Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan bahwa relasi antara korupsi dengan demokrasi tidak berjalan secara signifikan di Indonesia. 

"Secara normatif dan teoritis, korupsi merupakan hal yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang menghendaki partisipasi, akuntabilitas dan transparansi. Akan tetapi, di Indonesia relasi antara korupsi dengan demokrasi tidak signifikan," kata peneliti LSI Ahmad Khoirul Umam dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.

Khoirul mengatakan di satu sisi, warga secara kuat mendukung demokrasi, di sisi yang lain, mereka yang mendukung demokrasi tidak serta merta bersikap anti-korupsi.

"Dengan kata lain, mereka yang mendukung nilai-nilai demokrasi, juga terbuka untuk bersikap permisif terhadap praktik korupsi," jelas dia. 

Berdasarkan survei LSI 1-7 Agustus 2018, yang melibatkan 1.520 responden dengan sampling of error sekitar 2,6 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen diketahui bahwa meskipun secara general sikap anti-korupsi masyarakat lebih tinggi (52 persen) tetapi sikap permisif masyarakat terhadap praktik korupsi (27 persen) masih termasuk kategori yang cukup tinggi.

Menurutnya, banyak yang berpandangan bahwa korupsi merupakan hal yang wajar. Warga juga masih cukup banyak yang menilai kolusi dan nepotisme sebagai sesuatu yang normal atau perlu dilakukan untuk memperlancar proses (37 persen). 

"Hal inilah yang menjadi sebab mengapa korupsi tidak signikan berhubungan secara negatif dengan dukungan masyarakat terhadap demokrasi," jelasnya. 

Lebih jauh dia mengatakan dalam diskursus anti-korupsi, seringkali agama dinilai sebagai salah satu instrumen penting dan efektif untuk menekan tingkat korupsi di masyarakat.

Untuk itu, kata dia, perlu dipahami bagaimana sikap para stakeholders termasuk organisasi-organisasi kemasyarakatan, khususnya organisasi keagamaan dalam mendukung kerja-kerja anti-korupsi. 

Di Indonesia, sendiri, lanjutnya, warga banyak tergabung sebagai anggota dalam berbagai perkumpulan. 

Dia mencontohkan warga muslim banyak yang merasa sebagai bagian dari organisasi Islam (27,4 persen). Hal ini merupakan sebuah realitas menggembirakan dalam ruang demokrasi.

Akan tetapi, jika keanggotaan dan afiliasi organisasi ini dihubungkan dengan sikap terhadap korupsi, maka gambarannya menurutnya cukup memprihatinkan.

"Warga yang tergabung sebagai anggota organisasi, baik organisasi keagamaan maupun sekuler masih banyak yang tidak punya sikap atau bahkan pro-korupsi. Jika dibandingkan antarorganisasi, maka sikap anti korupsi yang lebih rendah justru dipegang oleh warga yang menjadi anggota organisasi keagamaan sebanyak 46 persen. Sementara sikap anti korupsi lebih banyak dipegang oleh anggota organisasi sekuler sebanyak 56 persen," jelasnya.

Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018