Jakarta (ANTARA) - Lembaga kajian kebijakan independen, Para Syndicate melakukan bedah buku "The President" karya Mohammad Sobary dan "Demokrasi dan Toleransi dalam Represi Orde Baru" karya Virdika Rizky Utama.

Bedah buku yang digelar di Kantor Para Syndicate, di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu petang, menghadirkan kedua penulis buku itu dan Aktivis Forum Kota,. Savic Ali.
Buku "The President" karya M Sobary setebal 402 halaman itu merupakan sebuah novel yang memotret situasi politik hari ini, yang tidak lagi bisa menghadirkan rasa tentram.

"Dimana, politik identitas telah mengharumkan biru pakeliran demokrasi dan politik kita sehingga penuh dengan hoaks, fitnah, permusuhan dan lainnya," kata peneliti Para Syndicate, Bekti Waluyo yang sekaligus sebagai moderator acara itu.

Menurut dia, Pemilu serentak akan digelar 42 hari lagi untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat, yang seharusnya menjadi demokrasi yang menggembirakan.

"Namun, melihat situasi politik hari ini, demokrasi yang digadang-gadang mampu mewujudkan masyarakat beradab justru tengah dijauhkan dari keadaban itu sendiri," katanya.

Bahkan, batas antara kebenaran dan kepalsuan semakin kabur dan sulit untuk dibedakan.

"Ini yang membuat situasi demokrasi kita menjadi perebutan kekuasaan belaka," ujar Bekti.

Sementara itu, buku "Demokrasi dan Toleransi dalam Represi Orde Baru" menarasikan kembali sepak terjang Forum Demokrasi dalam menyemai ide-ide, gagasan, pemikiran dan kerja keras melawan isu anti demokrasi dan anti sektarian di eranya.

Virdika Rizky Utama, selaku penulis menyebutkan, demokrasi Indonesia yang salah satunya menjamin kebebasan berpendapat dan menjamin hak hidup manusia dimanfaatkan segelintir orang untuk mengancam situasi demokrasi.

Ancaman terhadap demokrasi Indonesia itu telah nampak sejak Pilpres 2014 lalu, yang membangkitkan kampanye SARA.

"Bahkan, menjurus ke arah sektarianisme dengan menginginkan keterwakilan kalangan mayoritas Islam dalam segi kehidupan bernegara," kata Virdika.

Ia menambahkan meningkatnya gejala sektarian bukan kali ini saja terjadi karena pada tahun 1950-1960an kondisi itu sudah terjadi. Masyarakat terpecah, sentimen SARA menguat, politik aliran dijalankan hingga terjadinya pembunuhan massal.

Tahun 1990 an, isu sektarian pun menguat dengan maraknya anti-Tionghoa dan menuntut pemberlakuan hukum syariah di beberapa daerah. Kemudian, Presiden Soeharto merangkul Islam dan intelektualnya sebagai kekuatan baru dalam perimbangan politik saat itu.

"Padahal, sebelumnya kehidupan Islam politik sangat terpinggirkan oleh kekuasaan," tuturnya.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019