Purwokerto (ANTARA) - Sosiolog dari Universitas Jenderal Soedirman Dr Tri Wuryaningsih MSi mengatakan kekerasaan terhadap perempuan tidak bisa dilepaskan dari ideologi gender yang berkembang di dalam masyarakat Indonesia yang memegang budaya patriarki, yakni budaya yang menganggap perempuan lebih rendah daripada laki-laki.

"Nilai-nilai ini terus berlangsung, disosialisasikan melalui berbagai agen yang ada di dalam masyarakat termasuk keluarga, media juga saya kira belum banyak berubah, lembaga pendidikan termasuk interpretasi agama, lingkungan kerja, iklan, dan sebagainya, ini masih menanamkan nilai-nilai yang bias gender, yang belum menyuarakan kesetaraan perempuan dan laki-laki," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis.

Pada Diskusi tentang Kekerasan Seksual dan Diskriminasi Gender pada Perempuan di Kampus Unsoed itu, ia menjelaskan, anggapan-anggapan semacam itu maupun nilai-nilai yang masih berlangsung di dalam masyarakat, antara lain konsep "kanca wingking" (teman belakang, red.), perempuan sebagai objek, perempuan harus patuh terhadap laki-laki, dan perempuan tidak cocok sebagai pemimpin.

Ia mengatakan, masih banyak manivestasi diskriminasi yang terjadi di masyarakat yang ditunjukkan dari data mengenai kekerasan terhadap perempuan yang tidak pernah turun melainkan selalu mengalami peningkatan.

"Kekerasan itu muncul karena adanya paham yang mendiskriminasikan perempuan. Ketika nilai-nilai atau ideologi itu masih mengakar, butuh proses yang sangat panjang untuk bisa berubah," kata Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (PPT PKBGA) Kabupaten Banyumas itu.

Oleh karena itu, kata dia, Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap tanggal 8 Maret dapat menjadi momentum untuk merefleksikan apa yang sudah dilakukan oleh semua pihak terutama pemerintah Indonesia terhadap hak-hak perempuan.

"Sejak tahun 1984, Indonesia sebetulnya sudah meratifikasi CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women), konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Kemudian berbagai peraturan perundang-undangan lain juga ada sebagai bentuk komitmen politik pemerintah Indonesia terhadap perempuan," kata dia yang juga Dosen FISIP Unsoed.

Disinggung mengenai kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Kabupaten Banyumas, dia mengatakan pihaknya pada tahun 2018 mendampingi 13 kasus kekerasan berbasis gender dan anak.

"Khusus untuk kasus kekerasan terhadap perempuan sendiri, baik itu di ranah KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) maupun di ranah publik ada sekitar 49 kasus," katanya.

Sementara itu, Koordinator Acara Diskusi Aprilia Wafiq Azizah mengatakan kegiatan tersebut digelar Front Mahasiswa Nasional (FMN) dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional.

Menurut mahasiswi Fakultas Ilmu Hukum Unsoed itu, isu tersebut diangkat sebagai tema diskusi karena hingga sekarang penyelesaian permasalah perempuan belum benar-benar sampai selesai.

Selain diskusi, kata dia, FMN juga berencana akan menggelar aksi damai memperingati Hari Perempuan Internasional di Alun-Alun Purwokerto pada hari Jumat (8/3), pukul 16.00 WIB. 

Baca juga: Pengaduan ke Komnas Perempuan meningkat 14 persen
Baca juga: Komnas perempuan catat 282 aturan diskriminasi perempuan
Baca juga: Peneliti: Diskriminasi Gender Dominan di Pedesaan

Pewarta: Sumarwoto
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019