Palu (ANTARA News) - Koalisi Masyarakat Sipil, Akademisi dan Forum Warga Korban yang tergabung dalam Pasigala Centre meminta pemerintah agar mengedepankan dialog sebelum merelokasi korban bencana Sulteng di Palu, Donggala, Sigi dan Parigi Moutong.

"Pemerintah hanya sibuk mengurusi penetapan patok merah Zona Rawan Bencana (ZRB) dan hendak mengurangi hak keperdataan warga korban. Tidak ada dialog perencanaan yang partisipatif untuk menghitung kerugian yang dialami warga korban dari proses relokasi, sebagaimana amanat undang-undang. Kami tegas nyatakan, tidak boleh ada relokasi tanpa dialog yang partisipatif, itu melanggar undang-undang kebencanaan," kata Sekretaris Jenderal Pasigala Centre, Andika, di Palu, Jumat.

Andika,mengatakan Pasigala Centre menegaskan bahwa ada tiga hal substansi penanggulangan bencana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2007, dalam konteks akusisi tanah dan rencana relokasi.

Ia mengatakan selain menetapkan daerah rawan (terlarang), mengurangi hak kebendaaan dan keperdataan warga, pemerintah juga berkewajiban melakukan ganti rugi terhadap kehilangan hak kebendaan dan keperdataan itu.

Menurut dia, tugas terberat dalam penanggulangan bencana bukan pada tindakan tekhnis mematok lahan dan kawasan, tetapi terletak pada kesepakatan bersama warga dalam dialog panjang tidak kenal lelah untuk menemukan solusi yang terbaik atas hak-hak keperdataan warga korban.

Ia menyayangkan, sejauh ini pemerintah terkesan hanya sibuk dengan berbagai pendekatan project bisnis untuk menangani penanggulangan bencana. Hal itu terlihat, kata Andika, sejak pemerintah menetapkan skema pembangunan huntara yang sampai saat ini bermasalah.

"Wali bencana (BNPB) dan Pemerintah disibukkan dengan pendekatan proyek penanggulangan pengungsi dan bencana, tetapi lupa pada soal-soal yang sifatnya humanistik, berkaitan dengan hak-hak kebendaan dan keperdataan warga korban," kata dia.

Dia meminta, agar pemerintah dan wali bencana juga membuat skema khusus untuk meningkatkan partisipasi korban dalam dialog intensif. Pemerintah dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana telah menetapkan peta lokasi hunian tetap untuk relokasi yakni di Kelurahan Tondo, Kelurahan Duyu, Kota Palu. Bersamaan dengan penetapan perpanjangan masa transisi tanggap darurat.

"Kita menyayangkan penetapan rencana relokasi tidak didahului dengan menghitung kerugian warga, dan kesepakatan relokasi yang sebetulnya masih diperdebatkan bahkan ditolak oleh warga korban. Kami berpendapat, harusnya semua itu diawali dengan dialog yang partisipatif, bukan dengan cara-cara tangan besi," kata Andika.

Pemerintah menetapkan perpanjangan ke dua status transisi darurat ke pemulihan bencana gempa bumi, tsunami dan likuifaksi di Sulawesi Tengah (Sulteng) selama 60 hari kalender, terhitung sejak tanggal 24 Februari 2019 hingga tanggal 24 April 2019.

"Perpanjangan masa transisi tanggap darurat ini sangat dipengaruhi oleh pertimbangan tekhnis sejumlah proyek huntara PUPR. Hal itu sudah mencerminkan, bahwa tendensi bisnis us usual sangat kental, pendekatan kemanusiaan, terutama korban di sisihkan. Dan tentu saja ini sangat jauh dari harapan yang tertuang dalam regulasi kebencanaan kita," katanya.

Ia menambahkan penetapan perpanjangan ke dua itu tertuang pada Surat Keputusan Gubernur Sulteng Nomor 367/076/BPBD-G.ST/2019 tentang Penetapan Perpanjangan Ke-dua Status Transisi Darurat ke Pemulihan Bencana Gempa Bumi, Tsunami dan Likuifaksi di Provinsi Sulawesi Tengah.*


Baca juga: Wapres sebut dana stimulan korban bencana Sulteng cair awal Februari

Baca juga: Pasigala Centre minta rekonstruksi pascabencana Sulteng berlandaskan mikro-zonasi


 

Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019