Mataram (ANTARA News) - Pemerintah bersama para ahli terus berupaya mengembangkan sumber energi baru terbarukan, mengingat potensi energi fosil yang selama ini terus dikuras untuk memenuhi kebutuhan energi mulai berkurang dan pada saatnya nanti akan habis.

Menurut peneliti di Laboratory of Electric Machinery, Department of Electrical and Electronic Engineering, Kitami Institute of Technology, Hokkaido, Jepang Marwan Rosyadi, energi fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam akan habis pada 2050 mendatang.

Karena itu salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan pengembangan bioetanol, yakni salah satu sumber energi baru terbarukan yang berasal dari tumbuhan. Bioetanol memiliki sifat menyerupai minyak premium yang dihasilkan dari fermentasi glukosa (gula) yang dilanjutkan dengan proses distilasi.

Terkait dengan pengembangan bioetanol tersebut, Pemerintah Provinsi NTB menyatakan siap. Ketersesiaan lahan di daerah itu cukup luas untuk mengembangkan bahan baku bioetanol, karena bahan bakunya mudah didapat.

Gubernur Nusa Tenggara Barat H Zulkieflimansyah menyatakan kesiapan daerah itu untuk mengembangkan bioetanol. Melihat potensi yang ada, terutama ketersediaan lahan untuk menanam berbagai jenis tanaman yang menjadi bahan baku bioetanol tersedia cukup luas.

Menurut dia, pengembangan bioetanol ini harus dimulai. Kalau dilihat nilai sisi keekonomian kadang susah masuk. Tapi kalau tidak mulai, tidak ada pembelajaran teknologi dan lain sebagainya nanti.

DR Zul (sapaan Zulkifliamsyah) mengaku peluang NTB untuk mengembangkan bioetanol cukup terbuka lebar. Hal ini sejalan dengan keinginan Kementerian ESDM yang ingin menjadikan NTB sebagai daerah pertama pengembangan bioetanol di Indonesia.

Dia mengatakan karena hasilnya nyata dan sudah ada, pihaknya yakin dan optimis akan berhasil, meski tidak gampang mengembangkan bioetanol ini.

Dia mengaku sangat bangga sebagai daerah yang menginisiasi program bioetanol. Dengan adanya mitra seperti astra dan pertamina ekspansi ke wilayah Indonesia timur, ia melihat masa depan sumber daya manusia Indonesia Timur ke depannya akan cerah.

Terkait dengan rencana pengembangan energi baru terbarukan itu Gubernur NTB Zulkiflimansyah dan Kepala Badan Litbang ESDM, FX Sutijastoto telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) disaksikan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Archandra Tahar

Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kementerian ESDM dan Pemprov NTB sepakat bekerja sama mengembangkan bahan bakar nabati berbasis tanaman lokal seperti sorgum dan rumput gajah. Kerja sama itu juga didukung PT Pertamina, PT Rajawali Nusantara Indonesia dan Toyota Motor Corporation dalam pengembangan bioetanol di NTB.

33.000 hektare

Pemerintah Provinsi NTB menawarkan penggunaan lahan hutan produksi (HTP) dengan luas 33.000 hektar di Kabupaten Lombok Utara untuk budi daya tanaman yang cocok untuk bahan bakar nabati.

Kerja sama itu dihajatkan untuk melakukan pengembangan industri agro energi di NTB dan sekaligus juga peningkatan pasokan bahan bakar nabati berbasis tanaman lokal, seperti tanaman sorgum dan rumput gajah (napier grass).

Dia meminta agar hasil nota kesepahaman ini tidak hanya sekedar tulisan di buku, namun memberikan manfaat yang nyata bagi pemerintah setempat.

Badan Litbang ESDM melalui Puslitbangtek Ketenagalistrikan, Energi Baru, dan Terbarukan memiliki kemampuan dan pengalaman dalam studi dan pengembangan bahan bakar nabati.

Puslitbangtek KEBTKE melakukan penelitian dan pengembangan bioetanol berbasis nira sorghum manis dan telah bekerja sama dengan Universitas Mataram untuk membangun trial plot di Lombok Utara.

Selain bioetanol, NTB juga memiliki potensi energi baru terbarukan yang cukup besar, namunhingga kini belum dimanfaatkan secara maksimal. Potensi itu antara lain energi air, panas bumi, angin, biomassa, biogas dan surya.

Khusus untuk pulau Sumbawa, potensi energi hidro mencapai 67,5 Mega Watt, selain itu Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Panas Bumi Dompu sebesar 70 MW dan WKP Sembalun 69 MW.

Meskipun memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah namun pemanfaatannya baru dilakukan secara terbatas karena pertimbangan biaya dan teknologi yang terbatas.

Konsultan KPMG (salah satu perusahaan jasa profesional terbesar di dunia) Bjarne Bach dalam presentasinya memaparkan keunggulan dari masing-masing potensi EBT yang ada di Lombok.

Potensi energi hijau yang bisa dimanfaatkan untuk ketenagalistrikan di Lombok salah satunya adalah biomassa yang dimanfaatkan dari sekam padi yang banyak ditemukan di Lombok bagian timur, tengah dan barat.

Selanjutnya, tenaga surya juga sangat melimpah karena intensitas matahari di Lombok. Rata-rata tenaga surya yang bisa dimanfaatkan menjadi listrik sebesar 3,3-5,6 kWh/m2. Kemudian untuk tenaga angin atau bayu juga dimungkinkan di bagian selatan Lombok dengan rata-rata kecepatan angin 6-7 m/s.

Selain itu, soal sampah juga menjadi tantangan. Diperkirakan ada 900.000 ton sampah industri dan rumah tangga setiap tahunnya yang bisa dimanfaatkan untuk listrik.

Dari sisi kapasitas pembangkit listrik yang bisa dimanfaatkan dari biomassa di Lombok sebesar 20 megawatt (MW), tenaga surya 20 MW, tenaga bayu 50 MW, dan sampah sebesar 25 MW.

Sejatinya potensi sumber energi non fosil di NTB cukup melimpah, namun hingga kini belum dimanfaatkan secara maksimal untuk mengantisipasi habisnya sumber energi posil, seperti minyak, batu bara dan gas bumi.

Baca juga: LIPI dorong konsorsium Bioetanol Generasi 2
Baca juga: LIPI minimalkan penggunaan enzim impor untuk bioetanol

 

Pewarta: Masnun
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019