Tiga tahun lebih RUU ini digodok di DPR dan tak kunjung diundangkan.
Jakarta (ANTARA News) - Rancangan Undang Undang Jabatan Hakim (RUU JH) merupakan salah satu rancangan undang-undang yang cukup memakan waktu lama dalam proses pembahasan di DPR RI.

Sejak diusulkan oleh sejumlah hakim muda kepada DPR pada awal 2015 hingga November 2018, RUU Jabatan Hakim belum juga disahkan sebagai undang-undang.

Tantangan DPR terkait RUU Jabatan Hakim adalah mencoba menyeimbangkan pembahasan antara menjaga independensi kekuasaan kehakiman dengan akuntabilitas peradilan, sebagaimana dikatakan oleh anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani dalam suatu diskusi.

RUU Jabatan Hakim ini diusulkan karena para hakim muda menginginkan adanya undang-undang tersendiri yang mengatur jabatan hakim, kata Arsul.

Ketentuan yang mengatur profesi hakim sudah tertuang di dalam Undang Undang Aparatur Sipil Negara dan Undang-undang Mahkamah Agung, sehingga tidak terpusat mengatur profesi dan jabatan hakim.

Arsul berpendapat bahwa aturan yang ada pada saat ini bukan berarti salah, namun dianggap bukanlah keadaan yang ideal terutama terkait dengan kebutuhan-kebutuhan manajemen hakim secara keseluruhan.

RUU Jabatan Hakim ini disebut-sebut akan terfokus pada pengaturan manajemen hakim, mulai dari rekrutmen dan seleksi, pengangkatan, pembinaan, pengawasan, rotasi, mutasi dan promosi, hingga pemberhentian hakim.

"Terkait pengangkatan, dalam RUU ini agak bergeser dari hakim dari Sarjana Hukum yang baru lulus sarjana, menjadi hakim yang sudah ada pengalamannya baik dari latar belakang hukum yang beragam," kata Arsul.

Pengangkatan hakim seharusnya melalui mekanisme yang objektif, transparan, partisipatif dan akuntabel, sehingga sulit terwujud bila dilakukan hanya oleh satu pihak atau satu lembaga dalam prosesnya.

Mekanisme seleksi hakim dalam RUU Jabatan Hakim dijelaskan Arsul nantinya tidak hanya dilakukan oleh Mahkamah Agung saja, namun juga melibatkan pihak Komisi Yudisial (KY).

Mengenai akuntabilitas peradilan, Arsul mengatakan aspek pengawasan akan menjadi salah satu hal yang cukup menjadi perhatian dalam RUU Jabatan Hakim, apalagi terkait dengan pengawasan ekternal dan non yudisial yang dilakukan oleh KY.

Arsul berpendapat kewenangan pengawasan eksternal dan non yudisial memang harus diberikan kepada KY, karena sudah menjadi kesepakatan bernegara ketika dilakukan amendemen ketiga yang melahirkan KY.

Oleh karena itu, perlu ada pelibatan KY dalam manajemen hakim. Namun Arsul menekankan bahwa pelibatan KY dalam manajemen hakim bukan sebuah bentuk intervensi terhadap kekuasaan kehakiman, namun pembagian tanggung jawab.

Dalam RUU Jabatan Hakim nantinya akan mengubah sistem satu atap yang saat ini dijalankan oleh MA, menjadi pembagian tanggung jawab antara manajemen perkara dan manajemen hakim.

Lebih lanjut Arsul menjelaskan, di dalam RUU Jabatan Hakim juga fokus terhadap pengawasan hakim. Oleh karena itu di dalamnya ada perbedatan mengenai irisan teknis yudisial dan perilaku.

RUU Jabatan Hakim ini diharapkan dapat menjawab problematika kondisi peradilan di Indonesia.



Pembenahan Kekuasaan Kehakiman

Direktur Pusat Studi dan Kajian Konstitusi (Pusako) Feri Amsari mengatakan sistem pembagian tanggung jawab dalam manajemen hakim yang nantinya akan diatur dalam RUU Jabatan Hakim, akan sangat membantu untuk meluruskan tata kelola peradilan saat ini terutama terkait dengan kekuasaan kehakiman.

Mengutip pasal 24 ayat 1 UUD 1945, Feri menyampaikan Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Menurut Feri, ada tiga syarat kekuasaan kehakiman yang merdeka, di antaranya merdeka dari kepentingan cabang kekuasaan lain baik di pemerintahan atau pun para politisi, merdeka dari ideologi politik apapun atau tekanan publik, dan merdeka dari kekuasaan lembaga kehakiman yang lebih tinggi.

Oleh sebab itu kekuasaan kehakiman yang merdeka akan sulit dicapai bila sistem satu atap ini masih dijalani oleh MA, karena sistem ini dinilai tidak cocok.

Menurut Feri sistem satu atap lebih cocok untuk manajemen perkara, namun untuk manajemen hakim tidak boleh dibawah kendali satu atap tersebut.

"Untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman harus dimulai dari sistem pemilihan dan pengangkatan hakim yang independen, kedua lama masa jabatan yang menjamin kemerdekaanya itu, dan yang ketiga mekanisme pemberhentian hakim," kata Feri.



Lebih Terfokus

RUU Jabatan Hakim ini dikatakan Ketua Bidang Hubungan Antar-Lembaga dan Layanan Informasi KY Farid Wajdi, tidak hanya akan mempersoalkan persoalan teknis yudisial namun juga terfokus pada isu manajemen hakim .

Secara substansi RUU Jabatan Hakim ini memang berisi pengaturan rekrutmen atau seleksi hakim, proses mutasi dan promosi, jabatan hakim sebagai pejabat negara, serta penilaian profesionalisme termasuk yang dimaknai dengan adanya periodeisasi hakim agung.

Mengenai pemaknaan hakim sebagai pejabat negara, Farid menegaskan hal itu bukan hanya persoalan fasilitas semata.

Farid menjelaskan yang paling substansial dari pemaknaan hakim sebagai pejabat negara adalah supaya putusan hakim tidak dijadikan alasan untuk melakukan kriminalisasi terhadap hakim.

"Pejabat negara ini tidak hanya berhenti pada atribut yang bersifat sementara, namun hakim tidak dapat dikriminalkan karena putusannya, bukan akuntabilitas atas putusannya," jelas Farid.

Hal ini tentunya serupa dengan hak imunitas yang dimiliki seorang pejabat ketika menjalankan tugas yang menjadi mandatnya.

Tiga tahun lebih RUU ini digodok di DPR dan tak kunjung diundangkan. Padahal ketentuan dalam RUU Jabatan Hakim ini tidak hanya akan berguna untuk hakim, namun juga untuk menjawab problematika kekuasaan kehakiman dan dunia peradilan Indonesia sehingga penting untuk segera diundangkan.*


Baca juga: KY: RUU Jabatan Hakim wujudkan kemandirian hakim

Baca juga: DPR jelaskan poin krusial RUU jabatan hakim


 

Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018