2020-2045 atau Visi 2045, Indonesia menargetkan bisa menjadi negara maju dengan pendapatan per kapita 23.000 dolar AS tahun 2035.

Namun sebagai negara berkembang Indonesia masih menghadapi tantangan dalam aspek lingkungan seperti tingkat polusi yang tinggi, kerusakan lingkungan, penyusutan luas hutan, berkurangnya sumber daya alam dan perubahan iklim.

Indonesia juga tercatat berada dalam urutan keempat dalam daftar negara penyumbang emisi gas rumah kaca tertinggi setelah China, Amerika Serikat dan India.

"Dengan model ekonomi BAU (Businesses as Usual) seperti saat ini maka dari perhitungan pemodelan kami, pertumbuhan ekonomi akan berkurang jadi 4,3 persen. Harus dilakukan sesuatu tanpa lewati batas daya dukung dan daya tampung lingkungan," kata Arifin.

Sementara jalur pembangunan rendah karbon menurut hasil kajian dapat menghasilkan tingkat pertumbuhan PDB rata-rata enam persen per tahun hingga 2045.

Secara bersama-sama, manfaat ini akan membawa Indonesia ke dalam kelompok negara dengan indeks pembangunan manusia yang tinggi.

Bahkan, saat merayakan 100 tahun kemerdekaan pada 2045, pendapatan per kapita Indonesia berpotensi meningkat menjadi 42 kali lipat dibandingkan saat tahun kemerdekaan, setara dengan tingkat kesejahteraan Jerman, Denmark dan Belanda saat ini.

Penyusunan kebijakan PRK untuk memperkuat pencapaian Visi Indonesia 2045 melibatkan Wakil Presiden Indonesia ke-11 Boediono, mantan Menteri Perdagangan dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia Mari Elka Pangestu, serta salah satu pemimpin Komisi Global untuk Ekonomi dan Iklim sekaligus Profesor Ekonomi dan Pemerintahan di London School of Economics (LSE) Lord Nicholas Stern sebagai komisioner pembangunan rendah karbon.

Baca juga:
Pemerintah siap terapkan Pembangunan Rendah Karbon dalam RPJMN
Papua mulai persiapkan proyek pembangunan rendah karbon

 

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019